tag:

20 May 2008

IN THE NAME OF LOVE: Bimbang dalam Penantian

Title:
IN THE NAME OF LOVE

Director:
RUDI SOEDJARWO

Written by:
TITIEN WATTIMENA, RUDI SOEDJARWO, FAHMI RIZAL, CASSANDRA MASSARDI

Music:
ADDIE MS

Director of Photography:
RUDI SOEDJARWO

Producers:
TUTIE KIRANA, RUDI SOEDJARWO, KOKO SUNARSO T. U.

Executive Producers:
PANJI WISESO, TUTIE KIRANA, RAMA NALAPRAYA

Casts:
VINO G. BASTIAN, ACHA SEPTRIASA, CHRISTINE HAKIM, TUTIE KIRANA, ROY MARTEN, COK SIMBARA, LUKMAN SARDI, LUNA MAYA, TENGKU FIRMANSYAH, NINO FERNANDEZ, YAMA CARLOS, DICKY WAHYUDI, MARSHA TIMOTHY, HELMALIA PUTRI, ARIO BAYU, PANJI RAHADI

Synopsis:
Adalah manusia yang bernama Satrio Hidayat yang mencintai Citra tapi karena ketidakberaniannya melamar Citra, dengan alasan kemapanan yang belum dicapai, maka Citra memilih menikah dengan Triawan Negara.
Ketika kemudian, baik Satrio maupun Triawan, sukses di bidangnya masing-masing, kebencian di antara mereka pun mereka bawa, hingga di satu titik mereka mempertunjukkan permusuhan mereka dengan saling menjatuhkan di depan publik. Sejak itulah kebencian mereka menjadi abadi.
Satrio yang kemudian menikah dengan Kartika, memiliki tiga anak lelaki, Aryan, Aditya, dan Abimanyu. Triawan dan Citra pun memiliki anak-anak Rianti, Panji, Banyu, Saskia dan Dirga.
Baik Satrio maupun Triawan menurunkan benih-benih permusuhan itu ke dalam jiwa anak-anaknya. Hingga kemudian Saskia dan Abimanyu saling jatuh cinta.
Saskia, yang menjadi junior Abimanyu di kampus, menjalani hubungan yang mereka tau tidak akan disetujui keluarga mereka. Tapi mengatasnamakan cinta, mereka berjuang, di tengah permusuhan dan carut marut keluarga mereka. Mereka pun tinggalkan keluarga demi cinta itu.
Perseteruan pun meningkat karena kenekadan mereka. Kedua keluarga pun saling buru, sementara dalam keluarga mereka masing-masing pun masalah tak pernah berhenti menghampiri.
Abimanyu dan Saskia pun bertahan, hingga satu persatu kebencian itu luruh melihat perjuangan mereka.
Abimanyu dan Saskia yang masih sama-sama muda, namun ternyata bisa mengajarkan satu hal kepada keluarga mereka, bahwa cinta harus diperjuangkan… sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh orang tua mereka.

Note:
Kepingin banget liat lagi Rudy Soedjarwo bikin film yang bertemakan cinta setelah beberapa kali dia dengan ngototnya membesut film-film bertemakan pocong! Setelah AADC, Rudy banyak ‘bereksperimen’ membesut berbagai macam tema sampai akhirnya tergiur banget dengan pocong. Rada susah mengkategorikan sutradara macam apa Rudy Soedjarwo itu. Hampir semua tema pernah dia coba. Bekerja sama dengan berbagai macam produser pun pernah juga dia coba. Bahkan duet ‘abadi’nya dengan Monty Tiwa ternyata tidak juga abadi. Tapi ngga masalah karena memang untuk era perfilman Indonesia mutakhir masih ‘wajib’ bagi para film maker untuk mencoba membuat berbagai tema film. Siapa tau bisa jadi trendsetter. Salah-salah bisa juga dicaci sebagai pembuat film sampah.

Cerita cinta yang kali ini diangkat Rudy bukan cerita yang baru dan orisinil. Cerita cinta dari dua manusia yang mana kedua keluarganya saling bermusuhan tentunya mengingatkan kita pada karya klasik dari Shakespeare. Bisa jadi film ini merupakan saduran bebas dari naskah drama Romeo and Juliet.

Rudy mencoba membumikan kisah itu ke dalam ‘rasa’ Indonesia. Bahkan Rudy berusaha menyampaikan sebab musabab dari cerita perseteruan yang nyaris tak terselesaikan ini. Dan memang cerita cinta yang terlarang tidak pernah secara formal menjadi milik salah satu bangsa di dunia ini. Cerita cinta yang terlarang selalu ada di setiap pojok kehidupan manusia.

Tapi film ini menjadi tontonan yang melelahkan buat gue. Tema yang sudah duluan ketauan dengan tutur visual yang nyaris datar malah bikin gue menunggu kapan film ini berakhir. Yang paling gue tunggu cuma bagaimana film ini akan berakhir, sementara kita semua udah tau bagaimana kisah asli Romeo and Juliet berakhir. Apalagi ditambah dengan warna film yang suram tapi ngga imbang kontrasnya. Sepanjang film gue tonton mengenakan kaca mata item.

Dan penantian gue yang cukup panjang harus diakhiri dengan kekecewaan. Dan gue sampai saat ini masih bimbang, apakah gue harus melanjutkan penantian ataukah harus gue sudahi saja penantian ini?

GONE IN SIXTY SECONDS: Eleanor’s Gone Once Again

Title:
Gone in Sixty Seconds (2000)

Director:
Dominic Sena

Plot:
Legendary car thief/booster Randall "Memphis" Raines (Nicolas Cage) retired from the criminal life in 1995. Now five years later after Auto Thieft in the greater Los Angeles/Long Beach district went down by 47%, his brother, Kip Raines (Giovanni Ribisi) takes over "the job", employed by British car broker Raymond Calitri. When one night Kip messes up stealing some cars, Memphis gets called back to the life he got out of. His most impossible mission: Steal 50 exotic cars all over Los Angeles and Long Beach and deliver them to Long Beach Harbor, Pier 14 by 8:00am, Friday morning, on the button, or watch Calitri kill Kip. And so Memphis, with the help of longtime friend Otto Halliwell (Robert Duvall) reassembles his old crew which includes sexy Sara "Sway" Wayland" (Academy award-winner Angelina Jolie), a renegade white-haired mechanic by day, bartender by night, to pull off the biggest mission ever. The only problem is the LAPD G.R.A.B. (Governor's Regional Auto Bureau) is on the lookout and Dt. Roland Castlebeck (Delroy Lindo) and his partner are keeping close eyes on Memphis and his team. Can the team pull this assignment off and collect $200,000 in cash? Will Kip finally realize that car boosting is dangerous? And can Memphis escape Castlebeck and the cops? It's a long shot, but they may have a chance. Cut to the chase.

Note:
Sebenernya film ini hampir gue lupakan. Tapi karena iseng-iseng mulai ngumpulin mobil-mobilan replika, gue jadi teringet film ini. Film yang didasari dari film berjudul sama rilisan tahun 1974 memang terkenal dengan adegan pencurian mobil-mobil keren dan klasik dan terutama adegan kebut-kebutan mengejar mobil ‘sakral’, Shelby Cobra GT-500 1967, yang dinamai Eleanor. Gara-gara film ini, gue jadi kepincut banget dengan Eleanor.

Dramatisasi dari film aslinya ini, memang bikin film ini lebih asyik ditonton. Ngga kurang deh jagonya dari Bruckheimer memproduseri film ini sehingga pencurian mobil jadi terlihat cool. Dominic Sena berperan membuat film ini jadi terlihat realistis, khususnya dalam adegan kejar-kejaran. Sekalipun adegan kebut-kebutan sudah ‘tersedia’ dalam film aslinya, Mr. Sena cukup mampu membuat adegan yang sama menjadi semakin seru.

Satu fakta yang membuat film ini semakin cool adalah ‘casting’ Shelby Cobra GT-500 1967 yang klasik sebagai Eleanor, sekalipun dalam versi orisinilnya adalah Ford Mach 1973 yang ‘memerankan’ Eleanor.

Buat yang suka hiburan yang menampilkan coolness dan kebut-kebutan sepertinya ngga bakalan kecewa dengan film ini. Didukung dengan aktor-aktor yang terkenal, tentunya membuat film ini semakin enak diliat. Dan sentuhan sedikit drama keluarga dan brotherhood membuat film ini punya sedikit alur cerita yang bisa membungkus drama sampai ending-nya.

Tapi seperti yang gue tulis diawal, film ini tergolong gampang terlupakan. Hanya satu hal yang bisa membuat film ini lebih diingat dibanding film-film sejenisnya adalah Shelby Cobra GT-500 1967 a.k.a Eleanor.

GONE IN 60 SECONDS: Blue Print of Getaways

Title:
Gone in 60 Seconds (1974)

Director:
H.B. Halicki

Plot:
Insurance investigator Maindrian Pace and his team lead double-lives as unstoppable car thieves. When a South American drug lord pays Pace to steal 48 cars for him, all but one, a 1973 Ford Mustang, are in the bag. As Pace prepares to rip-off the fastback, codenamed "Eleanor", in Long Beach, he is unaware that his boss has tipped off the police after a business dispute. Detectives are waiting and pursue Pace through five cities as he desperately tries to get away.

Note:
Film yang menjadi dasar Gone in Sixty Seconds ini kalo buat gue sih cenderung bikin bosan. Mungkin karena film ini dibuat memang untuk menonjolkan keahlian kebut-kebutan semata. Dan belum lagi memang film ini dibuat secara indie oleh stunt man yang biasa memerankan adegan kebut-kebutan di film.

Film ini nyaris ngga ada dramatisasinya. Semua tense cerita ada di adegan kejar-kejaran maling mobil versus polisi. Dan keliatan banget bahwa H.B. Halicki pingin banget nunjukkin bagaimana seharusnya adegan film kejar-kejaran dan kebut-kebutan dibuat.

Sepertinya di era Orde Baru, film ini ngga bakalan boleh tayang di bioskop-bioskop di Indonesia. Proses pencurian mobil digambarkan dengan gamblang dan cool di film ini. Pastinya ada masih inget bagaimana paranoid-nya rezim yang baru lalu itu, sampai-sampai salah satu film seri TV yang banyak adegan nyamarnya sempet hampir dilarang tayang.

‘Kenyamanan’ menonton gue juga rada terganggu dengan penampilan para pemeran yang ‘in’ banget pada jamannya. Iya film ini mungkin pas banget pada tahun rilisnya (1974) tapi buat gue yang pada tahun itu masih belom ‘sadar’ bakalan ngga nge-tune dengan penampilan film ini. Aktingnya pun sederhana banget.

Tapi film ini memang terkenal bukan karena cerita dan aktingnya. Film ini menjadi legenda, bahkan menjadi cult movie, karena adegan-adegan kejar-kejaran dan kebut-kebutan mobilnya. Mungkin seluruh adegan kebut-kebutan di film ini menjadi cetak biru untuk adegan-adegan sejenis di film-film lain berikutnya, khususnya Hollywood.

Almarhum Mr. Halicki bisa dibilang gila dan terus mencurahkan hidup sampai akhir hayatnya untuk menampilkan adegan stunt menggunakan mobil dengan serealistis mungkin. Bahkan nyawanya terenggut dalam salah satu adegan stunt dalam film yang tak terselesaikan, yang seharusnya akan dirilis dengan judul Gone in 60 Seconds 2.

MEDLEY: Hidup Harus Terus Dilanjutkan ...............

Title:
Medley

Director:
Franklin Darmadi

Screenplay:
Nicko Widjaja

Producers:
Gege Mboi, Oswin Bonifanz

Casts:
Yosi Mokalu, Alex Komang, Rachel Maryam, Imelda Therinne, Alexandra Gottardo

Plot:
Medley is a movie about parallel universe and possibilities in life… about choices, consequences and relationships. Inspired by Frank Capra’s 1946 film entitled “It’s a Wonderful Life”, Medley tells a story about one man, who is turning 30 years old in the next few days. He is unhappily married and not performing really well at work. One day, he is given a chance to change one past event for a better tomorrow.
Note:

(dalam Bahasa Indonesia yang jujur dan rada bener :D)

Diakui terinspirasi dari Frank Capra’s It’s a Wonderful Life, tapi buat generasi ‘muda’ penikmat film pastinya merasa film ini memiliki kemiripan tema dan dasar cerita dengan Bedazzled (dibintangi dengan asyik oleh duo Brendan Fraser dan Elizabeth Hurley).

Sekalipun terasa kurang orisinil, tapi niat baik film maker-nya bisa dimaklumi. Tema semacam ini boleh-boleh aja dibuat beberapa kali dalam berbagai versi. Apalagi dalam era seperti sekarang ini, di mana invidualistis dan hedonistis nyaris merajai semua strata sosial. Semua sibuk dengan dirinya sendiri dan semuanya sibuk menyalahkan keadaan apabila kemapanan dirinya terusik. Nyaris semuanya hanya tau bahwa dirinya lah yang mampu menentukan semuanya.

Tema cerita yang dalam dapat dibungkus secara ringan dan komikal dalam film ini. Runtut penceritaan dapat dinikmati dengan mengalir tanpa ‘diganggu’ dengan dialog-dialog yang menggurui. Yang menonton masih dapat terhibur sembari disusupi satu tema penting dalam kehidupan. Tokoh utamanya seperti mewakili apa yang kita rasakan sehari-hari, sekalipun dalam film ini digambarkan dari strata sosial tertentu.

Di film ini pula digambarkan bahwa rasa manusia tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi oleh apa pun. Rasa manusia tidak mengenal strata sosial, kekayaan dan batas apa pun juga. Ditegaskan juga bahwa kehendak Yang Maha Kuasa tidak dapat ‘dilawan’ dengan cara apapun. Dan waktu pun tak akan kembali. Namun tak boleh disesali. Hidup harus terus dilanjutkan.

Pemilihan Yosi Mokalu a.k.a Yosi Project Pop mungkin terasa miscast mengingat tokoh yang diperankannya dikelilingi perempuan-perempuan cantik (termasuk istrinya) dan punya kecenderungan selingkuh, namun menjadi sangat komikal dan cukup realistis kalo kita ingat bahwa di dunia nyata banyak sekali cowok-cowok dengan kegantengan ‘terbatas’ tapi punya kemauan besar untuk flirting dan selingkuh.

Mungkin kelemahan film ini hanyalah dalam segi teknis saja. Visual film ini terasa sangat TV. Gambar-gambarnya kurang teatrikal, kurang sinematik. Mungkin kalo dibandingkan dengan film-film ‘mainstream’ Indonesia mutakhir ngga banyak beda dari sisi visual. Film Indonesia mutakhir kan visualnya banyak yang mirip sinetron ato video klip musik. Tapi mengingat film maker Medley masih tergolong baru juga, ngga masalah lah. Mudah-mudahan karya berikutnya bisa lebih baik lagi. Atau siapa tau saya diajak kerja sama untuk proyek berikutnya