tag:

15 October 2009

MERANTAU: Nice Action Movie…….and No Propaganda!



Title:
Merantau

Director:
Gareth Evans

Writers:
Gareth Evans (written by)
Daiwanne Ralie (translation)

Casts:
Iko Uwais, Sisca Jessica, Christine Hakim, Mads Koudal, Yusuf Aulia, Alex Abbad, Yayan Ruhian, Laurent Buson, Doni Alamsyah, Ratna Galih

Plot:
In Minangkabau, West Sumatera, Yuda a skilled practitioner of Silat Harimau is in the final preparations to begin his "Merantau" a century's old rites-of-passage to be carried out by the community's young men that will see him leave the comforts of his idyllic farming village and make a name for himself in the bustling city of Jakarta. After a series of setbacks leave Yuda homeless and uncertain about his new future, a chance encounter results in him defending the orphaned Astri from becoming the latest victim of a European human trafficking ring led by the wildly psychotic, Ratger and his right-hand man Lars. With Ratger injured in the mêlée and seeking both his "merchandise" and bloody retribution, Yuda's introduction to this bustling city is a baptism of fire as he is forced to go on the run with Astri and her younger brother Adit as all the pimps and gangsters that inhabit the night hound the streets chasing their every step. With escape seemingly beyond their grasp, Yuda has no choice but to face his attackers in an adrenaline charged, jaw-dropping finale.

Note:
Kalo cuma ngeliat dari trailer-nya sih, gue sebenernya ngga tertarik deh untuk liat film ini di bioskop. Dari trailer-nya gue ngeliat cuma film aksi biasa aja yang udah banyak gue liat di film-film aksi tarung Hong Kong ataupun film-film yang dibintangi Jean-Claude van Damme dan Steven Seagal. Udah lama banget gue ngga tertarik lagi dengan film-film aksi tarung semacam itu, karena dulunya udah ‘penuh’ dijejali film-film semacam itu oleh Almarhum Bokap gue yang emang nge-fans dengan Mr. Seagal.

Tapi dari ‘bocoran’ yang gue baca di beberapa review film Merantau ini, pelan tapi pasti membangun ketertarikan gue untuk nonton di bioskop. Belum lagi ‘dibantu’ dengan rilisan trailer terbaru film ini yang lebih lengkap dan lebih ‘tajam’. Minimal gue tertarik untuk menyaksikan film aksi tarung dengan latar belakang pencak silat asli Indonesia sebagai dasar gerakan tarung pelakon utamanya.

Dan ternyata memang film ini jadi beda dengan film-film aksi tarung yang sudah ada karena unsur gerakan pencak silatnya. Gue sih ngga ngerti seberapa otentik jurus yang ditampilkan kalo dikaitkan dengan Silat Harimau yang katanya dijadikan sebagai dasar. Tapi secara keseluruhan gue cukup bisa mengenali bahwa semua gerakan jurus yang ditampilkan oleh pemeran utama dan satu supporting role lainnya adalah bener jurus-jurus pencak silat.

Yang gue tau sih pencak silat itu gerakannya amat sangat efektif, nyaris ngga ada gerakan yang ngga perlu, seefektif gerakan kungfu Shaolin seperti yang ditunjukin Kwai Chang Caine di serial Kungfu. Tapi pencak silat jauh lebih indah, sekalipun jurus-jurus serangannya terlihat menggebrak dan mematikan. Mungkin jurus-jurus serangan semacam itu yang cocok untuk konsumsi film aksi sehingga terpilihlah aliran Silat Harimau dari Minang, sehingga enak diliat dalam adegan tarung yang keras.

Sebagai film aksi tarung, Merantau sudah pada track yang jelas dan pas. Gue ngga banyak komplain dengan selipan kisah dramanya atau akting yang standar aja dari para pemerannya. Gue juga ngga bakal komplain dengan special effect-nya, khususnya untuk tampilan luka dan darah, atau untuk elevator yang keliatan kegedean untuk suatu gedung apartment. Yah sekalipun sempat bikin mood gue rada turun karena scene dramanya yang agak kepanjangan. Yang paling penting, Merantau sudah bisa menyampaikan suatu film aksi tarung dengan sinematografi yang action banget yang enak ditonton dengan cerita yang cukup, bahkan dengan ending yang ‘berani’.

Sempet kaget juga ngeliat Sisca Jessica di-cast jadi female leading role. Apalagi pas di tengah-tengah film ada Ratna Galih juga ikutan jadi extras yang sebenernya lebih enak diliat daripada pemeran Astri. Tapi kalo diliat dari karakterisasi Astri sebagai cewek yang terpaksa menjadi tangguh, Sisca Jessica terlihat lebih pas, sekalipun dalam keseharian Ratna Galih aslinya jauh lebih tomboy.

Dari semua pemeran yang tampil di Merantau, akting Alex Abbad cukup mencuri perhatian gue. Ini adalah film ketiga gue ngeliat Alex Abbad berakting setelah di Pencarian Terakhir dan Cinta Setaman. Dan Alex memang menampilkan karakter yang beda dengan di 2 film terdahulunya. Gue tau Alex yang aslinya cool dan ramah. Tapi kali ini gue sebel banget dengan karakter Johni yang diperankan Alex. Asyik juga mainin karakternya sebagai calo sekaligus germo kelas lokal yang pengecut. Untungnya script dialog karakter Johni yang dalam Bahasa Inggris ditata dengan baik sehingga Alex Abbad ngga kebablasan nunjukin kefasihannya berbahasa negerinya Ratu Elizabeth itu.

Gue sih enjoy banget nonton film ini, ngga mengecewakan sebagai film aksi tarung. Dan juga ngga mengecewakan kalo dibandingkan dengan promo-nya. Cerita yang ngga berat tipikal film aksi, yang juga ngga kebanyakan niat propaganda ataupun pesan sponsor. Dialognya pun bisa disampaikan dengan enak, ngga sekedar diterjemahkan dari script asli yang ditulis sendiri oleh sutradaranya. Dan gue ngga bakal lupa adegan aksi ‘handuk mandi’ yang cukup fenomenal, lucu sekaligus betulan logis.

Image and video hosting by TinyPic

09 October 2009

CINtA: Kerasnya Tohokan Kenyataan Perbedaan



Judul:
CINtA

Sutradara:
Steven Facius

Skenario:
Steven Facius, Akbar Maraputra

Penata Musik:
Titi Sjuman

Pemeran:
Verdy Solaiman, Titi Sjuman, Hengky Solaiman, Djenar Maesa Ayu, Ahmad Nugraha, Riyadh Assegaff, Mahbub Wibowo

Plot:
Ini adalah kisah CINtA di sebuah dunia yang masih menyisakan bekas luka lama di masa lalu. Antara seorang Cina bernama A Su dan Siti, seorang muslimah. Di hari yang menentukan segalanya A Su meminta Siti untuk menikah. Pertanyaan sederhana yang harus mereka jawab bersama dengan cara yang susah.
Pencarian jawaban dari dua orang sederhana yang tidak mengerti kenapa mereka harus berbeda. Dan sebaliknya mengerti, kalau sebenarnya mereka cuma saling jatuh cinta.

Catatan:
Nontonnya termasuk dadakan nih, bahkan terasa seperti dijebak! :P Sebenernya sih bukan dadakan atau pun dijebak, guenya aja o’on yang ngga tanggap situasi. Tapi kalo jebakan model begini sih boleh aja sering-sering koq! :D

Anyway, film yang masih selalu disalah dugakan dengan film lain berjudul sama ini terasa cukup mencekam sejak awal mulanya. Tidak hanya karena musik score-nya (yang ditata dengan apik oleh Titi Sjuman) tapi juga karena pemilihan warna dan angle kamera yang kelam dan yang pasti dialog-dialognya yang ‘keras’. Pada awalnya gue hanya berekspektasi film akan bertutur tema percintaan dua manusia berbeda suku dengan cara penyampaian yang berbeda dari film lainnya. Tapi ternyata dalam durasi yang singkat film ini tidak hanya menyampaikan dengan berbeda, tetapi juga mampu menyampaikan tema tersebut dengan konflik yang betul-betul tajam! Terasa menohok perasaan hati gue.

Cara penyampaiannya begitu keras, sama kerasnya dengan kenyataan yang ada. Gue bukan TiongHoa, tapi mungkin karena sejak kecil sampai sekarang cukup dekat dengan mereka, gue bisa merasakan betapa kerasnya kondisi yang mereka rasakan untuk hidup di Negara ini. Sekalipun bukan dalam diskriminasi yang terang-terangan lagi sejak tahun 1998, tapi perasaan ‘berbeda’ dan ‘dibedakan’ belum bisa dihapus dengan mudah.

Ada satu adegan yang bikin gue tersenyum karena kedalaman pesannya, saat A Su berusaha merubah salah satu bagian identitas di KTP miliknya. Tulisan yang A Su tulis di situ menurut gue tepat banget; seperti itulah seharusnya menurut gue. Ngga tau sih kalo orang lain merasakan/mengerti hal yang sama.

Dengan spirit yang sama dengan film Babi Buta yang Ingin Terbang (namun lebih linier dalam bertutur), film ini tidak menggurui dan juga tidak memberikan solusi. Tapi kenyataan yang disampaikan film ini membuat gue tersadar bahwa diskriminasi tidak mudah dihapus hanya dengan beberapa lembar peraturan.

08 October 2009

Cin(T)a: Asyiknya Berdialog



Judul:
Cin(T)a

Sutradara:
Sammaria Simanjuntak

Pemeran:
Saira Jihan, Sunny Soon

Plot:
Film Cin(T)a adalah kisah cinta segitiga antara Cina, Annisa, dan Tuhan.
Cina (Sunny Soon), mahasiswa baru, 18 tahun, bercita-cita menguasai dunia dengan Tuhannya, Yesus Kristus, di sisinya. Ia percaya bahwa ia dipilih Tuhan untuk menjadi gubernur Tapanuli, sebuah provinsi yang akan terbentuk di masa yang akan datang. Cina berjuang dengan iman yang kuat, namun naif, karena terus menemui kegagalan.
Annisa (Saira Jihan), mahasiswa senior, 24 tahun, yang mana akademisnya agak terhambat karena karirnya sebagai bintang baru di dunia perfilman. Ia putus asa membuktikan bahwa ia bukan perempuan yang hanya memiliki kecantikan dan tidak terlalu pintar. Ketenaran dan kecantikannya malah membuatnya kesepian di mana ia hanya percaya pada cinta dari keluarganya, keluarga Jawa dengan tradisi Islam yang kuat.

Note:
Tema kisah cinta antar ras selalu menarik untuk diceritakan. Baik itu kesedihannya, kesulitannya atau bahkan keindahannya. Cerita semacam ini ngga hanya dimonopoli Indonesia dengan kisah cinta antara seorang pribumi (??) dengan keturunan TiongHoa. Di Amerika Serikat, yang katanya Negara paling demokratis di dunia pun selalu punya kisah menarik tentang hubungan antara seorang Afro Amerika dengan ras kulit putih yang mayoritas di sana.

Dalam film ini, selain mengetengahkan kisah cinta perempuan Jawa dengan laki-laki TiongHoa, juga ‘dipertajam’ dengan perbedaan latar keyakinan agama keduanya; yang Jawa adalah seorang perempuan Muslim yang taat, si laki-laki TiongHoa adalah umat Kristiani. Tetapi perbedaan yang ‘tajam’ itu tidak disampaikan dengan keras atau tegang. Kisah cinta mereka diceritakan dengan cukup santai, asyik bahkan kadang lucu, tapi tetap sarat dengan ‘gugatan’.

Film ini banyak membuat gue tersenyum dengan semua dialog-dialognya. Sekalipun kadang masih terdengar seperti menggurui, tapi cukup mampu disampaikan dengan santai. Dalam kenyataannya justru dalam obrolan ‘pinggir jalan’ sekalipun seringkali kita mendengar kalimat-kalimat yang menggurui. Film ini cukup nyata dalam dialog namun disampaikan dengan santai cenderung ‘cool’.

Tensi cerita nyaris tidak pernah mencapai ketegangan. Sekalipun dalam kesedihan, karakter Annisa ataupun Cina tidak pernah digambarkan larut. Life goes on, terus berlanjut dengan dialog sekalipun mereka tetap di jalurnya masing-masing.