tag:

23 May 2011

7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita: Penghormatan Laki-laki Indonesia terhadap Perempuan


Judul:
7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita

Sutradara dan Penulis Naskah:
Robby Ertanto Soediskam

Pelatih Akting dan Editor Naskah:
Eka D Sitorus

Sound Recordist:
Ichsan Rahmaditta

Line Producer:
Kiki Machina

Para Pemeran:
Jajang C Noer, Marcella Zalianty, Happy Salma, Olga Lydia, Intan Kieflie, Tizza Radia, Tamara Tyasmara, Patty Sandya, Novi Sandrasari, Henky Solaiman, Verdi Solaiman, Rangga Djoned, Tegar Satrya, Revi Budiman, Albert Halim, Bom Bom Gumbira, Achmad Zaki

Catatan:
“Kalo mau bikin film, kasi cerita yang betul-betul kita tau dan mengerti,” begitu kira-kira pernyataan dari kawan saya, sutradara muda yang sedang vakum itu, beberapa tahun yang lalu saat film pertamanya rilis. Pernyataan itu selalu saya ingat-ingat. Dalam berkomentar pun saya ingat-ingat hal itu. Menulis bahasan tentang film pun akan saya tulis dari sudut pandang dan wawasan yang paling saya kuasai. Belum pernah saya membahas film menggunakan sudut pandang teknis perfilman canggih karena memang saya ngga ngerti.

Dari sisi pengetahuan dan pemahaman cerita, tentunya menjadikan film “7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita” sangat menarik karena ditulis dan dibesut oleh seorang laki-laki. Film ini adalah film yang sangat-sangat pro kepada nasib perempuan Indonesia yang memang masih menjadi warga kelas dua di dalam masyarakat negeri ini. Beberapa film Indonesia mutakhir dengan tema sejenis sebelumnya dibuat oleh perempuan. Maka film “7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita” menjadi sangat istimewa di mata saya.

Saya yang sejak kecil sangat dekat dengan perempuan, merasakan keterkaitan emosi dengan cerita yang dipaparkan dalam film ini dengan begitu lugas tanpa dipanjang-panjangkan. Semua kisah yang dihadirkan tidak mengejutkan saya karena memang seperti itulah potret perempuan Indonesia yang saya tahu sejak kecil hingga sekarang. Perempuan di keluarga saya bernasib lebih beruntung daripada yang dikisahkan dalm film ini, namun saya melihat kenyataan yang sama di sekeliling saya, persis seperti yang ditampilkan di layar.

Itu kaitan emosional saya karena saya ‘duduk mengamati’ keadaan sekeliling saya. Namun film ini bergerak jauh lebih dalam karena mampu menceritakan problema perempuan Indonesia dengan baik, jelas, terbuka, tanpa diperhalus. Ini yang menarik dari sutradaranya yang jelas-jelas lelaki. Bisa jadi film ini adalah hasil pengamatannya selama bertahun-tahun. Tapi emosi yang dituturkan lewat gambar-gambar yang efektif seperti meyakinkan saya bahwa sang sutradara tidak hanya sebatas mengemukakan problema yang dihadapi perempuan Indonesia yang nyaris selalu ditutup-tutupi karena alasan adat dan ketabuan, tetapi film ini juga menunjukkan kecintaan dan penghormatan sang sutradara sebagai laki-laki Indonesia terhadap perempuan.

Sang sutradara seperti menempatkan diri sebagai lelaki yang tidak mau merelakan perempuan Indonesia tak berdaya menerima ‘kodrat’ yang disematkan oleh lingkungan patriarkalnya. Mungkin ini juga mengapa film ini diberi judul yang mengandung kata ‘wanita’ yang terdengar berkelas namun menurut artikel “Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik” malah mengandung arti yang merendahkan dibandingkan dengan kata ‘perempuan’ yang mengandung kata ‘empu’ yang bisa diartikan sebagai ‘orang yang mahir/berkuasa’. Mungkin karena perempuan Indonesia masih dirundung permasalahan yang belum jelas ujungnya, si penulis cerita memilihkan judul yang menggunakan kata ‘wanita’.

Film yang sederhana ini disampaikan dalam bahasa gambar yang juga sederhana, namun apik dan efektif. Tidak semua kisah disampaikan dalam dialog karakter-karakternya yang membuat film ini menjadi semakin terasa nyata. Dalam beberapa adegan, si karakter cukup menyampaikan gesture tertentu untuk menyatakan sesuatu, seperti mungkin ada sesuatu yang disembunyikan tanpa kata-kata terucap atau tanpa overdub suara seolah dari pikirannya.

Penggunaan lokasi yang juga nyata, rumah sakit yang beneran ada di Jakarta, semakin mendekatkan film ini dengan kisahnya yang mengangkat problema dari dunia nyata sehari-hari. Belum lagi kewajaran akting dari aktor-aktor (perempuan dan laki-laki) yang terlibat di dalamnya. ‘Twist’ dalam film ini mungkin terasa kurang masuk akal, namun hal itu malah menjadikan pembeda film ini, yang fiksional, dengan film dokumenter dengan cerita sejenis.

Jajang C Noer yang berperan sebagai dr. Kartini, karakter sentral dalam film ini, untuk pertama kalinya dalam sebuah film layar lebar, namanya dimunculkan paling pertama dalam opening title setelah judul. Mungkin hal ini belum tentu berarti banyak bagi beliau. Tetapi bagi saya, mama rock n’ roll ini sudah selayaknya mendapatkan porsi teratas dalam sebuah film nasional, meski memang tidak pernah luput dari penghargaan terhadap aktingnya dalam beberapa film sebelum ini. Setelah banyak berperan dalam karakter pendukung (supporting roles) dalam banyak film, meski tidak pernah tampil hanya sebatas tempelan, sudah saatnya istri almarhum sutradara handal Arifin C Noer ini dipercayakan memegang karakter paling penting dalam sebuah film. Dan seperti ‘biasa’nya, Jajang selalu mampu menampilkan akting yang mumpuni tanpa pernah terlihat dan terasa sedang berakting. Di beberapa adegan di film ini saya seperti melihat selipan karakter Jajang yang asli, yang rock n’ roll, meski tetap dalam ‘koridor’ karakter seorang dokter ahli kandungan. Dan yang juga menarik, akting Jajang yang asyik tidak berarti jadi menutup akting dari aktor-aktor lainnya. Akting Jajang nggak hanya berimbang dalam adu akting dengan Henky Solaiman yang sama-sama kawakan, tetapi Jajang juga mampu tampil ‘enak’ berhadapan dengan aktor-aktor muda pendukung lainnya.

Dari judulnya sudah bisa disimpulkan bahwa film ini tidak hanya menampilkan 2 karakter saja dalam sepanjang durasi tayangnya. Minimal ada 7 karakter perempuan yang ditampilkan. Semua karakter perempuan yang ada pasti beradu akting langsung dengan Jajang C Noer dan juga dengan karakter pendukung lainnya. Semua aktor yang terlibat mampu menampilkan akting yang cukup baik. Tapi dari sekian karakter perempuan yang ada, selain karakter dr. Kartini, tercatat 2 aktor yang cukup mencuri perhatian saya yaitu Happy Salma sebagai Yanthi si PSK dan Intan Kiefli sebagai Ratna si istri yang soleha.

Aura seksi seorang Happy Salma, yang selalu mampu membuat saya berdebar-debar melihatnya meski dia memakai busana yang paling sopan sekalipun, mampu tereksplorasi dengan maksimal ditambah dengan celotehan karakter Yanthi yang khas celotehan warga Jakarta yang sering mangkal sebagai penjaja seks. Happy yang saya tahu selalu santun dalam berbahasa, yang juga mampu berpuisi dalam beberapa kesempatan, kali ini menghidupkan karakter Yanthi dengan gaya bicaranya yang vulgar tanpa tedeng aling-aling. Namun Yanthi yang keras hati karena tertempa kehidupan malam setiap harinya digambarkan mampu juga luluh karena ketulusan cinta seorang Bambang yang selalu setia mengantarkannya. PSK juga manusia.

Ratna yang sedang hamil tua, dengan baik ditampilkan oleh Intan sebagai istri yang setia, patuh dan selalu berprasangka baik terhadap Marwan suaminya. Intan, yang aslinya memang berkerudung, mampu menampilkan karakter Ratna sebagai istri yang mengabdi dan tegar menerima kodratnya yang mewajibkannya terus melayani sang suami meski dalam lelah bekerja sebagai buruh jahit dengan kondisi hamil besarnya. Kondisi hamil dan lelah juga tidak menyurutkan kasih Ratna kepada suaminya yang sering pulang dengan tangan hampa meski katanya baru selesai kerja lembur.

Namun Intan juga mampu optimal menampilkan karakter Ratna yang sedang terhempas ke dasar jurang kecewa. Didukung dengan skenario dengan dialog-dialog yang efektif, Intan ‘menyampaikan’ Ratna yang sedang kecewa dengan amat sangat manusiawi. Kemarahan Ratna tergambar sangat mengguncang saya. Adegan keruwetan Ratna bersama Rara, adik Ratna, dalam mikrolet itu merupakan puncak film ini buat saya. Adegan itu sukses membuat saya sangat bersimpati terhadap Ratna yang sedang kecewa sedalam-dalamnya namun tetap berani mengambil keputusan besar dalam kondisinya yang hamil tua dan tetap harus mengayomi Rara.

Keseluruhan gambaran utuh film ini mungkin saja menohok kesadaran sebagian penontonnya. Bisa saja sebagian menganggap problema yang terpapar adalah sesuatu yang dibesar-besarkan oleh filmmaker-nya. Mungkin juga sebagian lagi menyangkalnya. Tapi saya berharap munculnya kesadaran membuka mata lebih lebar terhadap permasalahan yang dihadapi perempuan di Indonesia. Niatan menyajikan kisah problematika perempuan Indonesia dari seorang filmmaker laki-laki seperti Robby Ertanto dalam film ini makin mengharukan saya. Bentuk tertinggi dari kecintaan terhadap sesuatu adalah memberikan penghormatan yang setinggi-tinggi, sama seperti yang dilakukan Robby Ertanto terhadap perempuan melalui filmnya ini.