12 May 2010
CLASH OF THE TITANS: Haruskah Diperbandingkan?
Karena kebiasaan gue telat nonton film-film yang ‘mengandung’ box office, maka sempat deh baca review film remake dari film tahun 1981 di sana sini. Dan juga karena gue ngga anti review dan spoiler ya hampir semua review yang ‘mampir’ gue baca deh. Dari semua itu, ngga sedikit reviewer yang menyatakan kecewa dengan hasil remake kali ini. Katanya, film remake ini ngga meninggalkan kesan apa-apa, ngga seperti film orisinilanya. Film remake-nya hanya sebatas seru-seruan aja. Belum lagi banyak juga yang mencerca visual 3 dimensinya yang menurut mereka ngga jadi beneran 3 dimensi (makasih buat James Cameron yang sudah sukses ‘merusak’ mata penonton bioskop :D ).
Untuk catatan-catatan mengenai visual 3 dimensinya memang bisa bikin gue mutusin untuk ngga menyaksikan film remake itu dalam versi 3 dimensinya. Tapi ceritanya tetep bikin gue penasaran. Jujur aja saat itu gue belom pernah nonton versi orisinilnya dengan sadar dan konsekuen! *apa sih*
Terus terang gue enjoy banget menikmati film remake garapan Louis Leterrier itu. Semuanya dibikin megah, penuh dengan aksi. Teknologi efek visual pun dimaksimalkan. Belum lagi iringan musik score yang cukup mendukung adegan per adegan. Dan di antara ‘keriuhan’ itu, gue menemukan inti cerita bahwa Perseus menjadi juru selamat meski diawali dari dendam membara. Kematian seluruh keluarga angkatnya membuat Perseus nyaris termakan habis dendam kesumat. Bahkan pertolongan Zeus nyaris ditolaknya mentah-mentah. Namun sisi manusiawi akhirnya membimbing Perseus untuk menumbangkan angkara murka yang dikendalikan oleh pamannya sendiri dan menyelamatkan seluruh semesta termasuk tahta Dewa Dewi di Olympus.
Pada dasarnya, cerita film remake itu sama dengan versi orisinilnya. Secara mendasar menceritakan perjalanan dan perjuangan Perseus untuk melawan angkara murka yang ‘diwakili’ oleh monster Kraken. Memang untuk beberapa karakter mengalami sedikit perubahan. Dan juga ada penambahan dan pengurangan beberapa karakter dari versi orisinilnya.
Perbedaan yang cukup jelas di antara kedua film ini adalah motivasi Perseus dalam usahanya menghancurkan Kraken. Dalam versi film orisinilnya, Perseus mati-matian dalam perjalanannya mencari ‘anti’ Kraken adalah rasa cintanya kepada Andromeda. Dan dalam perjalanannya itu Perseus juga harus berhadapan dengan Calibos yang merupakan kekasih asli dari Andromeda.
Cerita versi film orisinilnya merupakan adaptasi dari legenda/mitos Yunani kuno. Dan adaptasi yang terjadi bukanlah murni dari mitos Yunani saja karena monster Kraken berasal dari mitos Skandinavia. Nah di sinilah mungkin letak ‘celah’ cerita untuk kebebasan adaptasi untuk film remake-nya.
Mungkin saja penulis versi film orisinilnya memilih monster Kraken karena namanya terdengar lebih sangar dan secara fisik lebih mengerikan dibandingkan dengan monster Cetus, yang menurut mitos adalah lawan asli Perseus, yang fisiknya mirip ikan paus. Dan kalimat ‘Release the Kraken’ terdengar lebih keren sebagai pemuncak horror dan terror kepada dunia mitos Yunani.
Versi remake mengadaptasi kembali dengan lebih bebas dan lebih kekinian. Mungkin terinpirasi dengan kondisi bumi yang semakin terancam saat ini, sosok Perseus jadi lebih ‘ditinggikan’ sehingga menjadi penyelamat semesta. Dramatisasi cerita lebih didekatkan kepada aksi heroik perjuangan melawan semua halangan berupa monster dan sihir.
Drama yang indah dan dalam lebih terasakan dalam kisah film orisinilnya. Karena dasar cintanya kepada Andromeda yang membuat Perseus rela mempertaruhkan jiwa raganya menyongsong sorot mata Medusa demi senjata pemusnah Kraken.
Menurut gue, aksi seru dalam film versi remake tidak dapat dibandingkan secara terbuka dengan drama perjalanan kisah cinta pada film versi orisinilnya. Apalagi ceritanya sendiri bukanlah cerita yang orisinil dan murni dari mitos Yunani (bahkan Perseus bukanlah penjinak dan penunggang asli Pegasus!).
Gue mengakui kedua film ini adalah film yang bagus. Tapi gue membiarkan kedua film ini menjadi karya film yang berbeda. Mungkin bisa disamakan dengan cara gue ‘membedakan’ karya novel dengan adaptasi filmnya.
Bisa saja generasi muda sekarang bakal jauh lebih suka versi remake-nya karena berjalan dalam pace cepat dan cukup ketat dengan visual keren dibandingkan dengan versi orisinilnya yang pace-nya rada lambat dengan visual yang cupu (apalagi film orisinilnya rilis setelah Star Wars yang keren efek visualnya). Menurut gue sih silakan aja.
Demikian juga dengan generasi yang ‘lebih tua’ yang lebih menyukai drama perjalanan menuju kemenangan cinta dalam film versi orisinilnya. Itu juga ngga jadi masalah.
Yang jelas buat gue, kedua karya ini biarkan aja menjadi ikon sesuai dengan masanya. Karena karya film, sebagaimana karya seni lainnya, memiliki subyektifitasnya sendiri-sendiri.
No comments:
Post a Comment