06 June 2010
CAPITALISM: A LOVE STORY: Pre-apocalypse True Horror
Title:
Capitalism: A Love Story
Director:
Michael Moore
Writer:
Michael Moore
Casts:
William Black, Jimmy Carter, Congressman Elijah Cummings, Baron Hill
Plot:
Capitalism: A Love Story examines the impact of corporate dominance on the everyday lives of Americans (and by default, the rest of the world). The film moves from Middle America, to the halls of power in Washington, to the global financial epicenter in Manhattan. With both humor and outrage, the film explores the question: What is the price that America pays for its love of capitalism? Families pay the price with their jobs, their homes and their savings. Moore goes into the homes of ordinary people whose lives have been turned upside down; and he goes looking for explanations in Washington, DC and elsewhere. What he finds are the all-too-familiar symptoms of a love affair gone astray: lies, abuse, betrayal...and 14,000 jobs being lost every day. Capitalism: A Love Story also presents what a more hopeful future could look like. Who are we and why do we behave the way that we do?
Note:
Kalo menilik judul filmnya, tentunya sebagian besar pembaca pasti bisa menebak bahwa judul itu ‘ngga jujur’, judul itu bermuatan sarkasme yang jelas. Apalagi apabila tahu bahwa film dokumenter berdurasi 2 jam ini ditulis dan disutradarai oleh Michael Moore, the ‘Notorious’ Michael Moore.
Pada awalnya, Michael Moore berniat membuat sekuel dari Fahrenheit 9/11 setelah George W. Bush terpilih kembali sebagai Presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya. Filmnya akan berfokus pada Amerika sebagai negara korporasi. Namun kondisi krisis finansial tahun 2008 membuat Moore mengerjakan ulang filmnya hingga menjadi seperti sekarang.
Moore selalu punya cara untuk membuat sebuah film dokumenter menjadi menarik untuk terus diikuti sampai selesai. Tentunya berbeda dengan film dokumenter tentang keindahan alam yang mengetengahkan gambar-gambar cantik, Moore seringkali menyelipkan cuplikan film-film lama dengan sedikit ‘penyesuaian’ dialog sehingga kontekstual dengan film arahannya. Salah satu yang kebagian ‘disesuaikan’ adalah beberapa cuplikan dari film Jesus of Nazareth. Tanpa harus menyinggung umat Kristiani, justru Moore mampu menyangatkan topik bahwa Injil Kristen tidak pernah secara eksplisit maupun implisit mendukung kapitalisme. Dan jangan lupa bahwa Michael Moore adalah penganut Kristen Katholik yang taat, maka tidak mungkin dia mengolok-olok Kitab Sucinya sendiri.
Paradigma kebebasan berusaha bagi individu yang didengung-dengungkan oleh paham kapitalisme, di Amerika Serikat telah mengerucut menjadi kesejahteraan tak terbatas bagi pemodal-pemodal besar. Dan lebih mengerikannya lagi, para pemodal besar yang sedikit itu mendapat banyak ‘fasilitas’ dari pemerintah yang didukungnya sehingga banyak mendapat keringanan pajak dan keringan lainnya. Gue melihat ini sebagai kejahatan terorganisir yang lebih jahat daripada mafia narkotika karena membuat rakyat kebanyakan terjebak konsumerisme serta menjadi mudah dihilangkan pekerjaan dan penghasilannya demi kesejahteraan pemodal.
Kapitalisme ala Amerika Serikat mulai meredup seiring datangnya angin perubahan dengan terpilihnya mayoritas Partai Demokrat menduduki House of Representative. Dan puncaknya adalah terpilihnya Obama sebagai Presiden, menggusur George W. Bush beserta pemerintahan Republiknya. Obama yang disebut-sebut sebagai penganut Sosialisme, berpikiran lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat banyak.
Apakah itu kapitalisme, sosialisme, liberalisme dan isme-isme paham ekonomi lainnya (bahkan komunisme sekalipun!), menurut gue adalah ngga menjadi masalah asalkan memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat banyak. Bisa saja di tiap negara berbeda dalam penerapan paham ekonominya, sejauh itu cocok untuk kesejahteraan dan kemajuan ekonomi rakyatnya masing-masing. Apabila nantinya terjadi penyimpangan pelaksanaan dari paham ekonomi tersebut, tentunya masih ada kekuatan rakyat yang akan mengoreksi atau bahkan menumbangkannya, seperti yang disampaikan dalam film ini.
Sekalipun film ini cukup terlambat dirilis di Indonesia, gue melihat hal-hal yang disampaikan Moore masih sangat aktual. Apalagi dampak krisis tahun 2008 itu masih terasa jelas di Indonesia, khususnya dengan bergulirnya kasus bail out Bank Century. Tapi gue membayangkan hal-hal lebih buruk dari yang disampaikan dalam film itu bisa saja terjadi karena DPR Indonesia malah menjadi ‘lubang’ bagi kemaslahatan rakyat Indonesia dengan kelakuannya yang memboroskan keuangan negara.
Adakah seorang Michael Moore di Indonesia yang juga berkata, “I refuse to live in a country like this, and I'm not leaving.” (terjemahan bebasnya “Gue nggak demen tinggal di negara kayak begini, tapi gue nggak bakalan pergi.” –penulis).
No comments:
Post a Comment