07 June 2009
RASA: Banyaknya Ide dalam Keterbatasan
Judul:
Rasa
Sutradara:
Charles Gozali
Penulis Naskah:
Charles Gozali, Steve Benitez, Samantha Aguilar, Hilman Hariwijaya
Para Pemeran:
Christian Sugiono, Pevita Pearce, Wulan Guritno, Steve Benitez, Samantha Aguilar, Sarah Benitez, Joe Taslim, Alex Komang, Ray Sahetapy
Catatan:
Gue ngikutin film ini sejak awal sekali. Gue sempet hadir di acara slametan pra produksinya atas undangan salah satu aktornya yang gue kenal dari filmnya sebelum ini. Kesan awal ngedengerin sutradaranya cerita tentang produksi film ini, jujur gue bingung. Yang gue tangkap dari obrolan waktu itu, sutradaranya lebih focus dalam pemasaran filmnya. Gue ngga banyak pertanyaan sih, waktu itu sebatas menyimak semua yang diceritain sutradaranya. Sedangkan untuk filmnya sendiri gue belom dapat gambaran yang jelas dan utuh. Yang bikin gue seneng waktu itu diundang untuk bisa hadir pas shooting.
Ga tau karena ngga jodoh ato gimana, pas shooting hari pertama gue ngga bisa hadir. Yah gitulah kalo masih kerja kantoran, kesempatan nongkrongin langsung shooting film malah ngga jadi. Merasa ngga enak juga sih. Selain karena janji, gue termasuk pendukung film Indonesia. Sekalipun masih belom yakin dengan produksinya, karena obrolan di slametan produksi tempo hari, tapi gue mau banget liat produksi film Indonesia secara langsung. Mumpung gue kenal dengan aktor dan sutradaranya.
Produksi filmnya terus berjalan dan gue ngga pernah sempet ngikutin langsung prosesnya. Duh, emang pas banget sibuk dengan kerjaan kantor yang sampai bikin gue musti ‘disekap’ supaya bisa konsentrasi penuh. Di antara itu sempet juga sih saling kontak. Gue coba membantu dengan apa yang gue bisa dari ‘jarak jauh’ sambil terus coba cari tahu banyak tentang film ini.
Sampai akhirnya gue dapat kabar langsung dari sutradaranya bahwa produksi filmnya sudah masuk tahap akhir. Kebeneran banget kerjaan kantor lagi agak longgar. Akhirnya gue mampir juga ke kantor Magma Entertainment yang ngga jauh dari kantor gue.
Di kantor Magma, gue ngeliat langsung bagaimana mereka bekerja. Waktu itu mereka sedang merencanakan startegi promosi film Rasa ini. Banyak hal yang gue simak waktu itu.
Setelah selesai meeting promosi, Charles Gozali secara eksklusif ngasi liat trailer Rasa dalam 2 versi secara khusus di dalam ‘sanctuary’nya. Gue disuruh komentar yang jujur untuk kedua versi trailer itu. Gue sih berusaha jujur aja. Dan kayaknya sih, versi trailer untuk pasar Indonesia yang bisa kita liat sekarang itu sudah hasil revisi, yang sepertinya hasil masukan dari gue juga :D
Setelah liat trailer, kita lanjut makan siang di kantor. Sambil makan siang, Charles Gozali cerita banyak soal produksi film Rasa. Semuanya diceritain. Semuanya, sampai semua kendalanya juga diceritain, tentunya dengan wanti-wanti ‘off the record’ (berasa jadi wartawan deh gue).
Yang paling menarik dari cerita yang disampaikan, sebenernya Charles dalam film layar lebar pertamanya ini mendedikasikan semuanya untuk kebangkitan film Indonesia menjadi yang bermutu sekaligus komersil. Dia berkaca langsung dengan produksi-produksi film Indonesia di masa lalu yang diproduseri ayahnya yang bermutu baik sekaligus sukses secara komersil, yang salah satunya adalah Perempuan Dalam Pasungan. Charles cukup concern dengan film-film Indonesia mutakhir yang terbagi dalam 2 ‘jenis’: bermutu kurang tapi laku atau bermutu baik tapi nggak laku. Charles kepingin bikin film bagus sekaligus laku. Dalam konsep promosinya, Charles pingin mengajak penonton film Indonesia untuk mengingat lagi bahwa pernah film Indonesia menjadi tuan di rumahnya sendiri.
Selain dedikasi besarnya, Charles juga mendedikasikan film Rasa untuk salah satu driver di tim produksinya yang meninggal dunia persis setelah produksi selesai. Sang driver ternyata menderita kanker, yang sekalipun dalam keadaan sakit keras, tetap bekerja penuh mendukung produksi film Rasa.
Cerita unik lainnya, adalah seorang pelukis poster film handal yang saat ini sudah kekurangan job karena keahliannya sudah banyak digantikan dengan teknologi. Selain itu beliau juga menderita tremor pada tangannya. Hampir saja beliau menyerah tidak mau melukis lagi. Padahal pekerjaan pelukis poster yang dilakoninya secara turun temurun, beliaulah yang terbaik yang pernah dimiliki keluarganya. Demikian hal yang diakui oleh ayahnya.
Karena kebutuhan dalam produksi film ini, beliau didapuk untuk menjadi pelukis semua lukisan yang ada dalam film Rasa. Awalnya beliau sempat menolak karena kondiri kesehatannya (tremor). Tapi karena dukungan moril dari tim produksi akhirnya beliau mau melakoninya. Belakangan beliau berterima kasih karena bisa berkarya kembali dan karyanya dipakai dalam sebuah produksi film.
Banyak cerita bagus yang disampaikan Charles, tapi ngga sedikit juga cerita yang ‘off the record’ yang diceritakannya. Kedua sisi cerita itu gue inget banget. Tapi jadinya gue kuatir dengan hasil produksi filmnya.
Dan pada press screening kekuatiran gue terbukti.
Rasa jadi film yang melelahkan buat gue. Bukan cuma karena durasinya yang terasa kepanjangan, tapi terasa banget kalo film ini banyak sekali dijejali ide-ide tapi ngga mampu disampaikan dengan baik. Bukannya gue sok karena banyak nonton film yang katanya bagus, tapi film Rasa seperti kumpulan pecahan puzzle yang ngga bisa menemukan tempatnya yang pas. Pecahan puzzle itu seperti berjejal-jejal dan bertumpuk-tumpuk.
Durasinya yang terasa kepanjangan kayaknya mungkin lebih pas kali dibikin berseri sekalian. Mungkin juga karena Charles sebelum ini berpengalaman membesut serial TV. Tapi bisa juga karena sepanjang film, si pembuat cerita berusaha ‘menemukan’ slot cerita yang pas untuk menyatukan semua jejalan/tumpukan ide cerita. Sayangnya sampai akhirnya usaha itu masih belom berhasil.
Tapi dari semua hal yang melelahkan dari film Rasa, gue ngeliat ada beberapa hal yang bisa menjadi nilai positif. Salah satunya adalah akting Wulan Guritno yang cukup enak diperhatikan. Karakter yang diperankan Wulan cukup berhasil menampilkan seorang Ibu yang depresi sekaligus abu-abu dalam menerima bantuan dari orang lain. Sedangkan karakter antagonis yang diperankan Joe Taslim juga cukup natural dengan aksen Bahasa Inggris yang enak dan jelas. Mungkin karena dalam serial TV, Joe sudah berpengalaman sebagai antagonis.
Dan yang paling perlu diberi apresiasi untuk film Rasa adalah usaha memberikan ending yang berbeda dengan kebanyakan ending film Indonesia mutakhir komersil. Selain sebuah twist ending, penulis cerita film Rasa perlu diacungi jempol untuk keberaniannya membuat ending yang tidak biasa.
Sayangnya beberapa hal positif yang gue sampaikan di atas berada di sela-sela kelelahan gue menyaksikan keseluruhan filmnya. Hampir aja gue melewatkan hal-hal itu. Dan dari semua cerita Charles yang ‘off the record’ itu, gue jadi maklum banget kalo film Rasa akhirnya jadi seperti itu.
Labels:
Movies
No comments:
Post a Comment