06 August 2009
MERAH PUTIH: Penggugah yang Diharapkan Menggugah
Judul:
Merah Putih
Sutradara:
Yadi Sugandi
Penulis Skenario:
Conor Allyn, Rob Allyn
Pemeran:
Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Darius Sinatrya, Zumi Zola, T. Rifnu Wikana, Rudy Wowor
Catatan:
Udah lama banget ngga liat film perang dengan setting cerita masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Baru kali ini ada yang niat banget bikin film dengan latar perang kemerdekaan. Dan ngga hanya jadi latar, tapi memang niat dibikin lengkap dengan adegan peperangannya. Tentunya ngga seluruh perang yang terjadi digambarkan di sini. Dan ngga hanya perang kemerdekaan aja, katanya film ini bakal dibuat menjadi trilogi.
Proyek film yang cukup ambisius dengan sebagian kru berkebangsaan asing (executive producer dan penulis skenario) terlihat cukup mewah di antara produksi film-film Indonesia akhir-akhir ini. Denger-denger sih budget-nya mencapai 60 milyar rupiah untuk satu film ini saja. Ngga heran juga sih, adegan perang dan ledakannya cukup keren. Ngga kalah dengan film-film perang lainnya, sekalipun tetap dengan ledakan yang sesuai dengan masanya (tahun 1947).
Tapi kalo mengharapkan film ini menjadi penggugah rasa nasionalisme, gue koq ngga merasakan seperti itu ya. Beberapa adegan yang mestinya menggiring gue untuk merasakan kemegahan sebuah perjuangan yang mulia, sepertinya malah biasa saja. Adegan yang seharusnya terlihat gagah ngga bikin gue kagum sama sekali.
Beberapa karakter pun terasa inkonsisten, seperti Sang Komandan yang pada awalnya pada masa pendidikan terlihat begitu bijaksana dan penuh strategi, tapi pada saat pecah pertempuran malah tidak berpikir panjang dan semata-mata hanya ‘mengandalkan’ ridho Allah. Karakter Marius tiba-tiba bisa berubah jadi pengecut total hanya karena pecah adu senjata.
Ngga sedikit juga dialog-dialog yang ngga perlu, yang mungkin lebih bagus kalo bisa disampaikan dalam ‘bahasa’ visual, seperti adegan debat si Letnan dengan Sang Komandan sebelum maju bertempur membabi buta.
Selain itu ada hal yang menurut gue janggal karena gue baru tahu kalo aggressor Belanda mampu menyisir dan mengejar para pejuang Indonesia sampai masuk ke pelosok hutan dan gunung dengan berjalan kaki, mampu melakukan pertempuran malam di dalam hutan. Setau gue prajurit Eropa/Amerika tidak terlatih untuk pertempuran di dalam hutan, khususnya hutan tropis yang pekat seperti di Indonesia. Kalaupun ada yang mampu, itu baru terjadi 20 tahun kemudian dalam perang di Vietnam, itu pun kalah.
Puncak cerita yang dimulai pada bulan Juni 1947 ini masih belum jelas. Apakah nanti akan ditutup pada peristiwa besar Agresi Belanda I pada bulan Juli 1947? Ngga banyak ‘pengantar’ yang mengarah ke situ. Tentunya berbeda apabila mengambil cerita sebelum kemerdekaan yang pastinya berpuncak pada Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sekalipun begitu, baru kali ini gue liat film perjuangan kemerdekaan yang mana pejuang-pejuangnya nggak melulu berisikan orang-orang dengan nasionalisme tinggi dan berapi-api. Dalam film ini beberapa karakter bergabung dengan pejuang digambarkan karena sebab yang berbeda-beda, di antaranya memang mau pamer kegagahan dan yang satunya lagi demi membalas dendam karena seluruh keluarganya tewas di tangan aggressor Belanda.
Dan bagaimana pun juga, film ini cukup segar di antara film-film Indonesia mutakhir yang temanya nyaris seragam. Dan lagi film ini cukup cocok untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus nanti.
Mudah-mudahan untuk seri lanjutannya dapat digarap dengan lebih baik lagi dan mudah-mudahan mampu menggugah kesadaran kebangsaan.
1 comment:
setuju.
mengecewakan. kayak nonton film B-movie perang vietnam dengan dar der dor tanpa cerita.
60 milyar yang sia2.
Post a Comment