07 January 2010
‘Semuanya’ Ada di RUMAH DARA
Judul:
Rumah Dara
Sutradara:
Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel (Mo Brothers)
Penulis:
Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel (Mo Brothers)
Para Pemeran:
Ario Bayu, Shareefa Daanish, Julie Estelle, Ruly Lubis, Daniel Mananta, Mike Muliadro, Arifin Putra, Dendy Subangil, Imelda Therinne, Sigi Wimala
Plot:
Pasangan pengantin baru, Adji dan Astrid beserta 3 sahabat mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan ke luar kota untuk mencoba mendamaikan kembali Adjie dengan adiknya Ladya, yang tak pernah lagi berkirim kabar setelah kematian orang tua mereka.
Perjalanan ke sana terhenti ketika seorang gadis cantik bernama Maya muncul di depan mobil mereka. Terlihat cemas dan linglung, gadis cantik ini mengiba kepada mereka: “Nama saya Maya… Saya baru saja dirampok.”
Mereka memutuskan untuk menolong Maya dengan memberi tumpangan ke rumahnya yang menyerupai benteng tua di daerah terpencil. Sekilas semua tampak baik-baik saja ketika mereka diundang masuk. Mereka pun ikut makan malam, dilayani seorang sosok keibuan yang misterius bernama Dara, yang juga seorang ahli masak yang hebat.
Disinilah kebaikan hati dan maksud baik menjadi awal bencana di hari yang kelam ini, tak menyadari bahwa keputusan mereka untuk mengantar Maya pulang akan menjadi sebuah katalis berdarah dalam hidup mereka. Tanpa mengetahui apa sebab dari kekejaman dan kematian yang terjadi disekitar mereka, 6 orang harus berjuang untuk kabur dari para penghuni rumah yang sepertinya memang dilahirkan untuk membunuh. Malam yang begitu kelam itu belum pernah terlihat begitu merah.
Catatan:
Gue termasuk yang beruntung punya kesempatan menyaksikan film ini dua kali sebelum nantinya tayang luas di Indonesia mulai Januari 2010. Kesempatan pertama kali menyaksikan film ini adalah kesempatan yang paling ‘mahal’! Gue sebut 'mahal' karena itulah saat pertama kali film ini tayang di bioskop Indonesia dan dalam versi yang bersih dari ‘campur tangan’ LSF (versi tayang Singapore dengan judul ‘Darah’). Gue ngga tau persisnya, tapi mungkin versi itulah yang boleh disebut sebagai versi International Cut.
Kesempatan menyaksikan film ini untuk yang kedua kalinya jelas tidaklah ‘semahal’ kesempatan pertama. Tapi cukup ‘menarik’ untuk disaksikan kembali karena gue pribadi merasa ‘penasaran’ seperti apa film ini setelah mendapat ‘persetujuan’ dari LSF. Dan hasilnya ternyata semua sensor dan cut yang dilakukan tidak mengganggu tuturan dan urutan cerita. Tapi pastinya beberapa adegan yang lumayan ‘menghibur’ jadi hilang terbuang, termasuk salah satu adegan yang menggunakan efek make up khusus yang untuk pertama kalinya berhasil dimaksimalkan untuk ukuran film Indonesia mutakhir.
Gue bukan salah satu dari banyak penggemar film-film slasher semacam Rumah Dara. Bahkan gue bukan salah satu penggemar film-film horror! Tapi bukan berarti gue penakut loh! Tapi jujur aja, sebenernya gue selalu penasaran dengan film-film horror yang pernah ada (termasuk semua genre ‘turunan’nya, seperti slasher). Jadinya sedikit banyak gue juga menyimak film-film jenis ini, sekalipun sebatas hanya film-film yang terkenal saja. Bahkan gue udah pernah nonton Cannibal Holocaust secara penuh! Sebenernya film itu salah satu ‘film’ masa kecil gue; waktu jamannya video baru booming gue ngga sengaja nonton sepotong film itu pas diputer Alm. Bokap di kamarnya.
Nah dari hasil menyimak film-film sejenis, gue menemukan bahwa Rumah Dara memang dibuat menggunakan ‘template’ film slasher. Semua unsur yang hampir selalu ada dalam setiap film slasher ditampilkan dalam Rumah Dara. Sebutin aja unsur-unsur itu; casts yang enak dilihat mata, lokasi yang terpencil dari ‘peradaban’, kelakuan antagonis yang misterius, penggoda, komunitas tersembunyi, pelarian yang salah arah, darah yang menyembur dan membanjir, point of view kamera yang ekstrim, adegan menebas/menyayat/memotong yang brutal dan ngga ketinggalan adegan seks!
Ngga ada yang orisinil di film ini. Bahkan beberapa adegan mungkin pernah ada di film-film slasher terdahulunya (tentunya film slasher produksi Eropa dan Amerika). Tapi seperti yang pernah salah satu sutradara Indonesia kenalan gue bilang bahwa setiap cerita sekarang pasti dulunya pernah ada yang menceritakan hal yang sama, jadi orisinalitas udah jadi ‘barang’ langka. Yang lebih penting adalah bagaimana sekarang cara kita mengemas dan menyampaikan cerita itu.
Poin plus dari Rumah Dara adalah dalam mengemas tema slasher yang sudah ‘umum’ seperti ini, Mo Brothers masih sempat menyisipkan cerita yang sangat khas Indonesia. Gue yakin setiap orang yang nonton adegan cerita itu bakalan setuju kalo adegan itulah yang sangat-sangat Indonesia.
Dari semua adegan dalam film ini, adegan Daniel Mananta dan Dendy Subangil teriak-teriak putus asa dalam keadaan terikat selalu bikin gue merinding sekaligus sesak nafas sekalipun gue udah dua kali nonton. Gue melihat mereka seperti beneran dalam kondisi putus asa sampai seolah-olah gue ikutan merasakannya. Gue merasa mungkin bakal seperti itulah kalo gue sedang merasakan ketakutan ato putus asa yang amat sangat. Jadinya gue malah penasaran seperti apa Mo Brothers mengarahkan mereka sampai bisa meyakinkan seperti itu.
Dan semuanya itu terjawab setelah gue dapet kesempatan singkat untuk nanya-nanya hal itu ke Dendy Subangil. Dia dengan ‘senang hati’ cerita bahwa pada awalnya para sutradara itu (ya ‘para’ lah, kan ‘brothers’) mengarahkan kepada Dendy dan Daniel untuk berakting putus asa, itu aja. Cukup sederhana kan?! Tapi ternyata proses pengambilan gambar untuk adegan itu memakan waktu sampai belasan jam. Dan mereka, Dendy dan Daniel, dalam sebagian besar waktu pengambilan gambar itu ‘wajib’ stand by dalam keadaan tetap terikat! Apa yang akhirnya kita liat dalam film, selain akting, juga merupakan akumulasi keputus asaan menunggu kapan selesainya pengambilan gambar adegan itu; “ngga selesai-selesai sih syutingnya??”
Buat yang suka dengan si ganteng Arifin Putra (padahal aktor-aktor cowok di film ini sebagian besar ganteng-ganteng juga loh!), siap-siap untuk semakin mengaguminya! Arifin tampil jauh berbeda dari semua penampilannya di film-film sebelum Rumah Dara. Kharisma karakter Adam sukses ditampilkan Arifin dengan penuh gaya; stylish robotic zombiesque bone-crusher, kalo boleh gue bilang. Kharisma Adam nyaris menyaingi kharisma Ibu Dara!
Ending film ini yang multi tafsir semakin melengkapi ‘template’ film horror/slasher yang ditampilkan dalam film ini. Semuanya ada di Rumah Dara. Sekalipun begitu, toh film-film sejenis tetap punya penggemarnya. Dan semuanya terserah penilaian masing-masing penontonnya. Yang pasti Rumah Dara sudah berani tampil sebagai film slasher Indonesia pertama dengan efek visual yang paling realistis.
Labels:
Movies
No comments:
Post a Comment