27 November 2011
Sang Penari
Judul:
Sang Penari
Sutradara:
Ifa Isfansyah
Skenario:
Salman Aristo, Ifa Isfansyah, Shanty Harmayn
Produser:
Shanty Harmayn
Para Pemeran:
Oka Antara, Prisia Nasution, Slamet Rahardjo, Dewi Irawan, Landung Simatupang, Happy Salma, Teuku Rifnu Wikana, Tio Pakusadewo, Lukman Sardi, Hendro Djarot, Yayu Unru, Arswendi Nasution, Zainal Abidin Domba
Plot:
Sebuah cerita cinta yang terjadi di sebuah desa miskin Jawa Tengah pada pertengahan 1960-an. Rasus, seorang tentara muda, menyusuri kampung halamannya, mencari cintanya yang hilang: Srintil.
Ketika keduanya masih sangat muda dan saling jatuh cinta di kampung mereka yang kecil dan miskin, Dukuh Paruk, sesuatu menghalangi cinta mereka. Kemampuan menari Srintil yang magis membuat para tetua dukuh percaya bahwa Srintil adalah titisan ronggeng.
Ketika Srintil menyiapkan diri untuk tugasnya, ia menyadari bahwa menjadi ronggeng tidak hanya berarti menjadi pilihan dukuhnya di pentas-pentas tari. Srintil akan menjadi milik semua warga Dukuh Paruk. Hal ini menempatkan Rasus pada sebuah dilema. Ia merasa cintanya dirampas dan dalam keputusasaan ia meninggalkan dukuhnya untuk menjadi tentara.
Zaman bergerak. Rasus harus memilih: loyal kepada negara atau cintanya kepada Srintil. Ketika Rasus berada dalam dilema, ia sudah kehilangan jejak kekasihnya. Pencariannya tidak mudah dan baru membuahkan hasil sepuluh tahun kemudian.
Catatan:
Film ini sebenarnya berkisah tentang percintaan yang sederhana dari Rasus (Oka antara) dengan Srintil (Prisia Nasution), dua anak Dukuh Paruk (dukuh lebih kecil dan lebih terpencil dibandingkan desa) yang terbentur dengan adat ronggeng yang umum di kawasan Banyumas dan dilatari masa gejolak politik runtuhnya Orde Lama dan awal berkuasanya rezim Orde Baru di Indonesia. Kisah cinta yang mestinya sederhana itu menjadi rumit ketika Srintil kukuh ingin berdharma bhakti, sekaligus berusaha menebus dosa orang tuanya, dengan menjadi ronggeng yang dipercaya akan mengembalikan pamor Dukuh Paruk yang telah lama tidak memiliki ronggeng sejak kematian Surti.
Rasus menentang keinginan Srintil jadi ronggeng terutama karena ronggeng harus melalui ritual “Buka Kelambu” dan menyerahkan keperawanannya kepada penawar dengan ‘harga’ tertinggi. Tak ada lelaki waras yang merelakan kekasihnya menjadi milik banyak lelaki lain. Namun secara tidak langsung Rasus juga menentang kemapanan adat ronggeng di dukuh kelahirannya.
Dalam kisah ini diperlihatkan betapa penguasa, diwakili karakter Kartareja Sang Dukun Ronggeng (Slamet Rahardjo), selalu memiliki tendensi korup memanfaatkan kekuasaannya, meremehkan orang kecil, dan berani memanipulasi keputusan hanya karena dukungan materi. Ritual sesembahan dan sesajen penghormatan kepada makam Ki Secamenggala, leluhur Dukuh Paruk, hanya menjadi alat berdalih di hadapan masyarakat dukuh yang polos lugu.
Kartareja, dengan didukung penuh Nyai Kartareja (Dewi Irawan), mengeksploitasi habis-habisan Srintil sebagai ronggeng baru sejak malam “Buka Kelambu”. Pasangan suami-istri paling terhormat di dukuh gersang itu malah melorotkan adat ronggeng yang semestinya mengangkat harkat masyarakat dukuh menjadi mendekati pelacuran terselubung.
Saya mendengar ada penolakan oleh masyarakat ronggeng Banyumas atas penggambaran ronggeng yang nyaris mirip pelacuran tersebut. Menurut mereka tidak ada adat ronggeng yang seperti itu. Saya bukan pengamat antropologi masyarakat Banyumas, dan Dukuh Paruk sendiri adalah lokasi fiktif rekaan Ahmad Tohari, penulis trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk yang menginpirasi film ini, menurut saya bisa jadi tidak ada klaim kebenaran yang sah mengenai ritual “Buka Kelambu” bagi ronggeng baru dan seterusnya.
Tetapi saya melihat pada dasarnya ronggeng adalah adat istiadat yang mulia. Seperti yang disampaikan bahwa ronggeng adalah perempuan dengan kasta tertinggi dalam masyarakat Dukuh. Proses penyerahan keperawanannya, ritual “Buka Kelambu”, yang dirayakan dengan upacara sakral. Setiap laki-laki yang dipilih oleh ronggeng untuk menidurinya seperti menjadi gengsi tersendiri. Bahkan istri dari lelaki yang beruntung itu merasa bersyukur suaminya terpilih meniduri Sang Ronggeng.
Penggambaran tersebut mengingatkan saya kepada cerita ritual persetubuhan penganut paganisme yang disinggung dalam novel kontroversial The Da Vinci Code karya Dan Brown. Saya melihat kesamaan antara ritual yang dipercaya mampu membawa pelakunya ‘mengintip’ surga itu dengan ritual persetubuhan ronggeng dengan laki-laki yang dipilihnya. Justru karena distorsi pemahaman ajaran agama yang akhirnya malah menabukan seksualitas manusia dan juga karena eksploitasi penguasa korup yang memuja syahwat, maka pelan tapi pasti hilanglah anggapan kesucian ritual yang dulu dianggap sebagai salah satu cara sakral untuk mendekatkan manusia kepada penciptanya.
Akting yang digelar natural mampu membuat saya berdecak kagum dan tersenyum-senyum. Semua latar kesukuan tiap-tiap pemerannya tidak tampak di layar. Akting Oka Antara cukup menonjol dan berkembang sebagai Rasus, lelaki kampung yang polos dan lugu, hingga menjadi dewasa, berani dan tegar. Dewi Irawan mampu menghidupkan karakter Nyai Kartareja sebagai penguasa dukuh second in command yang munafik, korup, manipulatif dan keji.
Prisia Nasution tampil rapi sebagai Srintil, nyaris tanpa cela. Dalam film panjang layar lebar pertamanya ini, Prisia cukup meyakinkan tampil sebagai perempuan lugu, bodoh, sederhana yang tumbuh dalam lingkungan dukuh terpencil di Banyumas. Sedangkan Tio Pakusadewo tetap tampil ciamik, seperti sedang mengukuhkan levelnya sebagai aktor yang selalu diperhitungkan penampilannya.
Akting Hendro Djarot sebagai Sakum, pemain kendang tua dan buta, cukup mencuri perhatian. Sakum yang hanya sebagai pendukung ronggeng, justru mendapat posisi penting bagi Srintil saat ronggeng baru itu sedang gelisah. Lukman Sardi yang memerankan Bakar, kali ini nyaris tampil tanpa greget; entah karena Lukman Sardi sudah mulai kehilangan karismanya, atau mungkin hanya karena ayah beranak satu ini kali ini tampil dengan peran karakter yang kurang kuat dan ‘terkepung’ oleh aktor-aktor yang tampil prima.
Kala film lain berusaha mengetengahkan sinematografi yang berisi, justru film ini menyampaikan sinematografi yang hampa. Jangan salah, bukan berarti film ini menampilkan gambar yang tidak menyampaikan apa-apa. Tetapi dalam sinematografi yang ciamik, bahkan Dukuh Paruk tampak terlalu hijau menurut Ahmad Tohari, gambar-gambar dalam film ini mampu membuat saya merasakan kehampaan sesuai dengan yang seharusnya diceritakan.
Peristiwa sejarah pergolakan politik Indonesia tahun 1965 yang melatari kisah film ini selalu menarik perhatian saya. Buat saya, masa-masa itu masih menjadi masa yang kelam dan penuh misteri. Cerita-cerita pemberantasan PKI dan simpatisannya yang saya peroleh dari banyak sumber, membuat saya menahan tangis saat menyaksikan Srintil berangkat berkereta menembus ladang tebu. Adegan yang didukung dengan gambar yang indah itu membuat saya seperti menyaksikan simbolisme penyerahan total Srintil berdharma bhakti kepada dukuhnya.
Dan Rasus pun menjadi dewasa dan mengikhlaskan Srintil meronggeng. Akhir yang mengharukan sekaligus membebaskan.
No comments:
Post a Comment