“Cara Luar Biasa untuk Tampil Biasa-biasa”
catatan Edwin Rizky Supriyadi
Tulisan ini sekadar catatan dan sharing perjalanan diet saya, bukan sebagai bahan promosi apa pun. Tetapi apabila ada yang lantas termotivasi adalah di luar intensi awal saya menuliskan catatan ini.
tulisan sebelumnya [Perjalanan]
Proses Adaptasi
Selama menjalani diet Ketogenic, saya paling merasakan badan mengalami dua kali adaptasi. Yang paling pertama adalah beradaptasi dengan menu makanan yang total zero sugar dan memaksa langsung zero carbohydrate sekaligus juga memaksa langsung tidak sarapan pagi. “Memaksa” mungkin terdengar mengerikan dan berbahaya, tetapi untuk memaksa diri saya sendiri, minimal dengan berbekal pengalaman rutin menjalani Puasa Ramadhan, saya cukup dapat memperhitungkan adaptasi macam apa yang akan saya alami, paling tidak dalam seminggu pertama menjalani diet Ketogenic tanpa sarapan, zero sugar dan zero carbohydrate.
Buat saya yang sehari-hari beraktivitas di kantor, yang lebih banyak duduk di hadapan komputer, keberanian memaksa diri untuk memulai diet Ketogenic dengan tidak sarapan bukanlah hal yang luar biasa. Kondisi fisik tubuh yang langsung menurun karena baru memulai diet relatif cukup “mudah” diantisipasi dengan tetap duduk manis di meja kerja. “Ujian” yang paling utama adalah sejak pagi duduk di depan komputer dengan perut lapar yang sedikit banyak mengganggu proses berpikir tetap jelas dan tenang.
Satu hal yang mempermudah adaptasi proses tanpa sarapan adalah karena saya masih tetap boleh menikmati kopi straight black sepagi mungkin. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, caffeine kopi memang tidak banyak berpengaruh terhadap badan saya, tetapi minimal sruputan cairan pahit gurih sedap hangat itu memberikan sugesti yang menyamankan pikiran saya, meskipun bukan total moodbooster.
Masih boleh minum kopi dan masih boleh minum minuman zero sugar dan zero calorie sambil menunggu waktu makan siang cukup membuat adaptasi saya lebih mudah dibanding adaptasi saya saat menjalani awal Puasa Ramadan. Cukup menahan diri mendengarkan suara krucukan lambung yang kelaparan dan kepala yang sedikit pusing dengan tetap berusaha duduk tenang sambil kadang menambah asupan kopi.
Yang membuat kepala sedikit pusing, selain karena lambung tidak diisi makanan, juga karena sama sekali tidak mengonsumsi sugar. Untuk penjelasan keterkaitan konsumsi sugar dan kepala yang pusing akan saya singgung lagi nanti.
Adaptasi rasa kelaparan dan kepala pusing hanya terjadi pada minggu pertama menjalankan diet Ketogenic, yang ternyata rentang waktunya tidak jauh berbeda dengan proses adaptasi dalam menjalankan Puasa Ramadan. Untuk minggu-minggu selanjutnya, tubuh saya secara organik sudah menemukan ritmenya dan tidak lagi mengalami pusing kepala. Hal ini bukan saja karena “dibiasakan” tetapi juga didukung asupan makanan yang cukup nutrisinya.
Adaptasi yang berikutnya adalah sewaktu memasuki masa transisi menuju kondisi Fat Adapted yang ternyata prosesnya tidak mudah dan tidak sederhana. Tubuh saya yang lebih dari 40 tahun sebagai glucose burner berproses menjadi fat burner yang ternyata tidak sesederhana mengganti menu makanan dan meniadakan asupan sugar. Sebagian penggantian menu makanan ternyata adalah proses “pancingan” supaya tubuh saya lebih mencari lemak menjadi bahan bakar utamanya. Dan untuk menjadikan lemak badan sebagai bahan bakar utama, tubuh berproses beradaptasi secara hormonal dan pada level sel.
Proses menuju Fat Adapted inilah yang membuat tubuh saya sempat sakit-sakit seperti demam. Buat saya yang dulunya “langganan” sakit demam sebulan sekali, demam Fat Adapted ini berbeda karena saya tidak merasakan adanya titik-titik infeksi seperti demam pada umumya meski dengan gejala umum yang hampir sama.
Keto Flu
Demam yang muncul dalam proses Fat Adapted ini sebenarnya sudah sejak awal diingatkan oleh beberapa narasumber diet Ketogenic yang saya ikuti. Tetapi antisipasinya baru “ditemukan” setelah saya melaluinya. Menurut beberapa dokter, demam ini, yang lebih dikenal dengan sebutan “Keto Flu”, bisa diminimalisir dengan asupan Sodium yang cukup sejak memulai proses diet. Sayangnya informasi ini baru saya ketahui belakangan setelah saya melalui Keto Flu sehingga tidak bisa saya buktikan sendiri.
Karena sudah diingatkan sejak awal bahwa akan mengalami Keto Flu, saya sempat yakin mengalaminya lebih awal karena pada pertengahan minggu ke-9 diet Ketogenic saya sempat mengalami demam selama 7 hari. Tetapi belakangan ternyata itu hanya demam biasa yang terjadi mungkin karena kondisi saya sedang menurun saja.
Sepuluh hari kemudian, pada akhir minggu ke-11 diet Ketogenic, saya mengalami lemas selama 5 hari, namun tidak demam, sampai saya harus mengambil cuti supaya bisa total istirahat di rumah. Kali ini tubuh saya benar-benar lemah, lengkap dengan kepala yang pening, tapi tidak merasakan infeksi di mana pun. Meski waktu itu saya belum tahu cara antisipasinya, pola makan dan menu makanan tetap saya pertahankan sesuai diet Ketogenic.
Persis setelah 5 hari, kondisi fisik saya kembali fit seperti semula, bahkan terasa lebih ringan untuk beraktivitas rutin. Efek yang paling jelas adalah saya tidak lagi mudah merasa lapar. Menunda makan siang lebih lama menjadi lebih mudah.
Donor Darah, Tensi dan Hb
Sebuah rutinitas yang tetap saya lakukan selama diet Ketogenic adalah melakukan donor darah. Selain terasa “nagih”, yang saya baru sadari belakangan, sesi pemeriksaan tensi darah dan Hemoglobin darah berguna untuk mengetahui kesehatan darah saya; apakah tensi darah saya normal, apakah Hemoglobin (Hb) darah saya mencukupi kriteria sehat dan layak mendonorkan darah.
Selama masa dewasa, tensi darah saya selalu dalam batas normal, yaitu 120/80. Dalam kondisi sakit sekalipun, seperti saat suatu kali saya menderita paratyphus, tensi saya masih pada batas normal. Begitu juga batas yang ditunjukkan saat pemeriksaan tensi setiap kali sebelum donor darah.
Saat menjalani diet Ketogenic adalah angka kadar Hb darah saya yang cenderung “membaik”. Hal ini cukup menarik karena selama bertahun-tahun mendonorkan darah, kadar Hb darah saya selalu mendekati batas atas yang diperbolehkan yaitu 17 g/dL. Saya sempat beberapa kali ditolak mendonorkan darah karena Hb darah saya melewati batas atas. Untuk menurunkannya, saya disarankan untuk banyak minum air, mengurangi makan sayur berwarna hijau, dan mengurangi asupan protein berlebihan.
Saya menjalani diet Ketogenic sejak awal Januari 2018 dan selama tahun 2018 itu pula saya tetap melakukan donor darah. Sepanjang tahun 2018 angka hasil pemeriksaan Hb darah saya sebelum donor darah menunjukkan kisaran 15 – 16 g/dL. Angka ini berada di bawah 17 g/dL, sehingga saya tidak perlu kuatir tidak lolos pemeriksaan kualifikasi donor darah.
Formulir Peserta Donor Darah |
Level Hb darah saya membaik tapi dengan menu makanan yang “terbalik” dengan yang disarankan. Menu makanan diet Ketogenic jelas high fat, more protein dan mengonsumsi banyak sayuran hijau yang pada kondisi tubuh saya justru mampu menurunkan level Hb darah. Jadi makanan atau asupan apa yang sebenarnya bisa menurunkan kadar Hb darah?
Gluconeogenesis
Pada satu waktu, saat Herbert sedang mampir di Jakarta, kami bersama beberapa teman janjian untuk makan siang bareng. Waktu itu jatuh pada hari Sabtu, kami janjian bertemu di sebuah resto sea food dan saya yang paling pengangguran di antara kawan-kawan lainnya berinisiatif untuk menjemput Herbert di rumah Ibunya di kawasan Tanjung Duren.
Siang hari pada hari Sabtu adalah saatnya lalu lintas di Jakarta Barat berkubang dalam kemacetan. Perjalanan dari rumah yang saya mulai pukul 11 siang adalah perjalanan dalam panas dan macet ditimpali rasa lapar yang sudah mulai muncul, tetapi saya tetap mampu fokus berkendara dalam perjalanan yang memakan waktu lebih dari 20 menit.
Sesampai di Tanjung Duren hampir pukul 13, saya sampaikan ke Herbert bahwa saya sedang merasakan perut lapar tetapi kepala tetap tenang dan tidak pusing sedikit pun. Kami pun lanjut berdiskusi sambil ngopi karena ternyata kawan-kawan yang lain belum bisa berkumpul pada waktu makan siang. Kopinya enak deh.
Salah satu hal yang dipahami dalam mempelajari diet Ketogenic adalah bahwa jumlah ideal glucose dalam darah di seluruh tubuh manusia hanyalah sebanyak 1½ sendok teh setiap harinya. Dan organ tubuh manusia yang membutuhkan bahan bakar glucose hanyalah otak. Lalu bagaimana otak manusia terpenuhi kebutuhan glucose-nya sementara badan yang diet Ketogenic tidak mendapatkan asupan sugar dan carbohydrate? Ternyata liver manusia memiliki kemampuan melakukan konversi Ketones menjadi glucose sebanyak yang dibutuhkan dan mengirimnya ke otak. Kemampuan konversi itu disebut Gluconeogenesis.
Gula Darah Normal |
Hal yang menyebabkan saya mampu tetap fokus berkendara dalam kondisi perut kelaparan tanpa mengalami pusing kepala kemungkinan besar adalah karena saya sudah Fat Adapted dengan liver sehat sehingga mampu melakukan gluconeogenesis untuk memberikan asupan glucose yang dibutuhkan otak. Selama tubuh masih memiliki stored fat yang bisa diubah menjadi Ketones, maka kebutuhan glucose tetap bisa dipenuhi.
Dari situ juga bisa dipahami bahwa tubuh yang dalam kondisi Ketosis saat mengalami kelaparan tidak lalu menjadi pemarah/gelisah/cranky karena kebutuhan glucose untuk otak selalu dapat terpenuhi. Situasi yang sangat berbeda apabila tubuh masih sebagai glucose burner karena glucose dalam darah mudah habis, bahan bakar untuk otak menjadi defisit, dan harus segera dipenuhi lagi melalui asupan makanan atau minuman.
Akhirnya hari itu kami baru berkumpul untuk makan siang kira-kira menjelang pukul 16.30. Memang sudah tidak lagi masuk waktu makan siang tapi belum juga masuk waktu makan malam, tetapi kami sangat menikmati hidangan menu sea food kami dengan nyaman dan seru. Kelaparan kami hanya terjadi di lambung, namun kepala kami tetap fokus dan mental kami tetap tenang.
Ramadan 2018
Puasa Ramadan tahun 2018, yang berlangsung sejak pertengahan bulan Mei hingga pertengahan bulan Juni 2018, menjadi salah satu episode yang menarik di tahun itu. Ibadah tahunan yang di tahun 2018 berlangsung setelah masa 3 bulan pertama diet Ketogenic saya, yang juga sudah melewati tahap Fat Adapted, dapat saya jalani dengan sangat lancar, jauh lebih lancar dibandingkan Puasa Ramadan yang saya jalani di tahun-tahun sebelumnya.
Puasa Ramadan kali ini, saya melakukan One Meal A Day (OMAD) selama 15 hari, meski tidak dalam waktu yang berturut-turut dari total 29-30 hari jalannya ibadah Puasa, saya hanya makan pada saat berbuka puasa, dan pada saat sahur hanya minum kopi straight black, yang mungkin bagi pemahaman banyak orang adalah sebuah kebiasaan yang “berbahaya”. Sebagaimana kebiasaan umum, dalam rangka menyambut seharian yang panjang tanpa makan dan minum, tentunya sebaiknya kita mengonsumsi makanan yang cukup pada saat sahur supaya minimal tidak ada gangguan lambung. Tetapi yang saya alami adalah sebaliknya, lambung saya tetap tenang sepanjang hari.
Meski saya hanya minum kopi saat sahur, lambung saya pun cukup tenang. Sangat berbeda dibandingkan dengan saat Puasa Ramadan tahun-tahun sebelumnya, meski saya selalu makan pada saat sahur, lambung saya mulai terasa perih begitu mendekati pukul 10 pagi. Saat melakukan OMAD, saya mulai merasakan lapar ketika waktu sudah menjelang sore setelah hampir 24 jam dari waktu berbuka puasa sehari sebelumnya.
Ibadah Puasa Ramadan yang dari sahur hingga waktu berbuka tanpa makan dan minum (dry fasting) dan selama 15 hari melakukan OMAD, ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan berat badan saya. Tercatat penurunan berat badan saya pada akhir masa Puasa Ramadan 2018 sebanyak 2,5 kg.
Beribadah Puasa dengan tetap menjalankan diet Ketogenic dan beberapa kali melakukan OMAD membuat Puasa Ramadan tahun 2018 sebagai Puasa Ramadan saya yang cukup hemat untuk pertama kalinya. Menu makanan yang zero sugar + low carbohydrate, menu berbuka yang dicukupkan dengan hanya air + ACV, menu sahur yang lebih sering berupa kelebihan dari menu makan Istri, cukup kopi straight black, lambung yang mudah dikenyangkan dan tetap terasa kenyang sepanjang hari, sangat-sangat menjauhkan dari segala macam camilan, gorengan, kolak, sirup, dan sebagainya, yang biasanya menjadi menu khas selama Puasa Ramadan.
Puasa Ramadan juga waktunya banyak obral/sale pakaian menjelang Lebaran. Di musim sale menjelang Lebaran tahun 2018, saya memberanikan diri untuk berburu pakaian baru. Kalau di tahun-tahun sebelumnya saya tidak pernah tertarik untuk ikutan musim sale karena saya meyakini sebagian besar pakaian sale, terutama yang berdiskon besar, tidak mengakomodir ukuran tubuh saya. Terkait dengan ukuran pakaian juga, untuk musim sale tahun 2018 adalah waktunya saya mengetahui ukuran pakaian saya yang paling aktual, terutama ukuran celana panjang, setelah lebih dari 10 tahun selalu mengenakan celana panjang yang dijahit khusus.
Dari musim sale tahun 2018 itulah saya mengetahui bahwa ukuran kemeja saya di nomor 15½ , kaus dalam ukuran M, celana pantalon/jeans ukuran 34, yang belakangan ternyata ukuran celana saya semakin menyusut lagi. Kalau sebelumnya saya selalu lebih dulu menanyakan ukuran sebelum membeli produk pakaian, kali ini saya bisa memilih produk yang saya sukai dengan diskon paling banyak karena ukuran untuk tubuh saya pasti ada. Musim sale yang paling menggembirakan buat saya!
No comments:
Post a Comment