18 December 2009
AT THE VERY BOTTOM OF EVERYTHING: Penyelaman Visual Sebuah Penderitaan
Judul:
At The Very Bottom of Everything
(Di Dasar Segalanya)
Sutradara:
Paul Agusta
Penulis Skenario:
Paul Agusta, Kartika Jahja, Leon Agusta
Para Pemeran:
Kartika Jahja, T. Rifnu Wikana, Bianca Timmerman, Nadia Rachel, Primawan Luqman Hakim, Tejo Aribowo, Azalea Vinny R., Rainer Oktovianus, Keke Tumbuan, Devianto Oey, Adityo
Plot:
Seorang wanita duduk di sebuah kamar yang cerah. Dengan tenang ia menyalakan sebatang rokok dan berbicara pada kamera. Dia mulai bercerita mengenai pengalaman terakhirnya saat penyakitnya, Bipolar Disorder, meradang dan perjuangan hidupnya menghadapi penyakit yang telah menghantuinya itu sepanjang hidupnya. Ketika ia berbicara, kita bisa melihat ke dalam benaknya. Penderitaannya tercermin saat segala luapan emosinya diinterpretasi secara visual—sebuah perjalanan surealis yang membawa penonton masuk ke alam pikiran seseorang yang terganggu dan menderita trauma.
Catatan:
Dapat kesempatan untuk ikutan screening film ini sebenernya cukup mendadak sih. Secara kan gue aktivis sebuah komunitas, bukannya wartawan film/hiburan, jadinya sempet terkaget-kaget disodorin undangan screening via e-mail (forwarded e-mail tepatnya). Yang bikin penasaran adalah screeningnya diadain di Kineforum TIM. Biasanya kalo film screening di Kineforum ada ‘sesuatu’ dalam filmnya, selain memang tempat untuk menayangkan film-film non mainstream pasar Indonesia dan produk-produk mahasiswa IKJ.
Karena rada mendadak, gue cuma sempat baca judulnya aja. Tapi sempet sih sekilas baca bahwa ini film kedua dari sutradara yang pernah membesut film thriller indie ‘Kado Hari Jadi’. Yah gue cuma pernah denger judulnya tapi belom pernah nonton filmnya.
Jadwal screening-nya memang rada aneh, jam dua siang. Setau gue biasanya di Kineforum jadwal screening itu jam tujuh sore. Ngga ngerti juga sih, mungkin lebih enak ngumpulin orang-orang pas jam dua siang (setelah lunch) dan juga ngga ‘tabrakan’ schedule dengan dua film calon box office yang sedang tayang luas di Indonesia.
Kalo sepintas liat dari sedikit gambar yang gue dapet via e-mail, terbayang bahwa film ini tergolong eksperimental dan juga dikategorikan ke dalam art-house movie. Tapi ternyata bayangan gue ngga sepenuhnya benar.
Mungkin dari sisi visualisasi, boleh aja film ini dikategorikan eksperimental. Temanya pun tidak umum, bahkan setau gue belom pernah disentuh oleh sineas film Indonesia lainnya. Tapi menurut gue yang paling ngga suka mengotak-kotakan genre/kategori sebuah film ato karya seni lainnya, film ini ya sebuah film yang merupakan media yang digunakan sang sutradara untuk berekspresi dan menyampaikan sesuatu. Jadinya ngga ribet kan, nonton aja sampai selesai.
Film ini ingin bercerita tentang penyakit Bipolar Disorder. Tetapi tidak seperti film lain yang juga pernah mengangkat tema tentang penyakit tertentu (penderitaan si pasien dan bagaimana menanganinya), film yang dalam bahasa Indonesia berjudul ‘Di Dasar Segalanya’ ini berusaha menyampaikan bagaimana rasanya mengidap penyakit yang dulunya disebut Manic Depressive secara visual. Film ini berusaha memvisualisasikan bagaimana rasanya menderita penyakit Bipolar Disorder (yang ternyata dapat dibawa secara genetik), bukan dari fisik penderitanya, tapi dari sisi pikiran dan perasaan penderitanya saat penyakit itu sedang akut parah!
Mungkin cara memvisualisasikannya bisa dikategorikan sebagai film eksperimental, dengan animasi stop motion (menggunakan patchwork dan silicon), aktor minim dialog dalam visual hitam putih, bahkan dengan menampilkan nudity dan gore di beberapa segmen. Tapi mungkin cara seperti itulah yang paling cocok dan paling mendekati untuk menggambarkan seperti apa yang dirasakan penderita Bipolar Disorder.
Film ini mengingatkan gue dengan visualisasi film The Cell. Mungkin letak persamaannya adalah kedua film ini sama-sama menyelami dan memvisualisasikan pikiran dan perasaan seseorang (The Cell menyelami pikiran dan mimpi seseorang). Tapi tentunya visualisasi dalam The Cell tidak sekelam dan sedepresif At The Very Bottom of Everything ini. Sekalipun visualisasinya ngga secanggih The Cell, gue melihat ‘perjuangan’ (secara fisik dan ide) dalam kerja visual film kedua besutan Paul Agusta ini.
Buat gue film ini cukup berhasil membuat gue depresif sepanjang menontonnya. Jujur aja, gue ‘enjoy’ ngikutin film ini sampai selesai. Sekalipun dengan ending yang cukup ‘terang’ tapi gue jadi ngga berani ngebayangin seperti apa sebener-benernya menderita penyakit Bipolar Disorder itu.
No comments:
Post a Comment