ditulis pada tanggal 9 Maret 2008
Judul:
Love (2008)
Love (2008)
Kabir Bhatia
Skenario dan Co-Director:
Titien Wattimena
Titien Wattimena
Konsep:
Ara & Mira Mustaffa
Ara & Mira Mustaffa
Pemeran:
Widyawati, Sophan Sophiaan, Wulan Guritno, Sophan Sophiaan, Luna Maya, Darius Sinathrya, Acha Septriasa, Fauzi Baadillah, Laudya Chintya Bella, Irwansyah.
Widyawati, Sophan Sophiaan, Wulan Guritno, Sophan Sophiaan, Luna Maya, Darius Sinathrya, Acha Septriasa, Fauzi Baadillah, Laudya Chintya Bella, Irwansyah.
Cerita:
Adalah 5 pasang manusia dari berbagai usia, latar belakang dan latar sosial yang bergulat dengan hidup mereka masing-masing. Tentu kisahnya berbeda-beda dengan akhir yang berbeda pula. Namun hanya ada satu yang ‘menyatukan’ kisah mereka, yaitu cinta.
Catatan:
Ngga salah film ini dirilis pas hari valentine tanggal 14 Pebruari 2008 kemaren. It’s all about love. Tapi bukan berarti berkisah menye-menye dan berlarat-larat, justru gue dapet nuansa cinta yang lebih tulus dan lebih luas meski tetep digambarkan tentang cinta antar pasangan manusia.
Sekalipun ngga akan pernah lepas ada kemiripan tema dengan Love Actually, film Love juga memiliki keunggulan dengan ensemble cast-nya dan ‘rasa’ Asia-nya yang kuat. Seperti inilah kalo Love Actually diadaptasi ulang di Asia , khususnya di Jakarta seperti setting cerita film ini.
Gue ngeliat film ini adalah kerja keras yang keras sekali untuk menggabungkan beberapa kisah menjadi satu film dengan jajaran pemeran yang sudah terkenal di perfilman Indonesia, baik yang senior maupun yang belum lama mondar mandir ‘belajar’ main film. Akting sang senior sudah tidak diragukan lagi. Tapi di film ini juga mengangkat kualitas akting para pendatang baru. Bisa jadi juga terbantu oleh angle kamera, property dan tone warna adegannya. Tapi akting para pendatang baru ini terasa enak dan pas dengan situasinya. Sebagai contoh, gue suka banget cara karakter Iin ngamuk-ngamuk di restoran soto waktu ketemu karakter Herry yang datang dengan pacarnya. Sekalipun emosional, tapi terlihat juga karakter Iin jadi kacau sampai mukul karakter Rama yang sempat menahan dan memeluknya. Karakter Iin juga serba salah waktu marah-marah dan mau ngacak-ngacak meja. Shot-nya tidak berpanjang-panjang tapi cukup untuk membuat gue ikut merasakan emosi Iin yang marah tertahan karena canggung.
Ceritanya ngga jauh dari kenyataan sehari-hari. Ceritanya utuh. Dari adegan awal mengalir terus sampai adegan akhir. Setiap adegan ‘mendorong’ untuk ke adegan berikutnya. Sekalipun bukan film thriller, tapi gue selalu bertanya-tanya untuk kelanjutan ceritanya dari setiap adegan. Padahal beberapa ceritanya gue udah pernah dapet spoiler-nya. Setiap adegan ada tujuannya yang akan dijelaskan dengan adegan lainnya yang kadang tanpa perlu dialog sebagai penjelasannya.
Ceritanya pun ngga berpanjang-panjang. Tidak ada adegan salah satu pasangan yang pada akhirnya digambarkan menikah. Dan jangan mencari adegan pernikahan dalam film ini.
Selain 5 pasang karakter utama, di antaranya ada 1-2 karakter pendamping yang tidak kalah penting. Ada supir taksi yang ternyata cucu dari Pak Guru penderita Alzheimer. Ada pemilik toko buku yang rada wise tapi seringnya malah jadi konyol. Ada anak autis dari si Ayah ideal. Ada mantan pacar yang dikawin oleh sang kakak. Karakter-karakter pendamping ini menjadi penguat cerita juga penguat karakterisasi dari para karakter utama film ini.
Selain cerita dan karakter-karakter yang bagus, film ini juga diramu dengan visual yang indah. Bukan hanya dari gambar dengan tone warna yang pas, tapi dengan bahasa visual yang bagus. Gambar yang tampil di layar ngga cuma enak dilihat, ngga cuma menghantarkan adegan dialog dan interaksi antar karakter, tapi juga ‘berbicara’ dan ‘bercerita’. Setiap gambar menguatkan adegan. Setiap ‘komponen’ yang ada dalam set bisa menjadi penguat adegan. Visualisasi adegan terasa efektif sekaligus indah. Visual dan cerita jadi kesatuan yang utuh, ngga sekedar mengandalkan kecantikan visual. Angle kameranya juga asyik. Misalnya dalam adegan keluar-masuk halte busway dengan shot dari sisi luar bis yang persis menghadap pintu halte. Atau adegan pelukan karakter Rama dan Iin di antara 2 rel yang mana kereta api melaju berlawanan arah. Kalo begini kayaknya Nayato Fio Nuala musti belajar lagi bikin film.
Ngga kurang juga soundtrack dan music score yang asyik mendukung adegan. Ngga salah kalo lagu Sempurna-nya Andra and The Backbone, yang sempet gue nistakan karena ngga pantes banget dengan penampilan band itu, diadaptasi ulang dan dinyanyikan ulang oleh Gita Gutawa. Music score digarap oleh Erwin Gutawa yang didukung Bulgarian Philharmonic Orchestra (jauh amat yak?!). Manis banget dan masuk banget dalam film full cinta ini. Belum lagi ada beberapa lagu ‘lama’ dari Sheila on 7, Padi dan Gigi yang juga mewarnai nuansa cinta di film ini. Lagu yang bener baru cuma ada satu dari band Vagetoz yang juga baru.
Fakta yang menarik adalah film ini ternyata hasil adaptasi atau remake dari film Negeri Jiran yang berjudul Cinta (http://www.imdb.com/title/tt0945328/). Fakta ini gue temukan ngga sengaja karena kebiasaan gue kalo mo nulis review suka nyantumin link-nya dari imdb.com; search title ‘love’ ngga ketemu yang cocok, tapi begitu search title ‘cinta’ eh ketemu film berjudul ‘Cinta’ yang rilis tahun 2006. Begitu link-nya gue klik, ternyata film itu besutan sutradara yang sama dan dirilis di Malaysia tanggal 30 Nopember 2006. Bisa aja sih judul cuma mirip-mirip dan dibolak-baik terjemahannya sekalipun sutradaranya sama. Tapi gue yakin Love adalah remake dari Cinta karena selain plotnya sama, seperti ditulis di imdb.com, cerita film Cinta ditulis oleh Mira Mustaffa dan screenplay-nya oleh Ara. Dua nama terakhir ini adalah nama yang dicantumkan dalam opening title film Love sebagai konseptornya.
Jadi penasaran juga dengan film Cinta, karena dipuji seorang penonton dalam review di imdb.com. Singkatnya, film Cinta mengubah pandangan si penonton itu tentang industri film Malaysia . Mungkin banyak dari kita tahu kalo film-film produksi Malaysia lebih banyak yang katro kalo dibanding film-film produksi Indonesia .
Selain penasaran seberapa bagus film Cinta sebagai film orisinilnya, gue juga penasaran seberapa jauh perbedaan kualitas dengan film remake-nya. Gue masih ngeliat kualitas skenario yang ditulis Titien Wattimena masih cukup ketat, asyik dan indah. Ngga percuma juga Titien ‘mengawal’ film Love sebagai co-director. Visualisasinya juga bagus yang nota bene Director of Photography-nya adalah orang Indonesia . Editing dipegang oleh Kabir Bhatia sendiri. Deretan pemeran di film Love kurang apa lagi kualitas aktingnya. Siapa tau saat sang sutradara dalam mengadaptasi ulang filmnya sendiri malah banyak memperbaiki dari film orisinilnya.
Tapi di luar masalah remake atau bukan, film adaptasi Love Actually atau bukan, sebagai sebuah film yang utuh kualitas Love di atas rata-rata film Indonesia yang beredar di awal 2008 ini. Dan serunya lagi, film ini bikin gue ngga terlalu penasaran lagi dengan keindahan film Ayat Ayat Cinta. That Hanung’s movie can wait long enough for me to see.
Gue ngga gampang menikmati film drama. Tapi gue juga bisa terhanyut waktu nonton ‘To Sir, With Love’, ‘Sound of Music’, ‘Moulin Rouge’ dan ‘Love Actually’. Dan ternyata film ‘Love’ juga bisa menghanyutkan gue.
No comments:
Post a Comment