26 February 2010
UP IN THE AIR: Sadar Berkehendak Bebas
Title:
Up in the Air
Director:
Jason Reitman
Screenplay:
Jason Reitman, Sheldon Turner
Casts:
George Clooney, Vera Farmiga, Anna Kendrick, Jason Bateman, Amy Morton, Melanie Lynskey, J.K. Simmons, Sam Elliott, Danny McBride
Plot:
Ryan Bingham's job is to fire people from theirs. The anguish, hostility, and despair of his "clients" has left him falsely compassionate, living out of a suitcase, and loving every second of it. When his boss hires arrogant young Natalie, she develops a method of video conferencing that will allow termination without ever leaving the office - essentially threatening the existence Ryan so cherishes. Determined to show the naive girl the error of her logic, Ryan takes her on one of his cross country firing expeditions, but as she starts to realize the disheartening realities of her profession, he begins to see the downfalls to his way of life.
Note:
Beberapa hal lazim sebagai manusia yang hidup dalam lingkungan sosial bermasyarakat, semuanya tidak diinginkan oleh Ryan Bingham. Dia tidak pernah mau menetap dan berkeluarga, apalagi memiliki anak. Hal seperti itu membuat Ryan Bingham dipandang aneh oleh masyarakat. Tapi buat gue, hal-hal itu hanyalah pilihan hidup.
Gue selalu percaya bahwa manusia hidup di dunia diberikan kelebihan oleh Tuhan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya, termasuk malaikat, yaitu kehendak bebas (freewill). Sekalipun Tuhan telah memberikan aturan dan hukum-hukumNya atas alam semesta ini, Dia tetap membiarkan manusia memilih jalan kehidupannya sendiri dengtan segala konsekuensinya.
Atas dasar kehendak bebas itulah sudah sejak lama gue mempertanyakan dan mendebatkan seberapa penting seorang manusia hidup untuk selalu mengikuti ‘tahapan’ kehidupan yang lazim: lahir -> sekolah setinggi-tingginya -> bekerja -> menikah -> punya keturunan -> pensiun -> meninggal dunia. Hanya sebatas itukah kehidupan manusia?
Ryan Bingham memilih untuk berkutat dengan pekerjaannya yang ruthless dan menghabiskan seluruh waktu dalam hidupnya untuk melakukan perjalanan dan penerbangan sehubungan dengan pekerjaannya itu. Dan selama ini dia amat sangat menikmati kehidupannya. Namun begitu dia mulai merasakan kehampaan dalam hidupnya, nah di situlah mulai masalahnya!
Memilih hidup mengikuti kelaziman dalam masyarakat atau hidup mengikuti pilihan sendiri tentunya semuanya tidak terlepas dari konsekuensi-konsekuensi masing-masing dan masalah-masalahnya. Namun apabila manusia yang menjalankannya tidak mengeluhkan konsekuensi dan masalah dari pilihan hidupnya, manusia itulah yang benar-benar hidup dan melaksanakan kodratnya dengan kehendak bebasnya.
Memanglah berkeluh kesah adalah hal yang manusiawi. Tetapi apabila hanya berkeluh kesah tanpa mencari solusi dengan menyadari lagi semua konsekuensi dari pilihan hidupnya, tentunya menjadikan kehidupan ini sebagai neraka yang nyata!
Kita melakukan ‘perjalanan’ bersama Ryan Bingham untuk selalu menyadari bahwa manusia selalu dibebaskan untuk memilih kehidupannya dengan bersiap menghadapi segala konsekuensinya.
22 February 2010
DEAR JOHN, Dearest U.S. Soldier
Title:
Dear John
Director:
Lasse Hallström
Screenplay:
Jamie Linden
Casts:
Channing Tatum, Amanda Seyfried, Richard Jenkins, Henry Thomas, D.J. Cotrona, Cullen Moss, Gavin McCulley, Jose Lucena Jr., Keith Robinson, Scott Porter, Leslea Fisher, William Howard Bowman, David Andrews, Mary Rachel Dudley
Plot:
While John is on leave in his hometown, he finds Savannah, a college student visiting the town. Although love was unexpected, it doesn't mean they didn't find it. With the knowledge of John having to leave for the army, their love still lives, until his re-signs on due to the 9/11 attack. Troubles invade and their love put on hold. One cannot bear it anymore; can the other?
Note:
Karena ngga banyak nonton film-film based on novelnya Nicholas Sparks (apalagi baca novelnya :P ) gue sempet salah duga dengan film ini. Awalnya gue kira film ini bakalan bercerita mengenai kisah roman sepasang kekasih dengan latar belakang yang berbeda, sesederhana itu aja. Dan sekali lagi gue akui kalo gue salah!
Ceritanya malah tentang cowok! Iya, ceritanya tentang cowok yang mengalami cinta. Dan cinta di sini adalah cinta yang ngga terbatas hanya hubungan dengan kekasihnya. Cinta di sini adalah cinta yang di antara sesama manusia; dengan lawan jenis, dengan orang tua, dengan tetangga di sekitar.
Semua rasa yang mungkin terjadi dalam mengalami cinta, digambarkan melalui si John yang frustrasi selama ini tinggal dengan ayahnya yang lebih sayang dengan koleksi koinnya. Menjadi prajurit tentara Amerika adalah pilihan John untuk ‘melupakan’ rasa frustrasinya. Tapi cinta yang ditemukannya bersama Savannah mampu membuat John menemukan dirinya sendiri dan menemukan arti keberadaannya bagi orang-orang terdekatnya.
Sebagai laki-laki dan prajurit yang melalui kurun waktu tragedi 9/11, yang mengharuskan John ditugaskan di daerah berbahaya dan jatuh bangun mengalami cinta, membuat publik Amerika Serikat jatuh hati (mungkin sekaligus iba) yang selanjutnya secara dramatik (namun tidak mengherankan) membuat film Dear John menggeser Avatar dari tampuk pimpinan Box Office domestik di Negeri Paman Sam itu.
Gue yang jarang-jarang nonton romantic movie bisa tersentuh sekaligus ‘terwakili’ oleh John, yang terlihat kokoh secara fisik namun rapuh secara psikis. Banyak laki-laki yang tidak mau mengakui kerapuhannya seperti yang divisualkan oleh karakter John, namun nun jauh di lubuk hatinya kepingin menjerit dan menangis bersedu sedan.
Sekalipun katanya banyak ditonton oleh cewek-cewek, tapi gue yakin kalo penonton cowok juga bakal ikut ‘terjebak’ secara emosional dengan film ini.
11 February 2010
Menelepon sambil Berkendara, Berbahaya?
Judul itu bukan untuk mempertanyakan, tapi saya pilih untuk memancing keterbukaan pemikiran saja. Tulisan ini mungkin lebih tepat saya kategorikan sebagai curhat pribadi saya mengenai menelepon sambil berkendara, khususnya menelepon sambil mengendarai mobil.
Urusan mengendarai mobil, saya termasuk terlambat. Kalo ngga salah hitung baru 2 kali lebaran ini saya aktif mengendarai mobil, sekalipun sudah sejak kelas 2 esema (1992) saya sudah memiliki SIM. Dan dalam kurun waktu nyaris 15 tahun itu saya banyak memperhatikan gaya berkendara dari beberapa orang yang secara rutin saya ikuti (baca: tebengin) di antara kurun waktu itu. Dan yang paling nyaman adalah masa di mana ponsel masih belum memasyarakat, tidak seperti dalam 5 tahun belakangan ini.
Iya tuh, sejak ponsel memasyarakat, kebiasaan berkendara di jalan raya menjadi semakin kacau. Tapi sebenernya kalo melihat pengalaman saya sendiri, ngga perlu kita melihat kekacauan itu di jalanan. Itu terlalu ‘jauh’. Saya mengalami kekacauan itu dari dalam mobil yang saya tumpangi.
Selama saya belum mahir dan aktif berkendara mobil, rekan saya, si pemilik mobil, sejak awal adalah orang yang paling aktif menggunakan ponselnya di manapun dan kapanpun, termasuk pada saat berkendara. Dalam 5 tahun terakhir saja ponselnya menjadi 3 unit yang aktif semua! Dan sayangnya beliau tidak terlalu aware dengan kemajuan teknologi pendukung bertelepon yang namanya handsfree. Dan satu lagi, beliau juga gaptek dengan inovasi jaringan ponsel yang disebut divert call. Bisa anda bayangkan ketiga unit ponsel milik beliau aktif dalam waktu yang bersamaan dan ketiganya memanggil (calling)! Memang tidak semua panggilan itu beliau terima, jelas tidak mungkin. Tapi coba anda bayangkan lagi gimana beliau dengan aktifnya menjawab panggilan dari ponsel yang satu dan membalas pesan singkat (sms) di ponsel lainnya, sementara ponsel satunya lagi berdering-dering minta dijawab juga!
Mungkin di Jakarta pada rush hour (pagi dan sore) lalu lintasnya padat dan memungkinkan sekali untuk menjawab panggilan telepon di antaranya. Tapi kemacetan di jalan raya kan tidak selamanya berhenti total yang memungkinkan kita fokus untuk menjawab panggilan telepon. Pastinya di antara kemacetan itu ada kemungkinan kendaraan bergerak sedikit demi sedikit. Tentunya fokus berkendara menjadi terpecah saat menerima telepon.
Dan ternyata aktivitas tinggi beliau dalam bertelepon tidak melihat kondisi lalu lintas padat saja. Dalam berkendara di jalanan yang lancar pun beliau memaksa diri untuk tetap bisa bertelepon, bahkan tidak jarang juga membalas sms.
Tidak perlu dilihat dari luar untuk menilai ‘kekacauan’ yang dilakukan beliau dalam berkendara (sekalipun saya akui beliau amat sangat mahir dalam mengendarai mobil), saya yang hampir setiap hari, pagi dan sore bersama beliau merasakan ketidaknyamanan yang sangat. Tidak perlu sampai kondisi beliau mulai kehilangan fokusnya dalam berkendara, cukup dengan melihat beliau aktif menjawab semua panggilan ponsel dan membalas sms saja sudah bikin saya nyaris mual dan mulai muak.
Kalo dibilang bertelepon sambil berkendara bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain, menurut pengalaman saya hal itu tidak semata-mata membahayakan secara fisik saja tapi juga mengganggu kondisi psikologis, khususnya mengganggu kondisi psikologis saya.
Selain aktivitas bertelepon yang mengganggu, saya juga merasa bahwa penelepon yang berlama-lama menelepon beliau di sepanjang perjalanan berkendara adalah manusia hidup yang tidak beretika! Mohon maaf, sekalipun saya juga kenal dengan orang yang menelepon itu adalah orang yang sehari-harinya saleh, ternyata dia itu tidak cukup mengerti etika dalam berkomunikasi, khususnya dalam komunikasi bertelepon.
Sekalipun mungkin sekali dia berlogika bahwa yang ditelepon itu harusnya memanfaatkan teknologi handsfree, tapi menurut logika dan pengalaman saya penggunaan handsfree hanya sedikit mengurangi pecahnya fokus dalam berkendara. Dan parahnya, dia itu malah membahas sesuatu atau bahkan curhat via telepon di sepanjang perjalanan dalam kemacetan itu (kali ini saya yang tidak beretika karena mencuri dengar percakapan orang lain). Saya juga terganggu dengan hal ini. Apakah tidak bisa menunggu waktu yang lebih pas setelah orang yang dituju sudah tiba di tempat supaya bisa leluasa melakukan pembahasan? Bisa kan untuk lebih punya etika dengan segera memutus percakapan begitu tahu orang yang dituju sedang berkendara?! Kalo di tempat tujuan kuatir malah jadi tidak leluasa membahas, itu lain lagi persoalannya.
Di negara-negara lain sudah banyak dibuatkan dan diterapkan aturan dengan sanksi keras untuk yang bertelepon sambil berkendara, bahkan di beberapa negara ada yang menerapkan larangan bertelepon sambil berkendara sekalipun sudah menggunakan handsfree! Di Indonesia, aturan bertelepon sambil berkendara baru saja mulai disosialisasikan. Tapi sebagaimana sudah menjadi ‘budaya’ dan ‘ciri khas’ masyarakat Indonesia (termasuk golongan elit dan pejabatnya) aturan yang berlaku hanya sebagai aturan saja selama kebiasaan, kelakuan bodoh dan merusaknya tidak diubah mulai dengan kesadaran masing-masing individunya.
Urusan mengendarai mobil, saya termasuk terlambat. Kalo ngga salah hitung baru 2 kali lebaran ini saya aktif mengendarai mobil, sekalipun sudah sejak kelas 2 esema (1992) saya sudah memiliki SIM. Dan dalam kurun waktu nyaris 15 tahun itu saya banyak memperhatikan gaya berkendara dari beberapa orang yang secara rutin saya ikuti (baca: tebengin) di antara kurun waktu itu. Dan yang paling nyaman adalah masa di mana ponsel masih belum memasyarakat, tidak seperti dalam 5 tahun belakangan ini.
Iya tuh, sejak ponsel memasyarakat, kebiasaan berkendara di jalan raya menjadi semakin kacau. Tapi sebenernya kalo melihat pengalaman saya sendiri, ngga perlu kita melihat kekacauan itu di jalanan. Itu terlalu ‘jauh’. Saya mengalami kekacauan itu dari dalam mobil yang saya tumpangi.
Selama saya belum mahir dan aktif berkendara mobil, rekan saya, si pemilik mobil, sejak awal adalah orang yang paling aktif menggunakan ponselnya di manapun dan kapanpun, termasuk pada saat berkendara. Dalam 5 tahun terakhir saja ponselnya menjadi 3 unit yang aktif semua! Dan sayangnya beliau tidak terlalu aware dengan kemajuan teknologi pendukung bertelepon yang namanya handsfree. Dan satu lagi, beliau juga gaptek dengan inovasi jaringan ponsel yang disebut divert call. Bisa anda bayangkan ketiga unit ponsel milik beliau aktif dalam waktu yang bersamaan dan ketiganya memanggil (calling)! Memang tidak semua panggilan itu beliau terima, jelas tidak mungkin. Tapi coba anda bayangkan lagi gimana beliau dengan aktifnya menjawab panggilan dari ponsel yang satu dan membalas pesan singkat (sms) di ponsel lainnya, sementara ponsel satunya lagi berdering-dering minta dijawab juga!
Mungkin di Jakarta pada rush hour (pagi dan sore) lalu lintasnya padat dan memungkinkan sekali untuk menjawab panggilan telepon di antaranya. Tapi kemacetan di jalan raya kan tidak selamanya berhenti total yang memungkinkan kita fokus untuk menjawab panggilan telepon. Pastinya di antara kemacetan itu ada kemungkinan kendaraan bergerak sedikit demi sedikit. Tentunya fokus berkendara menjadi terpecah saat menerima telepon.
Dan ternyata aktivitas tinggi beliau dalam bertelepon tidak melihat kondisi lalu lintas padat saja. Dalam berkendara di jalanan yang lancar pun beliau memaksa diri untuk tetap bisa bertelepon, bahkan tidak jarang juga membalas sms.
Tidak perlu dilihat dari luar untuk menilai ‘kekacauan’ yang dilakukan beliau dalam berkendara (sekalipun saya akui beliau amat sangat mahir dalam mengendarai mobil), saya yang hampir setiap hari, pagi dan sore bersama beliau merasakan ketidaknyamanan yang sangat. Tidak perlu sampai kondisi beliau mulai kehilangan fokusnya dalam berkendara, cukup dengan melihat beliau aktif menjawab semua panggilan ponsel dan membalas sms saja sudah bikin saya nyaris mual dan mulai muak.
Kalo dibilang bertelepon sambil berkendara bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain, menurut pengalaman saya hal itu tidak semata-mata membahayakan secara fisik saja tapi juga mengganggu kondisi psikologis, khususnya mengganggu kondisi psikologis saya.
Selain aktivitas bertelepon yang mengganggu, saya juga merasa bahwa penelepon yang berlama-lama menelepon beliau di sepanjang perjalanan berkendara adalah manusia hidup yang tidak beretika! Mohon maaf, sekalipun saya juga kenal dengan orang yang menelepon itu adalah orang yang sehari-harinya saleh, ternyata dia itu tidak cukup mengerti etika dalam berkomunikasi, khususnya dalam komunikasi bertelepon.
Sekalipun mungkin sekali dia berlogika bahwa yang ditelepon itu harusnya memanfaatkan teknologi handsfree, tapi menurut logika dan pengalaman saya penggunaan handsfree hanya sedikit mengurangi pecahnya fokus dalam berkendara. Dan parahnya, dia itu malah membahas sesuatu atau bahkan curhat via telepon di sepanjang perjalanan dalam kemacetan itu (kali ini saya yang tidak beretika karena mencuri dengar percakapan orang lain). Saya juga terganggu dengan hal ini. Apakah tidak bisa menunggu waktu yang lebih pas setelah orang yang dituju sudah tiba di tempat supaya bisa leluasa melakukan pembahasan? Bisa kan untuk lebih punya etika dengan segera memutus percakapan begitu tahu orang yang dituju sedang berkendara?! Kalo di tempat tujuan kuatir malah jadi tidak leluasa membahas, itu lain lagi persoalannya.
Di negara-negara lain sudah banyak dibuatkan dan diterapkan aturan dengan sanksi keras untuk yang bertelepon sambil berkendara, bahkan di beberapa negara ada yang menerapkan larangan bertelepon sambil berkendara sekalipun sudah menggunakan handsfree! Di Indonesia, aturan bertelepon sambil berkendara baru saja mulai disosialisasikan. Tapi sebagaimana sudah menjadi ‘budaya’ dan ‘ciri khas’ masyarakat Indonesia (termasuk golongan elit dan pejabatnya) aturan yang berlaku hanya sebagai aturan saja selama kebiasaan, kelakuan bodoh dan merusaknya tidak diubah mulai dengan kesadaran masing-masing individunya.
Subscribe to:
Posts (Atom)