tag:

31 July 2009

ANGELS AND DEMONS: Penyederhanaan Sebuah Novel



Title:
Angels and Demons

Director:
Ron Howard

Writers:
David Koepp, Akiva Goldsman

Cast:
Tom Hanks, Ewan McGregor, Ayelet Zurer, Stellan Skarsgård, Pierfrancesco Favino

Plot:
The Pope died and the conclave has been called for. Four candidates were chosen. However, before the voting, the 4 candidates are killed one by one. The killer leaves clues that seem to say that he/she is from the Illuminati. Strangely though, the Illuminati was long thought to be extinct. Who is the mastermind? Who revived the Illuminati? What do they want?

Note:
Sengaja juga gue ngga baca ulang novelnya sebelum nonton filmnya. Itu juga karena males sih. Tapi di sisi lain, pada awalnya gue cukup percaya dengan Ron Howard dalam membesut film yang didasari dari novel karya Dan Brown. Dalam film Da Vinci Code, Ron Howard cukup berhasil mengadaptasi novel sekuel petualangan Robert Langdon itu.

Gue tenang-tenang aja dalam menyambut Angels and Demons ini. Tapi tetep sih nyari-nyari tahu sana-sini tentang film ini. Dan gue juga tahu ada beberapa penyesuaian karakter dan cerita. Menurut gue sih masih dalam taraf wajar proses adaptasi sebuah novel, sekalipun salah satu penyesuaiannya adalah perubahan karakter yang cukup penting seperti Sang Camerlengo.

Filmnya sendiri menyuguhkan alur yang cepat dan rapat. Thriller-nya cukup terasa. Mata ngga kepingin lepas dari layar. Belum lagi mata penonton disuguhkan pemandangan dari balik tembok Kota Vatikan yang belum banyak dipublikasikan sebelumnya. Sekalipun mudah untuk dibuat replikanya di dalam studio, tapi penonton film ini diajak menyaksikan situasi di dalam ‘istana’ suci, gereja-gereja di pelosok kota Roma dan juga ruang arsip Vatikan yang tingkat moderen dan kecanggihannya cukup mengejutkan.

Namun semua itu ternyata tidak cukup bagi para penyuka novelnya. Sekalipun banyak pembaca novel yang memaklumi ‘penyimpangan’ yang terjadi dalam proses adaptasi menjadi sebuah film, tapi kali ini penyimpangan yang terjadi nyaris tidak bisa dimaafkan!

Sayang juga seorang Ron Howard melakukan penyimpangan yang fatal untuk film ini. Tapi secara keseluruhan bagi yang bukan pembaca dan penyuka novelnya, film ini cukup bisa dinikmati sekalipun tidak memberikan banyak penjelasan tentang semua detil kejadian dan ketegangan yang disampaikan. Dan ternyata Dan Brown sang novelis tercatat sebagai salah satu executive producer film ini.

30 July 2009

JERMAL: Pilihan untuk Berproses dan Berproses untuk Memilih di dalam Kehidupan



Judul:
Jermal

Sutradara:
Ravi Bharwani, Rayya Makarim

Skenario:
Rayya Makarim, Ravi Bharwani, Orlow Seunke

Para Pemeran:
Iqbal S. Manurung, Didi Petet, Yayu A.W. Unru, Chairil A. Dalimunthe, M. Rifai Andhika Piliang, Febri Hansah Pulungan, Ribut Waluyo Ritonga, Rudi Hartono

Plot:
Setelah kematian ibunya, Jaya (12) dikirim ke ayahnya, Johar, yang bekerja sebagai pengawas di sebuah jermal (tempat penjaringan ikan yang dibangun di atas tonggak-tonggak kayu di tengah lautan). Johar terkejut karena ia tak pernah tahu bahwa ia punya seorang anak. Ia tak mau mengakui Jaya sebagai anaknya. Namun ia tak mungkin membawa Jaya kembali ke daratan karena masa lalunya yang kelam; oleh karena itu Johar terpaksa menerima Jaya sebagai pekerja jermal.

Walaupun dihadapkan dengan penolakan ayahnya dan gangguan serta ejekan anak-anak pekerja jermal, Jaya tak mau menyerah pada nasib. Ia melepaskan harapan akan pengakuan ayahnya dan memutuskan untuk mempelajari keterampilan serta sikap yang diperlukan untuk bertahan hidup di atas jermal.

Seiring berjalannya waktu, Jaya berubah menjadi seperti anak-anak jermal yang lain: survivor yang tangguh dan keras. Sementara Johar terpaksa menghadapi dan menerima masa lalunya. Akhirnya, baik Johar maupun Jaya menyadari bahwa mereka terikat oleh masa lalu, dipertemukan di ruang sempit di mana mereka berada, serta terhubung oleh kebenaran yang tak mungkin dihindari.

Awalnya mereka berjumpa sebagai dua orang asing dan akhirnya mereka meninggalkan tempat itu sebagai ayah dan anak.

Catatan:
Pernah tau yang namanya jermal??
Di awal tahun 2000-an, kata jermal terlalu asing di telinga gue. Tapi seiring dengan mengemukanya masalah-masalah yang terkait dengan hak azasi manusia dan hak-hak anak, jermal menjadi lumayan sering disebut karena disinyalir tempat itu mempekerjakan anak-anak di bawah umur dengan perlakuan di luar batas peri kemanusiaan.

Awalnya mendengar tentang film ini, yang pernah dicap ‘Laskar Pelangi versi kelam’, gue sempet terbayang bakal menyaksikan film yang penuh adegan kekerasan di luar batas, seperti yang pernah disampaikan media-media massa mengenai apa-apa yang terjadi di jermal yang sesungguhnya.

Ternyata pilihan setting cerita di atas jermal untuk lebih mengangkat tema pelarian dari masalah dan keterasingan yang berpengaruh besar kepada perubahan psikologis manusia. Kurun waktu cerita yang cukup singkat, lebih kurang 3 bulan, digambarkan dapat dengan cepat mengubah perilaku manusia karena dipaksa beradaptasi dengan lingkungannya. Mungkin saja perubahan semacam itu tidak dapat dengan mudah terjadi di lingkungan masyarakat kota dalam waktu sesingkat itu.

Kondisi terasing di atas jermal digambarkan tidak selalu menjadikan manusia-manusia yang tinggal di sana berada dalam kondisi psikologis yang seragam. Manusiawi sekali bahwa semua orang memiliki mimpi masing-masing. Dalam film ini, keunikan masing-masing pribadi manusia digambarkan dengan lugu namun menyentuh.

Nggak ada adegan kekerasan yang di luar batas, sekalipun ada adegan kekerasan anak-anak terhadap anak-anak yang tidak cocok dan tidak boleh dilakukan oleh anak-anak, tapi masih bisa ‘ditolerir’ oleh penonton dewasa. Dan sekalipun banyak karakter anak-anak tapi jelas film ini bukan film anak-anak dan tidak cocok ditonton oleh anak-anak.

Digambarkan dengan jelas bahwa manusia pasti berproses dengan semua yang dihadapinya. Dan dalam berproses, manusia harus menentukan pilihannya. Pilihannya pun akan membawa manusia ke dalam proses selanjutnya.

KNOWING: Manusia adalah Mahkluk yang Paling Mulia

Image and video hosting by TinyPic


Title:
Knowing

Director:
Alex Proyas

Writers:
Ryne Douglas Pearson, Juliet Snowden

Cast:
Nicolas Cage, Chandler Canterbury, Rose Byrne, Lara Robinson, D.G. Maloney, Nadia Townsend, Alan Hopgood, Adrienne Pickering, Joshua Long, Danielle Carter

Plot:
In the fall of 1959, for a time capsule, students draw pictures of life as they imagine it will be in 50 years. Lucinda, an odd child who hears voices, swiftly writes a long string of numbers. In 2009, the capsule is opened; student Caleb Koestler gets Lucinda's "drawing" and his father John, an astrophysicist and grieving widower, takes a look. He discovers dates of disasters over the past 50 years with the number who died. Three dates remain, all coming soon. He investigates, learns of Lucinda, and looks for her family. He fears for his son, who's started to hear voices and who is visited by a silent stranger who shows him a vision of fire and destruction. What's going on?

Note:
Sekalipun gue suka nonton film, tapi ngga semuanya gue tonton di bioskop. Adalah beberapa jenis film yang nggak masuk prioritas gue untuk ditonton di bioskop, misalnya romantic comedy, family drama, dan beberapa jenis lainnya termasuk juga horor :p Tapi genre less-priority itu sering gue langgar sendiri apabila ada film-film Indonesia dengan rekomendasi baik.

Khusus untuk film Knowing, muncul subyektivitas gue karena ‘rekomendasi’ dari sutradara favorit gue. Gue sempet baca update status FB-nya yang bilang dia suka banget dengan film ini, bahkan sempet komentar suka banget dengan endingnya. Gue kan jadi penasaran.

Begitu masuk di menit-menit, sempet muncul rasa penyesalan karena gue merasa tegang banget. Gue emang ngga terbiasa nonton thriller/horror di bioskop. Semua juga tau ya di dalam bioskop yang gelap dan dingin, gue merasa ‘terjebak’ harus berlama-lama menatap layar penuh ketegangan. Tapi rasa penasaran gue lebih besar daripada perasaan terjebak tadi. Ya terus deh sampai selesai.

Makin lama makin tercekam dengan ceritanya. Semuanya terasa nyata. Gue berhasil dibikin percaya bahwa semua hal dalam film ini mungkin saja terjadi. Gue ngga merasa itu hanya sebuah cerita dalam film. Dari keyakinan yang gue anut justru membuat gue setuju dengan cerita yang disampaikan.

Mengenai ending yang mengundang kontroversi, gue malah setuju sekali dengan visualisasinya dengan logika bahwa mungkin saja kejadian itu dilihat dari sisi berbeda namun dengan keyakinan yang berujung sama. Keyakinan yang gue maksud adalah bahwa manusia itu pada dasarnya adalah mahkluk yang paling mulia yang pasti akan diselamatkan dan dimuliakan kedudukannya di hadapan Sang Pencipta.

Dan dari sudut pandang film yang beda itulah, gue jadi tau kenapa si sutradara favorit gue itu suka banget dengan ending film ini yang menggugah logika dan keyakinan.

07 July 2009

BABI BUTA YANG INGIN TERBANG: Ketika Suku Minoritas setelah Dimatikan Perasaannya



Judul:
Babi Buta yang Ingin Terbang

Sutradara:
Edwin

Pemeran:
Ladya Cheryll, Pong Hardjatmo, Joko Anwar, Andara Early, Carlo Genta

Plot:
In "The Blind Pig Who Wants to Fly" you will find stories about disoriented identity, not knowing who you are, anxiety, uncertainty, the experience of being lost, told with a sense of humor. A father who is desperate to win a green card lottery, so the family can move to America. An ex-national badminton champion, whose husband leaves her for a Javanese wife. A Menado boy who constantly gets beaten up because everybody thinks that he is Chinese. A young girl who believes that Chinese firecrackers expel ghosts. Set within the contemporary social and racial tension of urban Indonesia, the story follows eight characters in their absurd journey to fit in within society in the hope to live better lives. Like a mosaic, this film is built from shattered pieces of colored glass. Delicate, fragile, beautiful.

Catatan:
Penasaran juga dengan film ini. Penasarannya karena film ini ngga pernah diputar di bioskop-bioskop mainstream di tanah air dalam masa tayang regular. Akhir kesampaian juga, itu termasuk mendadak karena info dari salah seorang kawan.

Sekalipun penasaran, ekspektasi untuk film ini gue tekan serendah-rendahnya. Sebenernya bukan khusus film ini aja sih. Tapi biasanya khusus untuk film-film buatan sineas Indonesia mutakhir, ekspektasi selalu gue tekan serendah-serendahnya mendekati titik nol. Dan hal ini selalu terbukti manjur supaya bisa mengikuti filmnya sampai dengan selesai. Urusan baik/buruknya memang juga tergantung selera yang tentunya subyektif.

Film ini gue rasakan absurd banget. Absurd yang gue rasakan muncul dari kombinasi visual yang suram, cerita yang ngga jelas urutannya dan karakter-karakter yang semuanya negatif. Sekalipun begitu, film ini cukup berhasil menjaga gue tetep kepingin ngikutin sampai selesai. Dengan pelan sekali, maksud dari keseluruhan cerita mulai bisa gue serap. Kata kuncinya ternyata adalah ‘Suku Tionghoa yang Terdiskriminasikan’.

Yang gue liat di film ini bukanlah sebuah gugatan dari suku minoritas, tapi lebih ke potret keadaan Suku Tionghoa pada saat ini yang bukan lagi masih didiskriminasi tapi juga sudah terlanjur mati rasa dengan negeri ini.

Visualisasi yang lebih mirip mozaik dan puzzle dibandingkan runtutan cerita, ngebikin gue hampir aja mati rasa karena pusing dan bingung. Tapi merujuk ke hal yang ingin disampaikan, sepertinya visualisasi semacam itu cukup efektif membuat gue merasakan hal-hal yang dirasakan karakter-karakternya.

Visualisasi yang cenderung ‘semau-maunya’ makin lama semakin bikin gue miris menyaksikan kondisi tiap-tiap karakter di film ini. Selain ada yang ‘diperkosa’, ada pula yang bisa bernyanyi-nyanyi gembira mengikuti tayangan karaoke berlatar kerusuhan Mei 1998! Sebenernya ada gugatan di dalamnya, tapi yang gue tangkap gugatan itu jadi semakin tajam justru dengan menampilkan mereka yang sudah mati rasa.

Semuanya sangat terbantu dalam sesi tanya jawab langsung dengan sutradaranya. Dari diskusi jadi jelas semua yang ingin disampaikan film ini. Dan dari penjelasan sang sutradara, termasuk semua hal behind the screen dan beberapa hal off the record, gue semakin miris melihat kehidupan Suku Tionghoa pada masa sekarang. Beruntung Indonesia masih punya Edwin yang peduli hingga lahirlah film ini.

05 July 2009

LABIRIN LAZUARDI: LANGIT MERAH SAGA: Come Back yang Tidak Lagi Memukau


Judul:
Labirin Lazuardi: Langit Merah Saga

Penulis:
Gola Gong

Editor:
Ambhita Dhyaningrum

Penerbit:
Tiga Serangkai, Solo, 2007
ISBN 979-33-0514-2

Catatan:
Buat yang seumuran gue dan suka baca-membaca, kemungkinan besar kenal dengan penulis dengan nama samaran Gola Gong dan karya-karyanya. Mulai terkenal dari serial Balada Si Roy di salah satu majalah remaja. Tulisannya segar, berbeda dengan yang pernah ada, dan membumi. Sekalipun tentang petualangan seorang remaja hampir ke seluruh penjuru tanah air, tiap pembacanya seolah ikut menjadi Si Roy dan menjadi saksi langsung bahkan mengalami sendiri petualangan itu.

Tulisan semacam itu yang melekat di kepala dan hati gue waktu mutusin untuk beli buku Labirin Lazuardi ini. Gue liat buku ini bakal menjadi semacam serial seperti Balada Si Roy dulu. Buku ini ngga kedengaran gaungnya. Tapi jaminan nama Gola Gong bikin gue mau beli dan berniat baca buku ini.

Sekalipun bertokohkan seorang anak muda yang dalam proses pencarian jati dirinya, tidak puas dengan keadaan semu dalam gelimang harta, kali ini Gola Gong terjebak dengan cerita yang cenderung menggurui pembacanya, khususnya gue. Lazuardi, si tokoh utama, tidak terasa membumi. Cenderung ‘too good to be true’. Pelarian dari kehidupan semunya terlalu drastis dan terlalu dramatis. Dan kemampuan survival-nya terlalu hebat untuk ukuran pelajar SMA jaman sekarang. Apalagi dia punya latar belakang yang pernah akrab dengan dunia malam dan narkotika.

Mungkin semua ‘pertanyaan’ gue tadi itu bakal dijawab dalam buku selanjutnya. Tapi gue terlanjur tidak berselera lagi untuk melanjutkan membaca petualangan Lazuardi ini. Gue cukup kelelahan membaca cerita yang penuh dengan wejangan/nasihat yang amat sangat verbal. Seperti membaca kutipan dari kitab suci.

Mudah-mudahan Gola Gong cepat sehat kembali supaya mampu berkarya lebih banyak lagi dan lebih baik lagi.

03 July 2009

SANG PEMIMPI: Sekuel yang Lebih Tertata namun Sama Bermakna


Judul:
Sang Pemimpi

Penulis:
Andrea Hirata

Penyunting:
Imam Risdiyanto

Penerbit:
Bentang, Yogyakarta, 2008
ISBN 979-3062-92-4

Catatan:
Gue akui bahwa Andrea Hirata adalah salah satu penulis hebat, sekalipun tidak berlatar belakang penulis. Sekali gue mulai baca buku ini, susah untuk meninggalkannya. Dan kali ini Andrea menyampaikannya dengan lebih tertata dibandingkan buku sebelumnya. Gaya masih tak berbeda. Sentuhannya pun masih sama.

Mungkin pada buku sebelumnya pembaca lebih terharu biru dengan perjuangan anak-anak untuk dapat tetap sekolah. Di buku ini pembaca bakal tersentuh dengan pendewasaan si Ikal dan pergulatannya di dalam dunia dewasa. Tentunya Ikal tidak sendirian dalam menjalani proses itu. Selain sahabat-sahabatnya, Ikal selalu didukung penuh oleh Sang Ayah. Kasih Ayah Ikal tak kalah dengan kasih seorang ibu. Kebanggaan seorang ayah yang membuat Ikal kembali memperteguh diri berjuang demi cita-cita.

Seorang Ikal telah mulai meluaskan pengembaraannya keluar dari Belitong, tapi proses pendewasaannya belum berhenti sampai di situ saja. Pencarian jati dirinya pun terus berjalan. Hanya satu yang tidak berubah: cita-cita.