tag:

30 June 2009

PACHINKO ...AND EVERYONE'S HAPPY: ‘Reality Show’ Keluarga Jepang

Judul:
Pachinko
and Everyone’s Happy

Sutradara:
Harry Dagoe Suharyadi

Pemeran:
Kazuko Hayami, Emiko Minami, Ikumi Sugiura, Harry Suharyadi

Plot:
Maki, a young Japanese girl, secretly works as a porn star to get some money for eye surgery. But the story gets out when a neighbour gets a copy of Maki's film and her mother is furious. Maki is urged to quit her job but she refuses to do so and even threatens her mother that she will become a prostitute instead. Their quarrel is not finished when suddenly her grandmother shows up after escaping from a nursing home. She accused her daughter and her grand daughter of conspiring to get rid of her. Unable to cope with the situation at home, Maki runs away and stays with her boyfriend, a foreigner, Rudy, an Indonesian who works in Tokyo. Their relationship isn't approved of by her mother, but for Rudy, Maki is willing to go and work things out with her family. Is Rudy really an honest person? What's Maki's biggest secret that she kept from her mother, grandmother and even Rudy? Is it a lie, is it love or is it just life?

Catatan:
Film ini rilis pada saat gue lagi angin-anginan dengan film Indonesia. Masih belom ‘tune in’ dengan film Indonesia mutakhir pada waktu itu. Jadinya film ini luput dari perhatian gue. Pada beberapa tahun sebelumnya gue secara ngga sengaja nonton dan menyukai film TV Mencari Pelangi (film musikal anak-anak) besutan sutradara yang sama.

Dengan bergulirnya waktu, semakin lama gue semakin tertarik untuk mengikuti perkembangan perfilman Indonesia mutakhir, termasuk mendukung penuh produk-produk legal musik/film Indonesia. Pokoknya gue ngga beli bajakan musik/film Indonesia deh.

Nah dalam kondisi ketertarikan seperti itu, secara ngga sengaja gue liat (dan akhirnya beli sih) DVD Pachinko ini. Jujur aja, nama Harry Dagoe-lah yang bikin gue tertarik. Dan secara fisik kemasan, ini adalah produk DVD Indonesia yang paling bagus waktu itu; sementara yang lain pake kotak plastic item (yang sering bau itu), DVD Pachinko pake model slipcase dengan dudukan DVD-nya pake bahan acrylic. Sayangnya, kejelekan gue kalo beli VCD/DVD pastinya ngga langsung ditonton, disimpen dulu dah. Lebih aneh lagi, gue malah duluan selesai baca buku novelisasi film ini.

Dengan pikiran yang sudah tau banget jalan ceritanya, gara-gara duluan baca novelisasinya, akhirnya ketonton juga filmnya. Lagi-lagi ketidak sengajaan terkait dengan film ini; bener deh, hampir malam di rumah, baru aja pulang dari kantor, nyiapin DVD ini untuk dibawa ke press screening film terbarunya Harry Dagoe, eh DVD-nya malah gue masukin ke DVD ROM PC desktop. Jadilah gue nonton.

Sekalipun dalam ketidak sengajaan, anehnya film ini bisa ‘menjaga’ gue untuk tetep nonton sampai selesai. Padahal secara visual, film ini sederhana banget, muram dan cenderung ngga enak di mata. Apalagi gue udah tau ceritanya.

Buat yang tinggal di Indonesia, khususnya di Jakarta, minimal dalam 3 tahun terakhir ini kemungkinan besar akrab dengan tayangan trend baru di televisi swasta nasional yaitu yang disebut reality show. Dalam banyak ragamnya, yang sedang menarik banyak pemirsa adalah reality show yang terkait dengan keluarga dan sosial. Nah nonton Pachinko ini buat gue rasanya mirip-mirip nonton reality show. Tapi gue sadar juga kalo ini adalah film yang fiksi. Sedangkan reality show yang tayang di Indonesia sebagian udah ketauan dibikin-bikin, alias udah ngga ‘reality’ lagi.

Drama keluarga yang disampaikan di film ini terasa nyata, dan dilengkapi dengan visual yang sederhana itu. Kesannya hanya di-shoot menggunakan handy cam sederhana seperti film-film produksi ‘rumahan’. Gue sama sekali ngga akrab dengan kondisi masyakarat Jepang, tapi jadinya malah tertarik menonton film ini sampai selesai. Belakangan baru tahu juga dari wawancara singkat dengan sang sutradara bahwa ia ingin menyampaikan sebuah realita dari masyarakat Jepang masa kini dengan senyata-nyatanya, tanpa polesan ‘kosmetik’ sedikit pun, tidak seperti film-film Jepang mutakhir.

Film yang terasa nyata ini, hampir aja membuat gue lupa bahwa ini semua hanya sebatas film. Dan rasanya jadi cukup aneh sekaligus mengagumkan karena ada orang Indonesia yang niat banget mau menggarap realita dari bangsa Jepang yang pastinya berbeda secara adat istiadat. Namun sekalipun berbeda, sepertinya Harry Dagoe sudah menemukan semua dasar persamaan seluruh bangsa: kemanusiaan!!

29 June 2009

MEMAHAMI FILM: Cara Sederhana Memahami Film

Judul:
Memahami Film

Penulis:
Himawan Pratista

Editor:
Esthi Damayanti

Penerbit:
Homerian Pustaka, Yogyakarta, 2008
ISBN 978-979-17454-2-0

Catatan:
Beli buku secara ngga sengaja, tapi akhirnya cukup bermanfaat.

Sebenernya berawal dari kebutuhan untuk memahami sebuah film secara teknis. Selama ini gue selalu menempatkan diri sebatas penikmat film saja, tidak lebih. Itu karena gue merasa ngga ngerti banget dengan segala macam teknik yang ada di balik produksi sebuah film.

Liat-liat di toko buku dan membaca ‘janji’ kesederhanaan yang ditawarkan penulisnya, akhirnya beli juga deh bukunya.

Penulis dengan latar belakang pendidikan arsitektur ini dengan jelasnya memaparkan semua hal dasar yang terkait dengan teknis produksi sebuah film. Yang paling penting di sini, dijelaskan secara rinci namun dengan bahasa sederhana satu persatu istilah dalam produksi film.

Yang juga bikin buku ini menarik, sebagai studi kasus penulis memilih film Kill Bill sebagai contoh dan bahan bahasan yang dikaitkan dengan semua materi dalam buku yang telah dibahas sebelumnya.

Buku ini cukuplah sebagai pengenalan yang cukup untuk segala macam teknik dalam produksi film. Tapi buku ini belum memancing ketertarikan gue untuk terjun ke dalam dunia perfilman. Buku baru bisa mendorong gue untuk segera menonton film Kill Bill kembali. Setelah gue memahami Kill Bill dari sudut pandang buku ini, mungkin baru muncul ketertarikan lebih untuk terjun ke perfilman.

07 June 2009

RASA: Banyaknya Ide dalam Keterbatasan



Judul:
Rasa

Sutradara:
Charles Gozali

Penulis Naskah:
Charles Gozali, Steve Benitez, Samantha Aguilar, Hilman Hariwijaya

Para Pemeran:
Christian Sugiono, Pevita Pearce, Wulan Guritno, Steve Benitez, Samantha Aguilar, Sarah Benitez, Joe Taslim, Alex Komang, Ray Sahetapy


Catatan:
Gue ngikutin film ini sejak awal sekali. Gue sempet hadir di acara slametan pra produksinya atas undangan salah satu aktornya yang gue kenal dari filmnya sebelum ini. Kesan awal ngedengerin sutradaranya cerita tentang produksi film ini, jujur gue bingung. Yang gue tangkap dari obrolan waktu itu, sutradaranya lebih focus dalam pemasaran filmnya. Gue ngga banyak pertanyaan sih, waktu itu sebatas menyimak semua yang diceritain sutradaranya. Sedangkan untuk filmnya sendiri gue belom dapat gambaran yang jelas dan utuh. Yang bikin gue seneng waktu itu diundang untuk bisa hadir pas shooting.

Ga tau karena ngga jodoh ato gimana, pas shooting hari pertama gue ngga bisa hadir. Yah gitulah kalo masih kerja kantoran, kesempatan nongkrongin langsung shooting film malah ngga jadi. Merasa ngga enak juga sih. Selain karena janji, gue termasuk pendukung film Indonesia. Sekalipun masih belom yakin dengan produksinya, karena obrolan di slametan produksi tempo hari, tapi gue mau banget liat produksi film Indonesia secara langsung. Mumpung gue kenal dengan aktor dan sutradaranya.

Produksi filmnya terus berjalan dan gue ngga pernah sempet ngikutin langsung prosesnya. Duh, emang pas banget sibuk dengan kerjaan kantor yang sampai bikin gue musti ‘disekap’ supaya bisa konsentrasi penuh. Di antara itu sempet juga sih saling kontak. Gue coba membantu dengan apa yang gue bisa dari ‘jarak jauh’ sambil terus coba cari tahu banyak tentang film ini.

Sampai akhirnya gue dapat kabar langsung dari sutradaranya bahwa produksi filmnya sudah masuk tahap akhir. Kebeneran banget kerjaan kantor lagi agak longgar. Akhirnya gue mampir juga ke kantor Magma Entertainment yang ngga jauh dari kantor gue.

Di kantor Magma, gue ngeliat langsung bagaimana mereka bekerja. Waktu itu mereka sedang merencanakan startegi promosi film Rasa ini. Banyak hal yang gue simak waktu itu.

Setelah selesai meeting promosi, Charles Gozali secara eksklusif ngasi liat trailer Rasa dalam 2 versi secara khusus di dalam ‘sanctuary’nya. Gue disuruh komentar yang jujur untuk kedua versi trailer itu. Gue sih berusaha jujur aja. Dan kayaknya sih, versi trailer untuk pasar Indonesia yang bisa kita liat sekarang itu sudah hasil revisi, yang sepertinya hasil masukan dari gue juga :D

Setelah liat trailer, kita lanjut makan siang di kantor. Sambil makan siang, Charles Gozali cerita banyak soal produksi film Rasa. Semuanya diceritain. Semuanya, sampai semua kendalanya juga diceritain, tentunya dengan wanti-wanti ‘off the record’ (berasa jadi wartawan deh gue).

Yang paling menarik dari cerita yang disampaikan, sebenernya Charles dalam film layar lebar pertamanya ini mendedikasikan semuanya untuk kebangkitan film Indonesia menjadi yang bermutu sekaligus komersil. Dia berkaca langsung dengan produksi-produksi film Indonesia di masa lalu yang diproduseri ayahnya yang bermutu baik sekaligus sukses secara komersil, yang salah satunya adalah Perempuan Dalam Pasungan. Charles cukup concern dengan film-film Indonesia mutakhir yang terbagi dalam 2 ‘jenis’: bermutu kurang tapi laku atau bermutu baik tapi nggak laku. Charles kepingin bikin film bagus sekaligus laku. Dalam konsep promosinya, Charles pingin mengajak penonton film Indonesia untuk mengingat lagi bahwa pernah film Indonesia menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Selain dedikasi besarnya, Charles juga mendedikasikan film Rasa untuk salah satu driver di tim produksinya yang meninggal dunia persis setelah produksi selesai. Sang driver ternyata menderita kanker, yang sekalipun dalam keadaan sakit keras, tetap bekerja penuh mendukung produksi film Rasa.

Cerita unik lainnya, adalah seorang pelukis poster film handal yang saat ini sudah kekurangan job karena keahliannya sudah banyak digantikan dengan teknologi. Selain itu beliau juga menderita tremor pada tangannya. Hampir saja beliau menyerah tidak mau melukis lagi. Padahal pekerjaan pelukis poster yang dilakoninya secara turun temurun, beliaulah yang terbaik yang pernah dimiliki keluarganya. Demikian hal yang diakui oleh ayahnya.

Karena kebutuhan dalam produksi film ini, beliau didapuk untuk menjadi pelukis semua lukisan yang ada dalam film Rasa. Awalnya beliau sempat menolak karena kondiri kesehatannya (tremor). Tapi karena dukungan moril dari tim produksi akhirnya beliau mau melakoninya. Belakangan beliau berterima kasih karena bisa berkarya kembali dan karyanya dipakai dalam sebuah produksi film.

Banyak cerita bagus yang disampaikan Charles, tapi ngga sedikit juga cerita yang ‘off the record’ yang diceritakannya. Kedua sisi cerita itu gue inget banget. Tapi jadinya gue kuatir dengan hasil produksi filmnya.

Dan pada press screening kekuatiran gue terbukti.
Rasa jadi film yang melelahkan buat gue. Bukan cuma karena durasinya yang terasa kepanjangan, tapi terasa banget kalo film ini banyak sekali dijejali ide-ide tapi ngga mampu disampaikan dengan baik. Bukannya gue sok karena banyak nonton film yang katanya bagus, tapi film Rasa seperti kumpulan pecahan puzzle yang ngga bisa menemukan tempatnya yang pas. Pecahan puzzle itu seperti berjejal-jejal dan bertumpuk-tumpuk.

Durasinya yang terasa kepanjangan kayaknya mungkin lebih pas kali dibikin berseri sekalian. Mungkin juga karena Charles sebelum ini berpengalaman membesut serial TV. Tapi bisa juga karena sepanjang film, si pembuat cerita berusaha ‘menemukan’ slot cerita yang pas untuk menyatukan semua jejalan/tumpukan ide cerita. Sayangnya sampai akhirnya usaha itu masih belom berhasil.

Tapi dari semua hal yang melelahkan dari film Rasa, gue ngeliat ada beberapa hal yang bisa menjadi nilai positif. Salah satunya adalah akting Wulan Guritno yang cukup enak diperhatikan. Karakter yang diperankan Wulan cukup berhasil menampilkan seorang Ibu yang depresi sekaligus abu-abu dalam menerima bantuan dari orang lain. Sedangkan karakter antagonis yang diperankan Joe Taslim juga cukup natural dengan aksen Bahasa Inggris yang enak dan jelas. Mungkin karena dalam serial TV, Joe sudah berpengalaman sebagai antagonis.

Dan yang paling perlu diberi apresiasi untuk film Rasa adalah usaha memberikan ending yang berbeda dengan kebanyakan ending film Indonesia mutakhir komersil. Selain sebuah twist ending, penulis cerita film Rasa perlu diacungi jempol untuk keberaniannya membuat ending yang tidak biasa.

Sayangnya beberapa hal positif yang gue sampaikan di atas berada di sela-sela kelelahan gue menyaksikan keseluruhan filmnya. Hampir aja gue melewatkan hal-hal itu. Dan dari semua cerita Charles yang ‘off the record’ itu, gue jadi maklum banget kalo film Rasa akhirnya jadi seperti itu.

04 June 2009

Dari 300 Ribu jadi 3 Juta

Tenang, tenang, tenang. Ini bukan tentang iming-iming kenaikan pendapatan ato penghasilan sehari. Ini juga bukan tentang kenaikan perolehan suara salah satu parpol kontestan Pemilu kemarin. Sebenernya ini cuma sedikit cerita tentang keinginan. Keinginan memiliki ponsel baru untuk menggantikan ponsel lamanya.

Iya nih, saat maraknya kemunculan berbagai jenis ponsel baru, khususnya yg berkelas smart phone, sebenernya sih gue ngga tertarik amat untuk beli ponsel baru. Masih aja betah dengan ponsel musik gue sekalipun udah mulai masuk kategori ‘primitif’. Tapi 1 tahun terakhir ini, ponsel lama gue mulai sakit-sakitan. Iya bener loh, penyakit lamanya makin lama makin parah. Akhir sempet juga opname beberapa minggu. Gue sempet hopeless andai aja montirnya ngga bisa ngebenerin ponsel gue. Untungnya gue kenal tempat reparasi ponsel yang handal sekalipun ngga bisa diburu-buru.

Waktu ponsel diopname, gue udah ambil ancang-ancang nyisihin uang untuk beli ponsel baru. Asumsi gue, biasanya kalo ponsel udah direparasi selalu disarankan untuk dijual. Gue udah ancang-ancang beli ponsel baru yang murah dengan budget paling tinggi 1 juta perak. Ada lah pilihan yang lumayan untuk ponsel murah. Tapi ternyata setelah selesai opname, menurut montirnya sih pake aja dulu. Masih bagus koq. Dan gue cek ulang ternyata semua isinya masih komplit, termasuk game-nya!! Canggih juga nih montir!!

Lumayan juga deh sempet dipake lagi tuh ponsel. Namun di lubuk hati gue yang paling dalam, gue merasakan udah waktunya juga ganti ponsel baru. Teknologi di ponsel gue yang lama udah jauh ketinggalan. Dari sisi usia, ponsel lama gue itu udah lebih dari 5 tahun. Cuma gue masih banyak itung2 berapa budget yang musti gue siapin. Dan biasanya gue kalo beli sesuatu, sekalipun disesuaikan dengan budget, tetep ngga mau yang nanggung. Barangnya musti baru dengan spesifikasi tertentu, minimal untuk 5 tahun mendatang masih tetep up to date lah. Dan ternyata kalo emang mau yang seperti itu, budget-nya ngga bisa sedikit.

Hampir setiap 2 minggu sekali beli tabloid yang isinya info-info tentang ponsel. Trus gue juga punya kenalan toko ponsel yang punya instant messenger, jadi bisa sering-sering diajak chatting (akhirnya toko itu sih sebatas chatting aja, belinya di toko lain :D ).

Sambil hunting sana sini, termasuk di internet, makin lama harga second ponsel gue yang lama semakin turun. Dan sekaligus juga, ponsel-ponsel baru yang jadi target pelan-pelan menghilang, yang ada cuma second-nya aja. Dari sisi budget, makin lama makin meningkat, karena pertimbangan nanggung juga liat dari sisi kecanggihan yang diinginkan. Ngga membengkak jauh sih, cuma sampe hampir sejuta budget-nya harus ditambah.

Awalnya sih kepingin tukar tambah. Tapi karena kelamaan ditunda, sekalian nunggu spec ponsel yang lumayang canggih, akhirnya ponsel gue yang lama jadi ngga ada harganya di pasaran. Sulit untuk tukar tambah di toko. Paling kalo mau ya dijual ke pemakai, itu pun harganya di bawah 500 ribu.

Makin lama makin tambah banyak pertimbangan soal kebutuhan ganti ponsel baru. Ada kebutuhan yang lebih mendesak. Misalnya lantai kamar mandi belakang perlu diganti karena yang lama pada retak dan pecah-pecah. Belom lagi tempat jemuran yg ada di depan itu fibre glass pembatasnya udah pada ilang semua. Sempet juga kepikiran mau beli PC desktop baru untuk ‘peremajaan’ yang lama yang di rumah. Wuih!!!

Di antara itu juga gue ‘memunculkan’ kebutuhan untuk punya notebook. Menurut gue, notebook juga penting untuk jadi ‘modal’ penyaluran ketertarikan di bidang tulis menulis. Kayaknya supaya lebih ‘on’ ketimbang mencatat outline tulisan di buku kecil dulu. Gini-gini kan gue punya blog juga loh!

Mulai pusing kan bacanya??? He he he he yah kalo diceritain semua kebutuhan gue sih jadinya malah ngga seru. Yah emang seperti itu lah kondisi gue. Tapi keluarga gue lebih mendukung untuk cepet-cepet beli ponsel baru. Memang tinggal gue satu-satunya di rumah yang masih pake ponsel ketinggalan teknologi baru. Musti dipaksa kayaknya. Tapi musti nunggu uang nganggur mampir ke dompet gue nih.

Nunggu uang mampir ini yang lumayan lama dan menyebalkan, karena memang ngga punya tabungan sih. Untungnya punya temen di mana-mana. Jadinya salah satu kebutuhan bisa didapat dengan cara yang lebih sederhana dan lebih murah. Iya, PC desktop di rumah akhirnya cukup di-upgrade aja. Padahal spare part-nya udah lumayan jarang di pasaran. Gue bisa dapet dengan cara gerilya dan bayar belakangan!

Urusan upgrade PC desktop beres, jadinya bikin gue berani bikin target untuk segera beli ponsel baru dan sekaligus notebook. Nah untuk urusan pendanaan, sempet terpikir untuk pake kartu kredit adik gue yang credit limitnya bisa buat beli sepeda motor. Sempet gue kirimin dia spec notebook yang jadi target. Tapi koq tanggapan adik gue lama banget. Mungkin ada pertimbangan untuk budget belanja yang lain juga. Karena dia juga baru aja beli ponsel baru.

Akhirnya gue beraniin minjem uang ke koperasi kantor. Jumlahnya cukup deh untuk beli ponsel baru dengan teknologi lumayan dan notebook kelas menengah. Cicilannya juga ringan dan gue ambil cicilan untuk 1 tahun aja. Kalo notebook-nya bergaransi 1 tahun kan pas tuh. Amit-amit kalo notebook-nya keburu rusak tapi cicilannya belom lunas.

Paling pertama dibeli notebook duluan, karena deal-nya via telpon dan barangnya dikirim ke rumah. Hebatnya lagi bisa bayar cash di rumah!! Yah namanya orang dagang yaa

Dan akhirnya sampe juga ke toko ponsel punya temennya nyokap. Sebenernya sih bisa aja delivery ke rumah juga. Tapi kebeneran nyokap gue mo ganti keypad ponselnya. Ya udah deh, sampe sana sih udah ngga pake milih. Langsung nyebut seri ponsel target. Dan ngga pake nanggung, sekalian memory card-nya, Bluetooth handsfree-nya sampe dompetnya. Pokoknya lengkap kap kap kap!!

Mulai ketauan lucunya pas gue mo coba tu ponsel baru di toko situ, kan gue keluarin tu ponsel lama gue. Yang punya toko langsung aja bilang, “wah yang itu sih udah ngga ada harganya. Ngejualnya susah!” Gue langsung senyum-senyum. Yah emang nasib dah. Memang merek ponsel lama gue ini bukan yang laku di pasaran. Biasanya memang kalo punya yang model seperti ini, apalagi udah out of date, ya udah nyerah aja pake sampe rusak. Paling kalo ada yang mau pake, ya ‘diserahkan’ aja deh.

Akhirnya selesai juga tugas ponsel gue yang lama itu, sekarang udah pindah ke tangan temen gue. Gue rela koq, temen gue itu ahli ngoprek ponsel. Denger-denger sih udah cukup bermanfaat, MP3 player-nya udah nemenin dia di perjalanan.

Selamat jalan ponselku yang lama, jasamu tak kan terlupakan