tag:

27 July 2008

THE X-FILES: I WANT TO BELIEVE: Believe in Myself!!



Title:
The X-Files: I Want to Believe

Director:
Chris Carter

Writers:
Frank Spotnitz, Chris Carter

Cast:
David Duchovny, Gillian Anderson, Amanda Peet, Billy Connolly, Xzibit

Plot:
When a group of women are abducted in the wintry hills of rural Virginia, the only clues to their disappearance are the grotesque human remains that begin to turn up in snow banks along the highway. With officials desperate for any lead, a disgraced priest's questionable visions send local police on a wild goose chase and straight to a bizarre secret medical experiment that may or may not be connected to the women's disappearance. Its a case right out of The X-Files. But the FBI closed down its investigations into the paranormal years ago. And the best team for the job is ex-agents Fox Mulder and Dr. Dana Scully, who have no desire to revisit their dark past. Still, the truth of these horrific crimes is out there somewhere...and it will take Mulder and Scully to find it!

Note:
Kadang kalo ngeliat temen-temen gue, bahkan ngeliat istri gue, suka bingung deh. Bisa-bisanya dalam 1 minggu itu nonton beberapa film sekaligus. Bahkan ada yang dalam 1 hari 1 malam nonton banyak film. Bisa ya? Apa ngga kecampur-campur? Belom sempet kebahas dalem, eh udah ‘masuk’ film lainnya. Pikir-pikir pada hebat semua ya!

Nah kayak gitu itu tuh, gue kayaknya masih belom sanggup nonton banyak film dalam 1 minggu misalnya. Apalagi Karma masih hype (terutama buat gue sih) jadi masih belom niat nonton film lain. Apalagi sekarang ada Blitz yang sering muter film agak lama dibanding grup 21. Bisa belakangan lah, ngga usah buru-buru. Paling-paling ‘cuma’ ketinggalan hype.

Sementara di kepala gue udah kebayang mo istirahat pas weekend, eh malah dikabarin dapet tiket nonton gratis film ini. Yah kalo gratis sih apa boleh buat deh, berangkat!!!

Minggu pagi, pas lagi ancang-ancang mo mandi untuk bersiap nonton malah sempet bete tuh gara-gara baca review di harian Kompas. Sebenernya sih awal yang bikin bete karena review salah satu harian terbesar di negeri ini tentang film Karma. Dan harian itu juga bilang bahwa sekuel layer lebar X-Files ini kehilangan pesonanya, bahkan dibilang anti klimaks!! Mungkin kalo ngga gratisan dan ngga inget ‘perjuangan’ gue untuk ngambil tiketnya di salah satu kantor redaksi majalah film franchise dari Singapore itu, gue ngga berangkat nonton terpengaruh review yang tadi.

Tapi dengan niat mo having fun bareng keluarga (minus istri gue yang lagi dinas ke luar kota) berangkatlah ke PS XXI.

Nunggu bentaran, lengkap dengan jajanan ala XXI (popcorn, minuman dsb. yang mahal-mahal) masuklah di theater 2. Ngga penuh-penuh amat jadi masih bisa duduk di area rada tengah-tengah. Asyiklah posisinya, cukup pas untuk layar lebar.

Gue yang ngga anti spoiler, jadi makin keki sama review-nya Kompas untuk film X-Files ini. Padahal kalo film ini ditonton bebas spoiler bakal banyak dapet ‘kejutan’. Minimal kita bisa ngikutin cerita yang bertutur denga bahasa visual yang baik. Untungnya rasa thriller-nya masih dapet. Mungkin juga karena gue ‘pemaaf’ jadi tetep bisa menikmati film ini utuh dari depan sampe habis.

Sekalipun latar belakang karakter Mulder dan Scully digambarkan sudah menjauh dari aslinya di serial maupun layar lebar pertamanya, tapi justru di situ malah dapet greget yang beda dengan cerita film/serial X-Files sebelumnya. Meskipun begitu keterkaitan dengan cerita-cerita dan karakter-karakter film/serial sebelumnya bisa disampaikan dengan banyak cara yang tak terduga (bahkan tak ‘tertangkap’ oleh reviewer Kompas!!)

Dan pesan dari cerita ini lebih dekat dengan kemanusiaan dan keyakinan masing-masing individu. Sekalipun kita percaya kepada kebenaran yang empiris, tapi tetap kita harus yakin pada keputusan diri sendiri. Dan dengan cara seperti itulah gue nonton dan menikmati film ini.

17 July 2008

KARMA: Film Horor yang Bercerita


Judul:
Karma

Sutradara:
Allan Lunardi

Ide Cerita:
Elvin Kustaman

Penulis Naskah:
Salman Aristo

Para Pemeran:
Dominique Diyose, Joe Taslim, H.I.M. Damsyik, Jonathan Mulia, Henky Solaiman, Verdi Solaiman, Jenny Chang, Adi Kurdi, Leny Jaya Dewi, Lucy Roswita, Maria Glenon, dan
Penampilan Khusus: Jaya Suprana

Cerita:
Armand dan Sandra baru saja tiba dan bermaksud tinggal di rumah keluarga Guan. Sambutan yang tidak mengenakkan dari Thiong Guan (kakek Armand) kepada Sandra yang tengah hamil muda ternyata hanya awal dari kejadian-kejadian aneh lainnya di rumah yang hanya dihuni oleh laki-laki itu. Armand memang tinggal di rumah itu hanya dengan 3 laki-laki anggota keluarga lainnya; Thiong Guan (sang kakek), Phillip (sang ayah) dan Martin (saudara tiri Armand). Keanehan rumah ini tidak cuma secara kasat mata, namun juga dengan adanya teror gaib yang dialami Sandra yang diusir keluarganya karena kehamilannya. Karma apa yang sedang menaungi mereka?

Catatan:
Waktu gue dikabari dapet undangan premiere film ini, yang terlintas pertama dalam hati gue adalah ini sesuatu yang besar yang terjadi dalam hidup gue!! Tapi selanjutnya jadi teringat kalo gue masih punya ‘utang’ review beberapa film yang belum lama gue tonton. Padahal saat itu pun (pas weekend) gue juga lagi siap-siap mau nonton salah satu blockbuster di bioskop. Sekalipun sampai hari ini ‘utang’ itu masih ada, paling tidak udah banyak koq ‘cicilannya’.

Akhirnya sampe juga malam premiere itu. Dapet ‘jatah’ di theater 1. Sambil ‘ngepasin’ duduk di seat yang boleh milih sendiri lokasinya itu, gue langsung sadar kalo udah lama banget ngga nonton film horor di bioskop! Seinget gue sih terakhir nonton film horor di bioskop pas awal tahun 2007 lalu. Sambil inget-inget hal-hal seputar film horor di bioskop, sempet juga terbersit rasa takut karena sekali lagi bakal ‘dihibur’ film horor dari layar yang besar banget di depan di dalam bioskop yang dingin dan gelap.

Sambil masih deg-degan ringan, dan makin deg-degan karena duduk persis di sebelah musisi Indonesia favorit gue; Aksan Sjuman, layar mulai nampilin beberapa iklan. Eh tau-tau lampu mati, theater jadi gelap gulita dan langsung disusul suara gemerincing tapi bukan dari speaker theater. Gemerincing hilang dan langsung ditimpali radio spot (iklan radio) film Karma yang menggelegar dari speaker. Lampu menyala dan ternyata di depan layar sudah hadir cast dan crew film ini. Mereka diperkenalkan satu-satu dan akhirnya MC malam itu mempersilakan penonton semua untuk menonton film yang segera dimulai. Let’s join the dark ride everybody!

Dan beneran ‘dark ride’ film ini, selain emang theater-nya gelap dan dingin banget. Tapi buat gue film ini bukan film horor yang dibuat untuk menakut-nakuti penontonnya. Sekalipun tetep menyeramkan buat gue, tapi justru menariknya film horor ini mampu bercerita. Iya film ini punya cerita yang utuh dan mampu memvisualkan cerita itu dengan baik. Segala sisi cerita di film ini punya alasan, punya reason, seperti halnya karma itu sendiri. Dan pencarian alasan dalam cerita film inilah yang bisa mendorong gue untuk terus mengikuti filmnya sampai selesai.

Opening atau main title-nya membuat gue seperti digiring masuk. Dan kalo diperhatikan lagi, itu bukan main title dengan taste yang lazim di film-film produksi Indonesia. Selain memang dikreasikan khusus dari Amerika sana, mungkin juga karena main title ini membuka film dengan latar budaya Tiong Hoa yang kental, yang mungkin belum pernah diangkat oleh film maker Indonesia lainnya.

Budaya Tiong Hoa yang diangkat dalam film ini sangat-sangat kental. Tidak cuma sebagai latar, tapi lebih menjadi dasar cerita. Apalagi dalam cerita dikisahkan Thiong Guan berasal dari Semarang, kota di mana budaya Tiong Hoa masih cukup kuat selain di Jakarta. Menariknya, warga Tiong Hoa di Semarang pada masa Thiong Guan muda divisualkan dengan gaya hidup (rumah, tata cara dan pergaulan) asli Tiongkok tapi berbicara dalam bahasa dan aksen Jawa yang kental. Ini adalah benar-benar potret dari warga Tiong Hoa di Semarang pada masa itu.

Segala macam tata cara Tiong Hoa divisualkan dengan teliti, seperti diperlihatkan pada detail meja abu di rumah keluarga Guan. Belum lagi tata cara pemakamannya. Tapi sisi keunggulan itu juga menjadi sedikit titik lemah, karena mungkin banyak penonton yang kurang mengerti banyak mengenai budaya ini. Salah satunya ya gue ini. Akhirnya gue minta sedikit penjelasan ke salah satu pemeran setelah film selesai. Dan tahu nggak?! Ternyata beberapa pemeran yang memang keturunan Tiong Hoa (terutama yang masih muda) ngga tahu banyak soal budaya asli Tiong Hoa sebelum berperan di dalam film ini. Mereka banyak belajar budaya leluhurnya melalui proses produksi film ini.

Mungkin buat yang udah tahu jajaran cast-nya bisa jadi penasaran karena di film ini bakal ada ‘adu akting’ antara cast kawakan (H.I.M Damsyik, Henky Solaiman, Adi Kurdi) dengan cast ‘darah segar’ (Dominique, Joe Taslim, Jonathan Mulia, Verdi Solaiman). Dan mungkin juga ada yang menunggu ‘duel’ Solaiman vs Solaiman. Kalo diliat dari sisi akting, seluruh jajaran cast mampu menyampaikan aktingnya dengan baik. Para aktor kawakan jelas menguasai perannya dan tampil natural. Sedangkan para aktor muda, sekalipun di sana-sini masih terlihat style ‘sinetron’nya, tapi cukup bisa mengimbangi senior-senior mereka di film ini. Yang paling mencuri perhatian adalah akting Verdi Solaiman sebagai Martin. Dan adegan yang bakal tak terlupakan adalah ‘Martin dengan Tissue-tissue Gulungnya’.

Sekalipun gue sedikit kurang sreg dengan visualisasi adegan terakhir film ini, tapi secara keseluruhan film ini berhasil membawa gue secara penuh mengikuti adegan yang satu ke adegan berikutnya dengan rasa penasaran. Alur cerita yang ngga gampang ditebak, dan yang paling penting adalah film ini mampu bercerita dengan baik dan setiap cerita yang disampaikan memiliki alasan yang jelas. Sekalipun alur ceritanya ngga gampang ditebak tapi pada akhir cerita gue jadi ngerti bahwa sebenernya cerita film ini adalah utuh, solid, nyambung dari awal hingga akhirnya. Dan ngga banyak film Indonesia mutakhir yang punya cerita solid seperti film ini, apalagi film-film horornya.


NB:
Makasih buat semua pihak yang sudah ‘mengantar’ gue sampe ke premiere film ini :D

15 July 2008

HANCOCK: A Human within Super-Human



Title:
Hancock

Director:
Peter Berg

Cast:
Will Smith, Charlize Theron, Jason Bateman

Plot:
John Hancock (Will Smith) is an unhappy and reluctant superhero who is living in his own world. For some unknown reason, Hancock is depressed and has started drinking very heavily. He has saved many lives in Los Angles over the years, but in doing so, he has no regards for damaging buildings, trains, roads, cars, or anything that gets in his way to get the job done. The last time he captured several criminals, it cost the city $9 million to fix the damages. The public has had enough of Hancock, and they want him to stop or go to another city. Then one day, Hancock saves the life of Ray Embrey (Jason Bateman) from being run over by a train. Ray is a Public Relations executive who now can go home to his wife and child, because Hancock was there. Ray owes Hancock his life, and he makes it his mission to change his superhero's image and have the public cheering him. Ray's wife, Mary (Charlize Theron), believes Hancock can not be fixed, and she doesnt want Ray to be hurt

Note:
Teman istriku ada yang berbaik hati memberikan hadiah nonton gratisnya kepada kami. Asyik banget, bisa nonton gratisan di Plaza Senayan XXI. Walaupun pada hari Sabtu itu hampir aja terlambat, tapi sampe juga ke theater meskipun Plaza Senayan-nya emang belom buka (masih jam 9 pagi). Namanya juga gratisan, jadinya bebas milih seat. Berhubung kami rada telat jadinya kebagian 4 baris dari depan, tapi milih seat yang di tengah-tengah.

Sebenernya film ini ngga masuk daftar tontonan gue bulan ini. Tapi karena ada gratisan kenapa ngga?! Lagipula aktor/aktrisnya cukup ‘mengundang’ koq; Will Smith dan Charlize Theron. Secara cerita sih udah banyak baca resensinya koq. Tapi twist-nya belom tau sih.

Visualnya seru banget!! Superhero yang manusiawi sekali lagi ada di layar film setelah sebelumnya ada di Superman Returns dan Batman Begins. Untuk spesial efek sih udah ngga perlu dibahas lah, karena pastinya sudah bagus. Yang paling menarik adalah gimmick kelucuan dan kekonyolan dari John Hancock. Kayaknya kalo gue punya power seperti Hancock sih mungkin bakalan kayak gitu juga, khususnya untuk beberapa anak tengil di komplek sebelah!

Kalo dari sisi cerita kurang beberapa penjelasan mengenai karakter-karakter utamanya. Apa emang segitunya kalo superhero depresi bisa mabuk-mabukan juga? Mungkin juga film ini butuh prekuel supaya beberapa lack cerita bisa lebih pas dan jelas. Tapi boleh banget lah kalo mo nonton ini sebagai hiburan. Dan emang pas banget film ini dirilis pas summer di USA sana.

Paling suka gue ngeliat ekspresi Mary (Theron) waktu pertama kali ketemu Hancock. Cuma dengan ngeliatin wajahnya Mary, gue bisa tau kalo dia itu tau sesuatu yang lebih soal Hancock.

Yang rada bikin kurang nyaman sih karena posisi seat-nya yang terlalu deket dengan layar. Ternyata sekalipun sudah direnovasi jadi XXI, posisi seat dan layar grup 21 masih aja bikin pusing kalo terlalu deket. Padahal kalo di kompetitornya sih gue nyaman-nyaman aja duduk di deret yang sama.

14 July 2008

A Dramatic THE INCREDIBLE HULK: A Sequel with No Prequel



Title:
The Incredible Hulk

Director:
Louis Leterrier

Cast:
Edward Norton, Liv Tyler, Tim Roth, William Hurt

Plot:
Depicting the events after the Gamma Bomb. 'The Incredible Hulk' tells the story of Dr Bruce Banner, who seeks a cure to his unique condition, which causes him to turn into a giant green monster under emotional stress. Whilst on the run from military which seeks his capture, Banner comes close to a cure. But all is lost when a new creature emerges; The Abomination.

Note:
Kayaknya gue harus berbeda pendapat, bahkan berseberangan selera dengan banyak orang yang menganggap The Incredible Hulk ini ngga bagus-bagus amat.

Buat gue film ini bagus sekali, komikal sekaligus realis. Film ini punya spirit yang sama dengan Batman Begins. Cuma bedanya, The Incredible Hulk lebih semacam tribute kepada serial TV-nya. Banyak sekali komponen dalam film ini yang mengacu kepada serial TV-nya; dari cameo, music score serial TV di salah satu scene, penampilan properti mirip dengan yang pernah ada di serial TV, sampai ke penggunaan nama samaran Bruce Banner yang mengacu ke salah satu karakter di serial TV.

Jelas banget bahwa film ini memang diproduksi oleh orang-orang yang cinta banget dengan Hulk. Dan memang ternyata Edward Norton termasuk salah satu yang ikutan utak atik naskah film ini.

Film ini tergambar dengan utuh, sampai-sampai terjawab lah kenapa Hulk sering terlihat pake kolor warna ungu!

Memang sih, sekalipun akting dari tiap-tiap cast di film ini ngga diragukan lagi kehandalannya, tapi chemistry di antara mereka masih kurang terasa. Mungkin juga karena terlalu fokus untuk mengangkat kegarangan Hulk. Tapi sekalipun kegarangan Hulk sukses diangkat, gue masih bisa merasakan kerapuhan seorang Bruce Banner di dalam sosok raksasa hijau itu.

12 July 2008

SIDANG SUSILA

Judul:
SIDANG SUSILA: Naskah Komedi dan Catatan Perihal RUU Pornografi

Penulis:
Ayu Utami

Penerbit:
_sp@si dan vhrbook

Isi:
I. SIDANG SUSILA (naskah komedi)
II. LAMPIRAN DUA RUU HAL PORNOGRAFI
III. NOTA KETIDAKSEPAHAMAN TENTANG RUU PORNOGRAFI: kumpulan tulisan Ayu Utami di berbagai media massa mengenai kontroversi RUU hal pornografi

Catatan:
“RUU Antipornografi dan Pornoaksi adalah lawakan yang mengerikan. Bukan menggelikan. Seperti kita tahu, lawakan adalah penjungkirbalikan akal sehat atau logika bahasa. Tetapi, kali ini yang dihasilkannya bukanlah kelucuan melainkan kengerian. Karena, lawakan ini kelak bisa dipakai untuk menghukum orang.”

Paragraf di atas dikutip dari salah satu tulisan Ayu Utami untuk kolom bahasa! Majalah Tempo yang berjudul ‘Berbahasa Indonesiakah RUU Anti Pornografi?’ yang dimuat di dalam buku ini. Paragraf tersebut juga dikutip sebagai tulisan di bagian sampul belakang buku ini. Buat saya jelas sekali bahwa memang paragraf itu menyimpulkan keseluruhan maksud dan tujuan disusunnya dan diterbitkannya buku ini. Selain memang si penulis adalah seorang jurnalis dan aktivis yang ‘tersembunyi’, buku ini diterbitkan secara bersama oleh _sp@si dan vhrbook dimana yang penerbitnya disebut terakhir adalah bagian dari vhrmedia.com, sebuah media komunikasi milik LSM. VHR pada vhrmedia.com sendiri adalah singkatan dari Voice of Human Rights.

Isi buku ini memang mengenai ketidaksetujuan penulis terhadap RUU yang menjungkirkan akal sehat itu. Secara kocak dituangkan ke dalam naskah drama (yang katanya sudah dipentaskan oleh Teater Gandrik pada bulan Pebruari 2008) yang menceritakan pengadilan terhadap seorang laki-laki yang menjadi korban implementasi UU Anti Pornografi. Laki-laki yang bernama Susila ini tergolong ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan yang rendah. Pola pikir dan pola hidupnya sederhana sehingga membuat ia menjadi tampil ‘seksi’ (perut dan payudara melimpah) dan menyambung hidup dengan berjualan mainan anak-anak dan ‘dewasa’. Naskah drama yang sederhana ini sama sekali tidak membuat saya kesulitan untuk menikmatinya. Mudah sekali membayangkan seperti apa naskah bila dipentaskan.

Tapi ada yang lebih lucu daripada naskah drama itu. Terlampir 2 draft RUU Anti Pornografi; 1 draft RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) dan 1 lagi draft RUU Pornografi (RUU APP ‘yang disempurnakan’). 2 draft RUU tersebut dikutip dan diberikan catatan-catatan oleh penulis di banyak pasal dan ayat-ayatnya. Pastinya dalam catatan-catatan tersebut, penulis banyak menyoalkan mengenai esensi maksud dan tujuan disusunnya pasal/ayat RUU tersebut. Ditemukan pula inkonsistensi di beberapa bagian yang tidak nyambung dengan bagian sebelumnya. Dan yang makin memperparah ‘kerusakan’ RUU tersebut adalah penggunaan Bahasa Indonesia dengan tidak baik dan tidak benar.

Catatan-catatan penulis pada draft RUU tersebut makin menegaskan bahwa kedua draft RUU tersebut adalah benar-benar penjungkirbalikan akal sehat dan logika bahasa. Bahasa Indonesia banyak mengalami perubahan, penyempitan dan bahkan pelintiran makna dalam draft RUU tersebut. Belum lagi dalam banyak pasal/ayat, pelintiran makna dan logika bahasa menjadikan pasal/ayat tersebut multi tafsir, atau yang lebih dikenal dengan pasal/ayat karet.

Membaca buku ini menjadikan saya lebih tahu dan mengerti kekhawatiran saudara-saudara LSM mengenai ‘jahatnya’ RUU tersebut. Dan saya juga menjadi semakin ngeri apabila membayangkan RUU tersebut disahkan dan diimplementasikan dalam kehidupan di Indonesia.

08 July 2008

INDIANA JONES AND THE KINGDOM OF CRYSTAL SKULL: NostalGila bersama Trio Lucas Spielberg Ford



Title:
Indiana Jones and the Kingdom of Crystal Skull

Director:
Steven Spielberg

Actor:
Harrison Ford, Ray Winstone, Marion Ravenwood, Shia LaBeouf, Cate Blanchett

Plot:
During the Cold War, Soviet agents watch Professor Henry Jones when a young man brings him a coded message from an aged, demented colleague, Henry Oxley. Led by the brilliant Irina Spalko, the Soviets tail Jones and the young man, Mutt, to Peru. With Oxley's code, they find a legendary skull made of a single piece of quartz. If Jones can deliver the skull to its rightful place, all may be well; but if Irina takes it to its origin, she'll gain powers that could endanger the West. Aging professor and young buck join forces with a woman from Jones's past to face the dangers of the jungle, Russia, and the supernatural.

Note:
Sejak mulai tampilan opening title, gue langsung ngeh kalo film ini dibuat dengan tujuan nostalgia! Iya, nostalgia dari tim pembuatnya kepada fans Indiana Jones semuanya. Dari pemilihan font judul jelas banget kalo mereka pingin banget mengembalikan kenangan fans Indy balik ke Raiders of The Lost Ark. Dan gue langsung ngilangin semua ekspektasi gue untuk film Indy seri ke 4 ini.

Awalnya gue sempet ‘memuja’ Indiana Jones hanya untuk triloginya. Buat gue Indiana Jones cukup bercerita di triloginya. Serial TV-nya buat gue sekedar menambah wawasan tentang background ‘kenakalan’ Henry Jones Jr. a.k.a Indiana Jones. Gue ngga terlalu suka dengan serial TV-nya terutama pada masa remajanya karena diperankan Sean Patrick Flannery. Mungkin karena gue keburu melihat cuplikan Indy remaja di Indiana Jones and The Last Crusade yang diperankan almarhum River Phoenix. Di situ gue terkesan banget pada penampilan kakak dari Joaquin Phoenix itu. Buat gue penampilan River di situ ‘nyambung’ banget dengan Harrison Ford.

Ngomongin Raiders of The Lost Ark, pada adegan-adegan awal Kingdom of Crystal Skull malah merubah ekspektasi gue untuk semakin masuk ke dalam nostagianya. Gue berharap banget untuk ‘bertemu’ dengan banyak gimmick yang membuat gue semakin terbuai kenangan seperti gue pertama kali nonton seri Indiana Jones di bioskop bertahun-tahun yang lalu. Dan buat gue, trio Lucas Spielberg dan Ford cukup sukses membawa gue ke sana. Hampir semua elemen masih seperti seri film-film sebelumnya. Sepertinya secara ngga sadar sepanjang film ini gue ‘sibuk’ bersorak dan terbahak-bahak. Dan ceritanya yang ‘ringan’ ngga terlalu jadi perhatian gue. Toh cara penyampaiannya masih dalam pace yang pas.

Tapi sejenak gue merasa film ini masih dalam spirit yang sama dengan Superman Returns, mencoba mengembalikan hype seperti seri sebelumnya. Dan ngga cuma melanjutkan, film ini juga membuka ‘peluang’ dibuatnya sekuel selanjutnya. Yang menarik, peluang sekuel ini ngga cuma sekedar lanjutan tapi juga ‘suksesi’ bagi peran si professor gila petualangan ini. Dan gue ngga menganggap Harrison Ford sudah terlalu tua untuk masih bergelantungan pada cemetinya.

Tapi kalo boleh usul sih, kayaknya asyik juga kalo mau bikin serial Indy berikutnya ikutan trend ‘reboot’ seperti film-film ‘serial’ lainnya. Mungkin bakal lebih menarik, karena timeline cerita biar masih di sekitar Perang Dunia II. Dan keterbatasan temuan teknologi pada masa itu menjadi gimmick tersendiri.

Bersyukur gue masih sempet nonton film ini di bioskop. Selesai nonton film ini, bukan ceritanya yang membekas tapi malah kenangan lama yang makin terbayang-bayang. Ngga jelek koq. Malah makin bikin kangen.

07 July 2008

FIKSI



Judul:
Fiksi

Sutradara:
Mouly Surya

Skenario:
Joko Anwar

Cerita:
Seorang gadis muda dengan trauma atas kematian ibunya, mencoba menapaki kehidupannya di luar rumahnya yang bagaikan istana. Segalanya bermula dari ketertarikannya kepada seorang lak-laki muda yang sementara waktu sempat bekerja sebagai pembersih kolam renang di rumahnya. Rasa ketertarikannya itu menjadi pemicu baginya untuk terus mengenal semakin dekat laki-laki muda itu.
Dan ternyata dinamika kehidupan di luar rumah tak berada dalam rengkuhan di gadis muda.

Catatan:
Sejak tau skenario film ini ditulis oleh Joko Anwar, gue udah selalu pasang ancang-ancang untuk nonton film ini di bioskop. Sempet juga kuatir ngga kebagian nonton. Bukan karena film ini selalu sold out, tapi karena gue sering terbentur dengan waktu untuk keperluan lain di akhir pekan. Secara film-film seperti ini tayangnya cuma di grup 21 pada bioskop-bioskop tertentu dengan masa tayang terbatas. Gue ngga mau kejadian lagi ketinggalan nonton May.

Akhirnya kebagian juga, ternyata itu adalah minggu terakhir film Fiksi tayang di grup 21 Jakarta. Begitulah, memang untuk film-film seperti inilah gue terpaksa ‘kompromi’ dengan grup 21. Apalagi pada akhir masa tayangnya, film ini diputar di bioskop 21 yang ngga ada paket pay one for two-nya. Demi film Indonesia yang berkualitas, ngga apa-apa juga deh harus kompromi dengan pihak kapitalis monopolis.

Denger-denger nih, sang sutradara film ini sebenernya udah nyiapin sekalian dengan skenarionya. Untuk film pertamanya ini, dia udah siapin segala sesuatunya termasuk bikin production house sendiri bareng suaminya. Tapi ternyata Mouly Surya cukup pinter untuk akhirnya dia serahkan penulisan skenario film thriller ini kepada Joko Anwar. Makanya film ini terasa banget kentalnya gaya cerita Joko Anwar. Sekalipun tidak sama persis, film Fiksi ini punya kesuraman yang sama dengan film Kala yang nota bene adalah tulisan dan besutan Joko Anwar.

Untuk ukuran film perdana, menurut gue sang sutradara udah punya idealisme tertentu dalam membuat film. Cara menyampaikan cerita thriller ini bener-bener dapet, bener-bener bisa bikin gue pingin nonton film ini sampai selesai dengan perasaan penasaran sekaligus capek karena sukses terteror. Bahkan sehari setelah nonton, gue masih merasakan kesuraman film ini. Itu indikator film thriller yang sukses, karena gue bukan penakut.

Cerita yang disampaikan cukup nyata, bisa saja hal yang sama terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kemungkinan semacam ini yang juga semakin menguatkan unsur thriller-nya.

Jarang banget Indonesia punya film semacam ini. Dan memang menjadi semakin jarang karena keterbatasan tayang di bioskop.

NATIONAL TREASURE: BOOK OF SECRET: Gates’s Family Gathering



Title:
National Treasure: Book of Secret

Director:
Jon Turteltaub

Actor:
Nicolas Cage

Plot:
While Ben Gates is presenting new information about John Wilkes Booth and the 18 pages missing from Booth's diary, a man by the name of Mitch Wilkinson stands up and presents a missing page of John Wilkes Booth's diary. Thomas Gates, Ben's great-grandfather, is mentioned on the page. It shows that Ben's great-grandfather was a co-conspirator in Abraham Lincoln's murder. When doing more research, the conspiracy takes Ben, Abigail Chase, and Riley Poole to Buckingham Palace (which they break into). They discover a plank that has early Native American writing on it. The plank has only one symbol that Patrick Gates can identify. The symbol is Cibola (see-bowl-uh) meaning the City of Gold. In order to define the rest the have to go to Ben's mother, Patrick's divorced wife. After 32 years it brings back old arguments. After that the other clue is in the President's desk in the Oval Office in the White House (which Ben and Abigail sneak into) to discover that the clue lies in The President's Book. But in order to see the book, their choice is either get elected president or kidnap the President of the United States. Which do they choose? It's obvious. With Wilkinson close on their tail, they find the book in the Library of Congress. The conspiracy then crosses to Mount Rushmore where the clue was on the hills, but (according to the Book) President Calvin Coolidge had the faces carved in so no one can find the City of Gold. When they get there they find out that they must work with Wilkinson since he has some clues of his own. Who will claim Cibola? And will the name of Gates be known as murder?

Note:
Secara keseluruhan sih film ini seru. Ceritanya malah cenderung sederhana dan banyak bumbu drama keluarga. Iya drama keluarga karena ada Gates’s Family Gathering di film ini.

Tapi film ini tinggal serunya aja. Rasa misteri dan konspirasi besar sejarah dunia udah ngga terlalu terasa. Lebih kuat di alur cerita pencarian ‘harta karun’ aja. Itu pun cuma seru di penjelajahannya aja, tapi pemecahan teka tekinya ngga seseru seri sebelumnya.

Dan gue paling kecewa dengan ending-nya yang amat sangat ringan, tapi justru kurang masuk akal. Sekalipun ending-nya tidak terlalu tipikal Hollywood (biasanya kalo harta karun di film-film Hollywood akhirnya ngga jadi diambil karena sesuatu hal) tapi memancing gue untuk berpikir: masa iya sih begitu aja gampang dapetnya???

Secara hiburan sih oke, tapi film ini bisa disebut sebagai bad sequels.

Stephen King's The Mist



Title:
The Mist

Director:
Frank Darabont

Actor:
Thomas Jane

Plot:
After a violent storm attacks a town in Maine, an approaching cloud of mist appears the next morning. As the mist quickly envelops the area, a group of people get trapped in a local grocery store -among them, artist David Drayton and his five-year-old son. The people soon discover that within the mist lives numerous species of horrific, unworldly creatures that entered through an inter-dimensional rift, which may or may not have been caused by a nearby military base. As the world around them manifests into a literal hell-on-earth, the horrified citizens try desperately to survive this apocalyptic disaster.

Note:
Awalnya cuma nonton selewatan aja karena istri gue yang pasang film ini di ruang TV. Dengan banyak referensi review film ini, akhir gue sambil setengah ngantuk ikutan nonton film ini sampai selesai.

Awalnya sih gue sempet ragu tentang film ini yang nota bene adalah visualisasi dari novel karya Stephen King. Tapi setelah tau sutradaranya adalah Frank Darabont, muncul juga penasaran gue atas film ini. Dan mood-nya pas waktu istri gue pasang film ini dan gue terbawa terus sampai selesai.

Dan memang Frank Darabont sepertinya hanya salah satu dari 2 sutradara yang mampu menafsirkan karya Stephen King dengan baik ke layar lebar. Sutradara yang satunya adalah almarhum Stanley Kubrick dengan The Shinning.

Frank Darabont pernah dengan sukses mengangkat novelette karya Stephen King yang berjudul Shawsank Redemption and Rita Hayworth ke layar lebar. Dan karyanya dengan judul dipersingkat menjadi Shawsank Redemption telah menjadi salah satu film cult terbaik, dan juga film yang selalu direkomendasikan untuk menggugah semangat bagi penontonnya.

Dan kali ini Frank Darabont juga sukses mengangkat The Mist dengan twist cerita yang keren dan ending yang hebat.

Musisiku

Judul:
Musisiku

Penulis:
Asriat Ginting, Chr Nasution, Denny Sakrie, Fauzi Djuanedi, Jose Choa Linge, Manunggal K Wardaya, Niantoro Sutrisno, Riza Sihbudi, Syamsuddin, Wasis Susilo

Editor:
Denny Sakrie

Penerbit:
Republika




Catatan:
Buku yang merupakan kompilasi dari berbagai tulisan di rubrik Oldies Goodies di salah satu harian besar di Indonesia sepertinya berusaha merangkum jejak-jejak musisi besar Indonesia. Tulisan-tulisan yang terangkum adalah buah karya penulis yang dalam tulisannya terlihat sekali sangat-sangat peduli dengan musik Indonesia.

Tulisan yang berisikan biografi musikal dari tokoh-tokoh dunia musik Indonesia. Dari yang multi talenta sampai pelestari budaya betawi. Dari akar musik rock sampai pop progresif 80-an. Dari pop santai sampai musikalisasi puisi religius. Tidak lupa juga fenomena musik Indonesia dari Koes Bersaudara, Koes Plus sampai ke Badai Pasti Berlalu.

Dalam kesederhanaannya buku ini cukup bisa memetakan ‘sejarah’ musik Indonesia sekalipun tidak terlalu setia dengan kronologi waktunya. Meski belum bisa dibandingkan dengan buku sejenis lainnya yang mengupas sejarah film dan sejarah bioskop di Indonesia, tapi buku ini sudah bisa merangkum tonggak-tonggak sejarah penting dalam perkembangan musik Indonesia.

PACHINKO ....... and Everyone's Happy

Judul:
Pachinko
and Everyone’s Happy


Ditulis oleh:
Harry Suharyadi dan Muhammad Yunus
berdasarkan skenario film Pachinko & Everyone’s Happy karya Harry Suharyadi, diilhami dari kejadian-kejadian sebenarnya


Penerbit:
Puspa Swara, Jakarta


Cerita:
Kegundahan dalan pengabdian kepada hidup digambarkan melalui hidup seorang geisha yang kehidupan sehari-harinya bertolak belakang dengan keceriaan yang selalu dibawa dalam profesinya.


Catatan:
Novelisasi dari film yang berjudul sama ini disampaikan dengan padat dan efisien. Dalam buku setebal 115 halaman bisa dengan gampang gue lahap cuma dalam beberapa jam aja. Iya, cuma beberapa jam aja. Buku ini ‘nemenin’ gue dalam perjalanan pergi pulang kantor naik angkutan umum.

Tapi buku ini dengan hebatnya bisa menyampaikan secara utuh keseluruhan cerita lengkap dengan rasa mendalam yang menyentuh hati gue. Buat gue, perasaan tokoh utama yang selalu di ‘persimpangan jalan’ seperti kena banget. Bisa juga saat baca buku ini, sisi feminin gue lebih mendominasi akal dan pikiran gue.

‘Romantisme’ yang disampaikan buku ini lebih kepada romantisme kehidupan sehari-hari yang disimbolisasikan lewat kehidupan seorang geisha yang mendua. Kayaknya hampir setiap orang yang hidup, terutama di zaman sekarang, selalu punya sikap mendua, baik dalam skala kecil maupun besar. Makanya cerita di buku ini kena banget.

Pace-nya bisa jadi lambat tapi ngga lantas menjadi mendayu-dayu. Pas banget dengan latar cerita tentang orang Jepang yang cenderung kaku, yang sekalipun kaku tapi banyak kerapuhan di dalamnya.

Sebenernya setelah baca buku ini, cukup ada rasa penasaran untuk menyaksikan filmnya. Tapi rasa penasaran itu masih belum cukup kuat untuk menuntaskan nonton filmnya. Mungkin mood-nya aja yang belum dapet.