tag:

20 November 2010

ONROP! Musikal: Penciptaan Trend Baru Teater Indonesia

onrop


Ah sudah lama sekali gue ga nonton panggung teater. Terakhir kali nonton lakon panggung Teater Koma yang judulnya pun gue sudah lupa. Itu terakhir nonton panggung teater dan terakhir pula nonton pertunjukan bersama almarhum Bokap.

Ada sensasi yang ajaib sewaktu menanti pertunjukan ONROP! Musikal (ONROP) ini. Gue merasakan kegirangan yang luar biasa hingga jantung selalu berdebar-debar dalam seminggu terakhir menjelang Hari-H pertunjukan. Kalo dipikir kayaknya gejala ajaib itu dikarenakan 2 hal: pertama, karena gue sudah lama ngga nonton pertunjukan teater secara langsung; kedua, karena ONROP ini karya Joko Anwar, sutradara film favorit gue, yang tentunya bikin penasaran bakal seperti apa teater musikal besutannya.

Rasa penasaran pun semakin menumpuk karena gue pesan tiket untuk pertunjukan hari pertama sebulan sebelum Hari-H. Mungkin terdengar agak gila karena gue secara khusus mengejar pertunjukan hari pertama. Sebenernya gue menuruti 'nasehat' alm. Bokap gue yang selalu bilang bahwa waktu yang paling baik untuk menyaksikan teater panggung adalah pertunjukan perdana, karena saat itulah energi dan excitement sedang pada puncaknya, sekalipun kita juga bakal melihat kesalahan-kesalahan di sana sini. Maklumlah, namanya juga tampil perdana.

Setelah beberapa hari pertunjukan kondisi fisik pemain juga bakal menurun. Sekalipun ada juga aktor senior Indonesia yang bilang bahwa top performa teater panggung adalah pada hari ke-3 atau ke-4, karena sudah banyak evaluasi sana sini, tapi gue yakin bahwa energi dan excitement-nya tidak akan menandingi pertunjukan hari pertama.

Sambil menunggu Hari-H, gue ngga berhenti membayangkan akan seperti apa jadinya ONROP nanti. Sebenernya gue pernah tau bocoran ceritanya dari sutradaranya sendiri. Waktu itu masih ditujukan untuk dibuat menjadi film. Namun dari ceritanya, gue ngga berani ngebayangin bakal seperti apa filmnya nanti. Bukan cuma itu, gue pun ngga berani ngebayangin bakal seperti apa kontroversinya karena dari bocoran ceritanya saja sudah penuh dengan kritik sosial yang keras dan langsung tuding meski setting-nya di masa depan.

Awal tahun 2010 gue denger kabar konsep cerita ONROP diubah dan disiapkan jadi panggung musikal! Salut deh! Konversi ini adalah langkah cerdas Joko Anwar dalam mempertahankan karya seninya tanpa kompromi. Kalo masih dalam bentuk film, kemungkinan gunting sensor bakal amat sangat tajam mencacahnya (golok sensor mungkin tepatnya). Kalo dari panggung teater, kan kita belum pernah lagi dengar ada kasus breidel sebuah pertunjukan teater, bukan?! Belum lagi, teater itu sifatnya agak eksklusif dan segmented yang hanya menarik bagi kalangan tertentu saja.

Mendengar kabar konversi ini, gue langsung terkenang masa-masa 'pendidikan' menonton teater yang dimentori alm. Bokap gue. Masih ingat pertama kali diajak nonton teater di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki (lagi-lagi gue lupa apa judul lakonnya), malam-malam, sepi-sepi dan banyak nyamuk. Waktu itu usia gue belom lagi 10 tahun. Ke mana-mana masih bercelana pendek. Ngga aneh kalo sepanjang pertunjukan teater yang ngga ada seru-serunya itu gue selalu misuh-misuh pelan-pelan. Iya, misuh-misuh pelan-pelan karena ‘ditahan’ oleh Bokap gue yang galak banget kalo urusan tata tertib nonton panggung teater, nggak boleh bersuara! Itu pengalaman pertama gue.

Pengalaman berikutnya tentunya lebih seru lagi, sore-sore disuruh Bokap siap-siap pergi dan mengenakan celana panjang. Waktu itu usia gue sudah 10 tahun. Ternyata gue diajak ke pertunjukan Teater Koma! Saat itu gue udah mulai kenal betapa ‘nakal’nya Teater Koma dari beberapa booklet yang dibawa pulang Bokap dari pertunjukan-pertunjukannya. Ngga heran kalo Bokap nyuruh gue bercelana panjang supaya sedikit ‘mengelabui’ panitia, seolah-olah gue sudah cukup umur untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.

Mulai saat itu, gue jadi 'partner in crime' Bokap gue yang hampir selalu bersama nonton pertunjukan teater. Dan pelan tapi pasti gue 'dikenalin' dengan pertunjukan-pertunjukan teater yang berkelas dari Teater Koma dan Bengkel Teater Rendra (emang cuma dua itu sih Teater favorit Bokap). Yang cukup berkesan adalah lakon Kampung Suku Naga (KSN) oleh Bengkel Teater Rendra dan Opera Ikan Asin (OIA) oleh Teater Koma. KSN mantap dengan kritik sosialnya yang tajam dan temanya aktual selama berpuluh tahun. Sedangkan OIA, adaptasi dari Three Penny Opera, sangat cerah dengan tari dan nyanyi meski juga bertemakan kritik sosial.

Khusus KSN, kali itu gue nonton versi revisited-nya. Ceritanya sama persis, bahkan sebagian pelakonnya pun sama dengan versi aslinya di tahun 70-an. Tapi situasi politik Indonesia yang membedakan. Menurut Bokap gue, jatuhnya rezim otoriter Indonesia sejak 1998 membuat nonton lakon KSN saat itu tidak sewas-was saat menonton versi aslinya. Pada masa rezim otoriter berkuasa, lakon teater dapat dihentikan tiba-tiba ditengah berlangsungnya pertunjukan! Dan memang terbukti KSN 'revisited' tidak pernah dihentikan di tengah jalan.

Saat itu rasanya hidup gue sangat berkelas karena suka nonton teater. Tapi suatu waktu sempat tersentak karena ada pertanyaan dari seorang yuppies, "Emang keren ya teater Indonesia?" "Keren seperti pertunjukan-pertunjukan Broadway?"

Hmmm bisa gue jawab sih tapi tentunya akan sulit meyakinkan kerennya teater Indonesia kepada orang yang punya pertanyaan dan referensi teater semacam itu. Teater Indonesia tentunya khas sekali, sekalipun beberapa lakonnya adalah hasil adaptasi, tapi selalu punya muatan kritik kepada kondisi sehari-hari. Hal ini mungkin karena pada sejarahnya teater Indonesia pernah menjadi alat perjuangan tersamar melawan penguasa/penjajah.

Pengalaman pernah mencintai pertunjukan teater pastinya menjadi referensi gue untuk jadi sangat antusias menyaksikan ONROP. Dan dengan ‘persiapan’ sebulan penuh (kan beli tiketnya sebulan sebelomnya) nyaris selalu deg-degan.

tiket onrop


Akhirnya sampai juga pada Hari-H!

Dan .....semua yang ditampilkan ONROP di luar ekspektasi gue! Sebagai besutan seorang sutradara film, ONROP dibuat dengan sangat berani dan tidak setengah-setengah. Joko Anwar yang terkenal dengan sikapnya yang tidak kenal kompromi, membuat ONROP begitu lugas, terang-terangan dalam mengritik tapi juga mengetengahkan visual panggung yang hebat dan megah.

ONROP, sesuai dengan temanya yang musikal, dikemas dalam tari dan lagu. Dan banyak bagian dialognya dinyanyikan dalam bentuk lagu yang utuh. Fakta yang cukup mengejutkan adalah bahwa seluruh lirik lagu ditulis sendiri oleh Joko Anwar!

Gue selalu suka tontonan musikal yang sebagian dialognya dinyanyikan seperti ONROP ini. Mau tidak mau, semua referensi tontonan musikal favorit gue muncul sebagai pembanding: OIA-nya Teater Koma, Bahz Luhrman's Moulin Rouge, dan musikal fenomenal abad 21, Rent.

Perbandingan itu malah membuat gue menyejajarkan ONROP dengan tontonan musikal favorit gue karena ONROP punya kelebihannya sendiri: pertama, karena kisahnya orisinil bukan saduran/adaptasi. Kedua, tema yang diangkat adalah bentuk kritik sekaligus kekhawatiran pembuatnya terhadap kondisi aktual di Indonesia, yang juga bisa jadi kekhawatiran penontonnya. Kritik yang dilontarkan tanpa tedeng aling-aling. Menyebut langsung 'Jakarta' dan 'Indonesia', sekalipun tidak menyebutkan nama tokoh tertentu dan setting cerita adalah Jakarta - Indonesia di tahun 2020.

Yang ketiga, panggung musikal digarap amat serius dan detil. Mulai dari tata panggung, tata cahaya, tata gerak dan tata musiknya. Tata gerak dan tari ditangani langsung Eko Supriyanto yang sudah berkaliber Internasional (koreografer tour musik Madonna). Semua tarian digarap dengan tepat dan pas, ngga berlebihan dan ngga bikin gue mikir berat untuk menafsirkan artistiknya (ngga seperti pertunjukan musik dan tari yang pernah gue tonton yang maunya ngepop tapi tariannya yang terlalu over the top, bikin capek gue yang nonton).

Trio musisi music score paling handal yang dimiliki Indonesia, Aghi, Bemby, Mondo, bersatu ‘bahu-membahu’ pada pengalaman pertama mereka menyusun musik untuk panggung musikal. Ngga tanggung-tanggung, mereka sukses menggubah 17 lagu yang juga disusun untuk komposisi orkestra. Dan musiknya diisi langsung dengan orkestra dan choir, live on stage! Musik dan lagu yang disuguhkan dengan tipe musik panggung. Mungkin saja referensi musiknya diambil dari beberapa pertunjukan panggung musikal yang pernah ada di dunia. Yang menarik, buat gue nyaris semua lagu yang ada dalam ONROP ini bisa dijagokan sebagai single. Beberapa pilihan gue sebut aja “Bram Baby, One Kiss Please”, “Pulau Onrop”, “Ultra-nasionalisimo!”, “Kalau Nggak Ada Kamu Apa Gunanya”, “Pulau Cinta”, “Jangan Takut, Malam Tiba Dunia Milik Kita”, “Incompatible”, “Ini Cuma Cinta Kalian Takut Apa?” dan yang paling gue jagokan dari semuanya adalah “Kenapa Harus Drama?” Kita tunggu saja realisasi rekaman musiknya segera dalam bentuk CD audio.

Sekalipun katanya seorang Joko Anwar juga turun tangan sendiri untuk mengarahkan visual panggung sekaligus dengan tata cahayanya, pertunjukan ini diproduseri oleh Afi Shamara (produser film ‘Ca Bau Kan’, ‘Biola Tak Berdawai’, ‘Arisan!’) yang dengan ONROP ini, seorang Bunda Afi (begitu biasa dia dipanggil oleh orang-orang terdekat) kembali kepada cinta pertamanya, yaitu teater. Gue selalu salut dengan produser yang mau kerja bareng seorang Joko Anwar yang tidak kenal kompromi dan isi kepalanya yang ngga pernah sederhana. Tapi lucunya, di suatu kesempatan obrolan singkat sebelum pertunjukan perdana ONROP, Bunda Afi terang-terangan memuji kerja Joko Anwar yang nyaris ‘all in’ untuk semua aspek di pertunjukan itu.

Onrop Perdana 01

Onrop Perdana 03


‘Kegilaan’ Joko Anwar ngga hanya sebatas kerjanya yang all in di ONROP ini, tapi sejak awal dia mengadakan open casting untuk semua pemeran, penari dan penyanyi dalam pertunjukan ini. Dalam hasil akhirnya, sebagai penonton kita boleh saja bilang bahwa akting di ONROP tidak sulit karena sebagian besar pemerannya adalah aktor terkenal dan langganan kerja bareng dengan Joko Anwar. Tapi musti diingat adalah ini panggung teater musikal, para pemeran/penari harus selalu tampil live! Semua dialog dan nyanyian tidak ada dubbing! Sebagian besar pemeran dalam ONROP ini adalah bukan aktor teater profesional. Sebagian besar kita kenal dalam produksi layar lebar atau pun televisi. Maka dari itu gue ngga berani membayang betapa hebatnya pendidikan dan penempaan bagi para pemeran/penari dalam produksi ini sejak awal audisi hingga bisa tampil dengan diberi standing ovation beberapa malam berturut-turut. Tampil live on stage bagi semua penampil di ONROP pastinya menjadi pengalaman yang tak ternilai.

Onrop Perdana 04


Kemasannya boleh musikal, tapi seperti halnya karya Joko Anwar sebelumnya, kisah ONROP tidak sesederhana judulnya. Cerita tentang kritik sosial dipadati dengan dialog (yang sebagian dinyanyikan) yang cerdas. Balutan lagu dan humor malah menjadikan kritiknya semakin nyaring! Dan satu hal yang paling gue suka dengan teater panggung, yang juga menjadi kelebihannya, adalah improvisasi-improvisasi di sana sini oleh pemerannya, baik di dalam dialog maupun dalam gerak, yang terkait dengan topik-topik aktual yang baru saja terjadi. Celetukan atau tambahan pendek dan sekilas dalam dialog yang menyentil berita/gossip terbaru dimungkinkan dalam teater. Hal ini yang ngga mungkin kita dapati di dalam sebuah karya film.

Onrop Perdana 02


Kemasan dan bertaburnya bintang panggung ONROP kali ini juga menjadikan teater sebagai tempat keren terbaru di Jakarta. Banyak yang penasaran dengan karya terbaru dari Joko Anwar, sebagian lagi pingin mendengarkan musik yang dikreasikan Aghi-Bemby-Mondo, dan sebagian lagi juga penasaran seperti apa panggung musikal dengan aktor-aktor yang bernyanyi-nyanyi di dalamnya. Ditampilkan dalam gedung pertunjukan paling anyar di Jakarta juga bisa menjadi hal yang menarik penonton berbondong-bondong membeli tiketnya.

Mungkin pada awal penjualan tiketnya masih bisa pesan sambil santai dan pilih-pilih seats, namun setelah penampilan perdana, penjualan tiket di kantor produksi selalu ada antrian. Bahkan penjualan di loket tiket yang dibuka di depan gedung pertunjukan selalu sold out dalam hitungan menit.

Memang menjadi fenomena menarik ketika ONROP menjadikan teater sebagai sesuatu yang cool. Dan ONROP juga yang menjadikan teater sebagai tontonan menarik bagi semua kalangan masyarakat. Eksklusivitas teater sebagai tempat pengkultusan seni berhasil didobrak oleh produksi ini. Tapi kondisi ini juga sedikit melunturkan kesakralan tata tertib menonton teater. Pertunjukan teater yang pasti tepat waktu memerlukan kepatuhan penontonnya untuk datang hadir dan duduk beberapa menit sebelum lakon dimulai. Tidak ada toleransi bagi yang terlambat, kecuali baru akan diperbolehkan masuk auditorium pada jeda istirahat.

Berbagai kalangan masyarakat yang hadir juga membuat ketenangan dalam pertujukan teater menjadi sulit dijaga. Para penampil harus perform live on stage, tentunya membutuhkan konsentrasi khusus yang bisa saja terganggu dengan obrolan/celetukan penonton. Memang ada beberapa bentuk pertunjukan panggung yang formatnya bisa berinteraksi langsung dengan penontonnya, tetapi secara umum pertunjukan teater tidak melakukan hal itu. Agak sebel juga sih karena sempat duduk di sebelah/depan penonton yang cukup sering ngobrol ngebahas pertujukannya. Tapi di sisi lain, kondisi itu gue anggap sebagi resiko teater kembali menjadi milik semua kalangan.

Joko Anwar sekali lagi membuktikan bahwa berkarya tanpa berkompromi dengan pasar ternyata mampu menggugah pasar itu sendiri, dan bahkan menciptakan trend baru, yang bakal terus diperbincangkan dan diperbandingkan dengan karya-karya sejenis.

Onrop undangan

13 November 2010

MADAME X: Sebagai Produk Peradaban Sesuai Zamannya

madame-x

Judul:
Madame X

Sutradara: Lucky Kuswandi
Produser: Nia Dinata
Skenario: Khalid Kashogi, Agasya Karim
Penata Musik: Aghi Narottama, Bemby Gusti, Ramondo Gascaro
Penata Suara: Khikmawan Santosa
Penata Gambar: Roni Arnold
Penata Artistik: Eros Eflin
Penata Kostum: Tania Soeprapto, Isabelle Patrice
Penata Rias: Yoga Septa
Penata Tari: Rusdi Rukmarata
Penata Laga: Petruska Karangan
Efek Khusus Grafis Komputer: Harris Reggy

Para Pemeran:
Aming, Robby Tumewu, Vincent Rompies, Fitri Tropika, Ria Irawan, Joko Anwar, Saira Jihan, Marcel Siahaan, Titi DJ, Shanty, Sarah Sechan

Sinopsis:
Ketika Ibukota di sebuah negeri antah berantah terancam oleh kemunculan Kanjeng Badai dan partai politiknya yang militant dan homophobia, keselamatan negeri ini bergantung pada Adam, seorang penata rambut yang kemayu. Dengan kekuatan tas make-up dan peralatan dandan, juga perpaduan seksi antara seni bela diri dan gerak tari, adam haru mengalahkan Kanjeng Badai dan istri-istrinya dengan gemulai sebelum Kanjeng Badai memenangkan Pemilu. Akankah sepatu berhak tingginya berubah menjadi pantofel, riasan glitter-nya menjadi debu, atau celana kulitnya jadi celana kain? Ketika semua menjadi samara, hanya satu yang pasti: Adam harus memenuhi takdirnya sebagai seorang super hero Madame X, super hero pembela kaum minoritas.


madame-x tiket


Catatan:
Dari yang gue tau, kebudayaan adalah produk dari sebuah peradaban. Sebagaimana film yang juga adalah bentuk/ produk dari sebuah kebudayaan, maka sebuah film biasanya mencerminkan sebuah peradaban sesuai zamannya.

Sebagai contoh adalah film Madame X ini, gue melihat film ini adalah potret atau cerminan peradaban di Indonesia pada saat ini. Dengan cara penuturan komikal, film ini memuat banyak sekali potret sosial yang aktual.

'Gambar besar' dari film ini adalah tentang diskriminasi dan perlawanan terhadap diskriminasi. Yang paling utama adalah potret tentang diskriminasi atas perbedaan orientasi seksual. Dari mereka yang orientasi seksualnya didiskriminasikan dan dipinggirkan malah lahir super hero yang memiliki jurus pamungkas yang didasari dari tari tradisional.

Bagi penonton yang rajin mengikuti perkembangan berita-berita aktual dalam negeri, mestinya mampu menyerap semua satire yang disajikan dalam film ini. Dan bagi yang jeli pasti sadar sekali bahwa film ini tidak hanya sebuah komik satire tetapi juga merupakan suguhan satire yang padat sekali. Hampir setiap adegan adalah sebuah parodi dan sindiran dari kondisi aktual di Indonesia, termasuk tarian dan visualisasi menarikannya. Sindirian dalam film ini tak hanya dalam dialog tetapi juga disampaikan melalui visual.

Dengan cukup cerdas si penyusun cerita menggelar semua parodi dan sindiran menjadi suguhan komedi yang mengocok perut, bukan saja karena kelucuannya saja, tetapi juga karena sindirian-sindirannya. Dari film ini pula kita bisa mendapatkan gambaran apabila seorang transgender nantinya menjadi angel setelah meninggal dunia.

Bagi sebagian penonton bisa saja bakal terbengong-bengong dengan banyaknya dialog yang menggunakan bahasa gaul transgender Jakarta tingkat tinggi. Tapi hanya menyaksikannya begitu saja, tanpa memusingkan bahasa gaulnya dan satire yang disuguhkan,, film ini tetap bisa menghibur yang selain karena lucu juga karena adegan-adegan pertarungan super yang sudah tidak lagi muncul di layar lebar bioskop Indonesia mutakhir.

Mungkin bagi mereka yang termasuk golongan agamis puritan bakalan ‘gatal-gatal’ sepanjang menyaksikan film ini. Tapi inilah potret dari jaman kita sekarang, manusia yang diberikan kehendak bebas oleh Tuhan namun dikekang oleh sesamanya sendiri. Menurut gue boleh saja kita tidak setuju dengan pilihan dan orientasi mereka, tapi bagaimana pun mereka juga punya hak hidup yang sama dengan semua manusia.