tag:

27 January 2011

Seberapa Penting Apresiasi Penonton Film Indonesia terhadap Film dan Perfilman Indonesia

movie wall flickr



Seberapa Penting Apresiasi Penonton Film Indonesia
terhadap Film dan Perfilman Indonesia


Produksi film Indonesia semakin meningkat berpuluh kali lipat per tahunnya dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu. Namun apresiasi penontonnya merosot jauh, tidak berbanding lurus dengan jumlah film Indonesia yang tayang nasional di bioskop-bioskop.

Banyak hal yang bisa saja dipersalahkan atas menurunnya apresiasi penonton film terhadap film dan perfilman Indonesia. Beberapa di antaranya adalah: (1.) penurunan mutu produk film Indonesia; (2.) distribusi film Indonesia yang tergantung kepada 1 distributor saja; (3.) masih kurangnya jumlah layar bioskop untuk tayang film Indonesia; (4.) pendeknya masa tayang film Indonesia di bioskop; (5.) tema film Indonesia yang nyaris seragam; (6.) film Indonesia terlanjur mendapat stigma buruk dari sebagian penonton film di Indonesia; (7.) bajakan film yang melimpah, dan masih banyak lagi.

Dari hal-hal yang disebutin di atas itu hampir semuanya di luar kendali pelaku/pekerja film karena solusinya bergantung kepada kebijakan pemerintah dan penguasa negeri yang sebenarnya mendapat cukup pemasukan dari pajak dan cukai yang terkait dengan produksi film dan distribusinya.

Kalau kita berkutat berusaha mencari solusi untuk hal-hal yang di luar kendali tentunya bakal lebih banyak menguras energi. Dan untuk hal-hal yang solusinya bergantung kepada kebijakan pemerintah dan penguasa, mudah-mudahan kita semua masih bisa berharap akan adanya perbaikan seandainya nanti ada perubahan/pergantian rezim.

Di era informasi yang sangat terbuka seperti sekarang terpantau begitu menjamurnya komunitas penikmat film yang tersebar dan terus berkembang dalam dunia maya, mulai dari penonton film karena ‘rajin’ celingak celinguk di mall, penikmat film yang getol memantau perkembangan film mulai dari proses pre-production-nya, sampai penikmat film ‘tingkat tinggi’ yang asyik dengan film-film art-house non mainstream. Informasi dan diskusi dalam komunitas-komunitas penikmat film itu mampu menggiring kita untuk tidak lagi memperhatikan media-media informasi film yang konvensional seperti majalah cetak/online dan site bioskop online.

Namun dari jumlah yang banyak ternyata masih sedikit sekali yang merupakan penonton film Indonesia yang baik. Indikasi yang paling mudah adalah dari sedikitnya penonton yang menonton film Indonesia di bioskop-bioskop. Sedikitnya penonton yang datang di gedung bioskop juga disebabkan karena pendeknya masa tayang film Indonesia di bioskop-bioskop yang memiliki 2 sisi yang berlawanan; di satu sisi film Indonesia harus segera turun layar, istilah lain dari ‘dicabut dari peredaran’, karena dianggap sepi penonton dan terdesak film Indonesia lainnya yang antri untuk rilis di minggu berikutnya, di sisi lain film Indonesia mungkin belum sempat didatangi penontonnya karena terlalu pendek masa tayangnya di bioskop. Penonton film Indonesia masih perlu disodori banyak-banyak informasi mengenai film-film Indonesia yang akan/sedang tayang di bioskop. Andai film Indonesia punya masa naik layar lebih lama, mungkin jumlah penonton yang hadir di bioskop bisa lebih banyak lagi.

Kemungkinan besar setelah ‘lengser’nya film Indonesia dari posisi ‘tuan rumah di negerinya sendiri’, buruknya film dan perfilman Indonesia masih menjadi stigma yang melekat di kepala sebagian besar penikmat film di Indonesia. Masih sering terdengar cemoohan apatis, “apa sih bagusnya film Indonesia?!” Apabila kita coba mengambil contoh dari 82 judul film Indonesia yang rilis nasional sepanjang tahun 2010, yang ternyata layak dikategorikan sebagai film yang baik tidak sampai 20 judul, bisa menjadi ‘permakluman’ atas cemoohan tadi.

Nyaris ngga beda dengan perdebatan ‘mana lebih dulu telur atau ayam’, mengharapkan perbaikan revolusioner terhadap perfilman Indonesia sepertinya masih jauh dari kenyataan dan masih akan berputar-putar di permasalahan yang itu-itu saja tanpa sampai ke solusinya. Sedangkan karya film sebagai suatu karya seni budaya tetap perlu ditonton untuk diapresiasi. Keputusan produser untuk segera merilis filmnya ke dalam format home video (VCD/DVD) supaya bisa menjangkau penonton lebih luas yang tidak terjangkau gedung bioskop (termasuk logika yang salah mengenai peruntukan format home video dari sebuah film), ternyata selain merusak bentuk apresiasi film yang optimal dilakukan di bioskop, juga malah membuka celah pembajakan terhadap film itu sendiri.

Penonton yang katanya lebih terdidik tentang film, khususnya film-film produksi Amerika dan Eropa, ternyata sedikit sekali yang mau ‘menurunkan level pendidikan filmnya’ apabila bersinggungan dengan film-film Indonesia. Mereka masih terlalu tinggi dalam mengekspektasi sebuah karya film Indonesia. Mungkin sebagian dari mereka lupa bahwa film adalah juga bagian dari kebudayaan sebuah bangsa yang pastinya unik dan berbeda dengan kebudayaan bangsa-bangsa lainnya.

Ekspektasi dan selera memang sulit untuk diukur dengan pasti. Tapi dengan banyaknya komunitas penikmat film yang bertebaran itu mungkin masih bisa dijadikan sarana untuk menyampaikan informasi sebanyak-banyaknya mengenai film-film Indonesia yang akan/sedang tayang. Dengan informasi yang banyak itu paling tidak sedikit mampu ‘mengarahkan’ ekspektasi yang bakal muncul sebelum menentukan pilihan dan menyaksikan filmnya.

Ada juga gejala aneh dari sebagian penonton film: dengan informasi yang ada malah jelas-jelas memilih film Indonesia yang dikategorikan ‘kelas B’ (atau bahkan mungkin C atau D) sebagai hiburan. Mungkin di satu sisi film semacam itu bisa dianggap sebagai hiburan (meskipun hiburan yang absurd menurut gue), tapi dari sisi produksi film Indonesia yang serius dan sungguh-sungguh, gejala ini bisa menjadi kontra produktif bagi perfilman Indonesia karena produser film-film kategori kelas B ke bawah akan tetap giat berproduksi dengan claim bahwa filmnya tetap ditonton di bioskop. Lebih baik serahkan saja ‘apresiasi’ film-film semacam itu kepada media-media berita hiburan, karena dengan hadirnya kita menonton film semacam itu di bioskop sama saja dengan mendukung produksi filmnya.

Memang ada juga pernyataan dari salah satu pekerja film Indonesia bahwa tidak bisa berharap banyak dari komunitas penikmat film dari segi jumlah penonton, meski mendapatkan tanggapan yang positif dalam bahasan dan diskusi sebelum peluncuran, tetap saja belum bisa mendongkrak pembelian tiket di bioskop dalam masa tayang yang pendek itu. Yang agak terlihat seru ‘apresiasi’nya biasanya hanya di ajang nonton bareng gratis yang juga bagian dari promosi.

Mungkin saat ini jumlah penonton masih belum bisa dijadikan indikasi tingginya apresiasi, meski cukup menentukan balik/tidaknya ongkos produksi. Langkah yang paling cukup jelas bisa dikerjakan adalah meningkatkan kepedulian (awareness) terhadap film dan perfilman Indonesia. Cara praktisnya dengan terus menyediakan informasi sebanyak-banyak tentang film Indonesia, baik itu film yang akan/sedang tayang di bioskop dan juga informasi film Indonesia klasik yang pernah jaya pada jamannya.

Komunitas-komunitas penikmat film yang pada dasarnya bergerak secara independen mestinya mampu menggalang gerakan kepedulian terhadap film dan perfilman Indonesia, minimal dengan secara berkala mengadakan nonton bareng film Indonesia yang bermutu langsung ke bioskop (ngga nunggu bajakan atau donlotan atau versi online-nya). Kepedulian sekecil apa pun terhadap film Indonesia mampu memberi nafas bagi pekerja film Indonesia untuk terus berkarya dan meningkatkan karyanya.