tag:

25 December 2009

BUNIAN: Film Horor dari Sutradara Film Slasher Terkenal

Image and video hosting by TinyPic

Judul:
Bunian

Sutradara:
Mochammad ‘Kimo’ Stamboel

Penulis:
Kimo Stamboel, Virra I.Dewi

Para Pemain:
Ferry Tobing, Martia Susanto, Ananias Lukitoadi, Virra Dewi, Mitchell Hutabarat, Vanee Sukardi, Karina Mahalia, Alam Sultroni, Audrey Meirina, Revelino Gerungan


Plot:
Andra, seorang mahasiswa Indonesia jurusan jurnalistik di Sydney, tengah mencari tempat tinggal baru dan tinggal bersama orang-orang baru. Tapi justru membawanya ke dalam pengalaman yang tak terbayangkan.

Hari-harinya selalu diisi dengan persahabatan dan percintaan yang romantik dan mendebarkan. Namun yang mengerikan adalah di rumah barunya itu sering muncul penampakan-penampakan mahkluk halus yang sangat mengganggu kehidupan dan jiwa serta menimbulkan konflik antara teman-teman dan hubungan percintaannya.

Teman-teman kampus Andra berusaha menolongnya mengungkap fakta dari semua kejadian tragis ini meskipun tak semudah yang mereka duga sebelumnya.


Catatan:
Setelah selesai nonton lagi kompilasi Takut a.k.a Faces of Fear via DVD (pilihan film yang aneh untuk liburan Natal :D ) gue kepengen banget ngerapihin dan nyortir koleksi home video (VCD/DVD) yang legal (kalo orang lain bilangnya ‘original’, padahal kagak janji original lah kalo pake disensor segala :( ). Alhasil gue sempet ‘diselimuti’ debu-debu bintang…..eh debu-debu kotor lah untuk beberapa jam berikutnya.

Dimulai dari sekitar televisi dan DVD player-nya dengan langkah pertama mengeluarkan semua home video yang ‘nyantol’ di sekitar situ. Di antara VCD itu, gue koq tertarik ngeliatin salah satunya yang berjudul ‘Bunian’ dan…….ternyata sutradaranya adalah Mochammad ‘Kimo’ Stamboel!

Wow, ini VCD lama yang biasanya ‘nyangkut’ aja di sekitar DVD player yang pastinya kalo di rumah selalu di depan mata gue! Dan memang belom pernah gue tonton! Gue tonton deh, sambil nyambi nyortir dan bersih-bersih dikit-dikit (mohon maaf kepada Kimo karena kali ini saya nonton ngga 100% serius film anda :D ).

Sejak awal mulai gue malah banyak senyum-senyum nonton film ini. Bukan karena di film ini banyak lucunya (sekalipun ada beberapa bumbu humor di sana-sini, terutama si gay flatmate) tapi lebih karena ‘kelucuan’ merhatiin karya awal dari seorang sutradara yang nantinya bikin duo sutradara Indonesia yang paling terkenal (emang belom pernah ada kan sutradara Indonesia yang duo seperti Mo Brothers). Belum lagi ada penampilan singkat dari ‘calon’ pasangannya Kimo di satu adegan. Dan kayaknya sih setiap karya pertama seorang sutradara biasanya ‘lucu’.

Yang menarik, sekalipun ini adalah karya awal, Kimo cukup sukses bikin cerita yang ngga cupu. Jangan mulai untuk menilai film ini dari sisi teknis, karena film ini beneran masih sebuah karya awal. Tapi untuk cerita horror, film ini sukses menggiring gue untuk terus nonton sampai selesai (sekalipun urusan nyortir home video jadi keteter) dan dalam beberapa scene cukup bikin gue merinding.

Semuanya sih tipikal gimmick film-film horror yang sudah ada, engga ada yang baru. Tapi Kimo mencoba menyampaikan subyek horror yang belom pernah saya tahu sebelumnya. Thriller dan suspense-nya lumayan bikin serem. Ada sih bagian yang ngga masuk akal gue, tapi karena ini film horror ya buat apa dipikirin juga, kan?! Ending bukan tipikal ending film horror Indonesia, tapi sekalipun setting dan shooting di Sydney, justru ceritanya horror Indonesia sekali.

Jadinya gue penasaran seperti apa kalo aja kapan-kapan Mo Brothers mau bikin film horror yang bukan slasher.

18 December 2009

AT THE VERY BOTTOM OF EVERYTHING: Penyelaman Visual Sebuah Penderitaan



Judul:
At The Very Bottom of Everything
(Di Dasar Segalanya)

Sutradara:
Paul Agusta

Penulis Skenario:
Paul Agusta, Kartika Jahja, Leon Agusta


Para Pemeran:
Kartika Jahja, T. Rifnu Wikana, Bianca Timmerman, Nadia Rachel, Primawan Luqman Hakim, Tejo Aribowo, Azalea Vinny R., Rainer Oktovianus, Keke Tumbuan, Devianto Oey, Adityo

Plot:
Seorang wanita duduk di sebuah kamar yang cerah. Dengan tenang ia menyalakan sebatang rokok dan berbicara pada kamera. Dia mulai bercerita mengenai pengalaman terakhirnya saat penyakitnya, Bipolar Disorder, meradang dan perjuangan hidupnya menghadapi penyakit yang telah menghantuinya itu sepanjang hidupnya. Ketika ia berbicara, kita bisa melihat ke dalam benaknya. Penderitaannya tercermin saat segala luapan emosinya diinterpretasi secara visual—sebuah perjalanan surealis yang membawa penonton masuk ke alam pikiran seseorang yang terganggu dan menderita trauma.


Catatan:
Dapat kesempatan untuk ikutan screening film ini sebenernya cukup mendadak sih. Secara kan gue aktivis sebuah komunitas, bukannya wartawan film/hiburan, jadinya sempet terkaget-kaget disodorin undangan screening via e-mail (forwarded e-mail tepatnya). Yang bikin penasaran adalah screeningnya diadain di Kineforum TIM. Biasanya kalo film screening di Kineforum ada ‘sesuatu’ dalam filmnya, selain memang tempat untuk menayangkan film-film non mainstream pasar Indonesia dan produk-produk mahasiswa IKJ.

Karena rada mendadak, gue cuma sempat baca judulnya aja. Tapi sempet sih sekilas baca bahwa ini film kedua dari sutradara yang pernah membesut film thriller indie ‘Kado Hari Jadi’. Yah gue cuma pernah denger judulnya tapi belom pernah nonton filmnya.

Jadwal screening-nya memang rada aneh, jam dua siang. Setau gue biasanya di Kineforum jadwal screening itu jam tujuh sore. Ngga ngerti juga sih, mungkin lebih enak ngumpulin orang-orang pas jam dua siang (setelah lunch) dan juga ngga ‘tabrakan’ schedule dengan dua film calon box office yang sedang tayang luas di Indonesia.

Kalo sepintas liat dari sedikit gambar yang gue dapet via e-mail, terbayang bahwa film ini tergolong eksperimental dan juga dikategorikan ke dalam art-house movie. Tapi ternyata bayangan gue ngga sepenuhnya benar.

Mungkin dari sisi visualisasi, boleh aja film ini dikategorikan eksperimental. Temanya pun tidak umum, bahkan setau gue belom pernah disentuh oleh sineas film Indonesia lainnya. Tapi menurut gue yang paling ngga suka mengotak-kotakan genre/kategori sebuah film ato karya seni lainnya, film ini ya sebuah film yang merupakan media yang digunakan sang sutradara untuk berekspresi dan menyampaikan sesuatu. Jadinya ngga ribet kan, nonton aja sampai selesai.

Film ini ingin bercerita tentang penyakit Bipolar Disorder. Tetapi tidak seperti film lain yang juga pernah mengangkat tema tentang penyakit tertentu (penderitaan si pasien dan bagaimana menanganinya), film yang dalam bahasa Indonesia berjudul ‘Di Dasar Segalanya’ ini berusaha menyampaikan bagaimana rasanya mengidap penyakit yang dulunya disebut Manic Depressive secara visual. Film ini berusaha memvisualisasikan bagaimana rasanya menderita penyakit Bipolar Disorder (yang ternyata dapat dibawa secara genetik), bukan dari fisik penderitanya, tapi dari sisi pikiran dan perasaan penderitanya saat penyakit itu sedang akut parah!

Mungkin cara memvisualisasikannya bisa dikategorikan sebagai film eksperimental, dengan animasi stop motion (menggunakan patchwork dan silicon), aktor minim dialog dalam visual hitam putih, bahkan dengan menampilkan nudity dan gore di beberapa segmen. Tapi mungkin cara seperti itulah yang paling cocok dan paling mendekati untuk menggambarkan seperti apa yang dirasakan penderita Bipolar Disorder.

Film ini mengingatkan gue dengan visualisasi film The Cell. Mungkin letak persamaannya adalah kedua film ini sama-sama menyelami dan memvisualisasikan pikiran dan perasaan seseorang (The Cell menyelami pikiran dan mimpi seseorang). Tapi tentunya visualisasi dalam The Cell tidak sekelam dan sedepresif At The Very Bottom of Everything ini. Sekalipun visualisasinya ngga secanggih The Cell, gue melihat ‘perjuangan’ (secara fisik dan ide) dalam kerja visual film kedua besutan Paul Agusta ini.

Buat gue film ini cukup berhasil membuat gue depresif sepanjang menontonnya. Jujur aja, gue ‘enjoy’ ngikutin film ini sampai selesai. Sekalipun dengan ending yang cukup ‘terang’ tapi gue jadi ngga berani ngebayangin seperti apa sebener-benernya menderita penyakit Bipolar Disorder itu.

16 December 2009

PUBLIC ENEMIES: Who is The Real Public Enemy?



Title:
Public Enemies

Director:
Michael Mann

Writers:
Ronan Bennett, Michael Mann

Casts:
Johnny Depp, Stephen Dorff, Channing Tatum, Christian Bale, Billy Crudup, Marion Cotillard, Giovanni Ribisi, Bill Camp, Stephen Graham, Leelee Sobieski

Plot:
The difficult 1930s is a time of robbers who knock over banks and other rich targets with alarming frequency. Of them, none is more notorious than John Dillinger, whose gang plies its trade with cunning efficiency against big businesses while leaving ordinary citizens alone. As Dillinger becomes a folk hero, FBI head J. Edger Hoover is determined to stop his ilk by assigning ace agent Melvin Purvis to hunt down Dillinger. As Purvis struggles with the manhunt's realities, Dillinger himself faces an ominous future with the loss of friends, dwindling options and a changing world of organized crime with no room for him.

Note:
Sejak awal merhatiin produksi film ini, gue selalu ngga sabar untuk bisa sampai nonton film ini di bioskop. Gue ngga sabar kepingin ngeliat idola gue, Johnny Depp, ‘merekonstruksi’ kehidupan John Dillinger yang melegenda. Kebetulankah kesamaan inisial nama mereka berdua? Ngga terlalu penting sih, kecuali kita pingin mendramatisir kemaha bintangan Depp dikaitkan dengan legenda Dillinger. Tapi secara personal, gue amat sangat memuja kharisma seorang Johnny Depp sebagai aktor eksentrik yang dapat dipastikan sebagai cast yang tepat untuk memerankan bandit karismatik sekelas John Dillinger.

Cerita tentang legenda John Dillinger membuat ingatan gue terbang ke puluhan tahun yang lalu waktu pertama kali gue nonton film ‘Dillinger’ produksi 1973. Nontonnya sih di TVRI, mungkin di awal 80an. Jujur aja, gue ngga terlalu ingat dengan detail jalan cerita film itu. Tapi satu hal yang selalu gue ingat bahwa Dillinger adalah seorang bandit perampok bank nomor wahid yang kharismanya melebihi vokalis rock band mana pun! Dan gue ngga pernah lupa betapa ‘mengerikannya’ Dillinger saat ‘memperkenalkan diri’ kepada teller bank yang akan dirampoknya, dia pasti bilang begini, “My name is John …John Dillinger!” sambil mendobrak jeruji loket teller lalu menodongkan pistolnya.

Sekalipun ngga mirip sama sekali dengan John Dillinger (aktor Warren Oates dalam ‘Dillinger’ (1973) adalah pemeran John Dillinger yang paling mirip), tapi Depp membuat gue bergidik karena berhasil memancarkan kharisma Dillinger yang sama seperti dalam film ‘Dillinger’. Bahkan Depp’ Dillinger jauh lebih brutal!

Michael Mann ngga tanggung-tanggung dalam visualisasi kebrutalan Dillinger. Bahkan tata kameranya membuat gue seolah-olah berada di tengah-tengah keadaan kacau dalam salah satu peristiwa tembak menembak. Mungkin saja kejadian aslinya tidak seseru yang digambarkan dalam film, namun dengan tata kamera seperti itu, gue jadi bisa ikut merasakan ketegangan setiap orang yang terlibat dalam proses penyergapan dan baku tembak.

Kebrutalan mungkin hanya salah satu sisi pribadi seorang John Dillinger. Di sisi lain pribadinya, gue bisa melihat sosok gentleman yang amat sangat menyayangi dan menjunjung tinggi perempuan (semua gangster di US sepertinya berprinsip sama ya). Menurut kisah legendanya, Dillinger selalu dikelilingi dan disayangi oleh perempuan-perempuan. Dan hebatnya Dillinger, dia selalu sulit dijebak dengan wanita sebagai umpannya, sekalipun sempat mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan perempuan yang dikasihinya.

John Dillinger tidak pernah lemah, selalu percaya diri sekaligus mampu membuat orang-orang di sekelilingnya juga menjadi percaya diri. Kelompok Dillinger menjadi target operasi nomor 1 bagi FBI pada masa itu karena sangat sulit ditangkap dan ditumpas. Karena sudah ‘kehilangan akal’ dalam usaha menumpasnya, FBI di bawah agen lapangan Melvin Purvis akhirnya melakukan segala cara untuk menjatuhkan Dillinger. Huh, siapa yang akhirnya jadi Public Enemies di sini?

13 December 2009

HEART-BREAK.COM: ‘Adaptasi’ dari Reality Show TV Indonesia



Judul:
Heart-Break.Com

Sutradara:
Affandi Abdul Rahman

Skenario:
Syamsul Hadi

Para Pemeran:
Raihaanun Soeriaatmadja, Ramon Y. Tungka, Richa Novisha, Gary Iskak, Sophie Navita, Ananda Omesh, Lukman Sardi, Jajang C. Noor

Catatan:
Pernah denger ungkapan ‘fiksi harus lebih real (nyata) daripada realita’?? Gue udah lupa siapa yang bilang, tapi yang gue tau bahwa ungkapan itu ‘dianut’ oleh banyak story-teller untuk dapat menyampaikan cerita karangannya dengan sebaik-baiknya sehingga diterima (baca: dipercaya) pendengar/pembacanya. Bahasa sononya: make believe.

Dan hal itu ngga beda juga dengan para penulis skenario dan sutradara (termasuk editornya) dalam sebuah produksi film. Merekalah yang harus bisa bertutur dengan baik sehingga penonton filmnya ikut masuk dalam dunia yang mereka ‘ciptakan’.

Entah terinspirasi atau tidak, film ini menyampaikan kasus percintaan yang umum terjadi di dunia nyata (kasus patah hati karena pacar direbut pihak ketiga) dengan tawaran ‘solusi’ yang gayanya mirip-mirip dengan beberapa tayangan ‘reality show’ di televisi (jangan ngaku kalo nggak pernah nonton ya! Minimal 1 kali kan?!).

Tapi sekalipun heart-break.com diceritakan sebagai dramatisasi salah satu kasus yang ditangani, tapi penonton diberikan banyak sekali visualisasi kerja dan seluk beluk sebuah lembaga intelijen, yang meski ‘hanya’ menangani kasus patah hati, tapi lembaga ini bekerja dengan perencanaan yang matang dan memperhitungkan semua aspek. Bahkan tidak setengah-setengah dalam mempersiap agen-agen lapangannya. Bahkan gue pun sempet sedikit terkecoh.

Sambil melihat adegan-adegan perencanaan dan eksekusi agen-agen heart-break.com di lapangan, gue terbayang beberapa episode tayangan reality show di televisi Indonesia. Yah ngga bisa dihindari sih. Dan juga menjelaskan bahwa kita sudah tidak perlu lagi memperdebatkan orisinalitas sebuah ide (kecuali memang jelas-jelas meniru/menjiplak). Namun dengan penggambaran yang tidak terlalu rumit, heart-break.com cukup bisa membuat gue percaya bahwa lembaga itu lebih nyata.

Sutradaranya cukup bernyali mengarahkan talenta-talenta muda dalam film keduanya ini, sekalipun bukan wajah-wajah baru sama sekali. Dan hasilnya tidak jelek, cukup enak dalam membawakan perannya. Yang perlu dicatat di sini adalah karakter Wawan yang sepertinya sengaja dijadikan ‘scene stealer’ tapi juga sekaligus sebagai pusat dari beberapa adegan-adegan lucu. Pemerannya, Ananda Omesh, seperti diberikan kebebasan dalam berimprovisasi dalam perannya.

Sekalipun berbeda tema dengan film pertamanya, patut diacungi jempol kepada Affandi Abdul Rahman atas keberaniannya menyutradarai sebuah film bertema ringan namun melawan ‘rutinitas’ tema film-film Indonesia mutakhir.

HARRY POTTER AND THE HALF BLOOD PRINCE: Sampai Ketemu di Seri ke 7



Title:
Harry Potter and the Half Blood Prince

Director:
David Yates

Writers:
Steve Kloves

Cast:
Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson, Jim Broadbent, Elarica Gallacher, Robbie Coltrane, Michael Gambon, Maggie Smith, Alan Rickman, Bonnie Wright, James Phelps, Oliver Phelps, Julie Walters, Mark Williams, David Thewlis

Plot:
In the sixth year at Hogwarts School of Witchcraft, and in both wizard and muggle worlds Lord Voldemort and his henchmen are increasingly active. With vacancies to fill at Hogwarts, Professor Dumbledore persuades Horace Slughorn, back from retirement to become the potions teacher, while Professor Snape receives long awaited news. Harry Potter, together with Dumbledore, must face treacherous tasks to defeat his evil nemesis.

Note:
Berhubung sudah kadung ngikutin saga novelnya sejak awal, kisah saga di filmnya menjadi wajib juga gue ikutin. Secara jujur sih, gue nonton filmnya dulu (episode Philosopher Stone) baru kemudian tertarik ngikutin novelnya. Dan sejak itu ‘penyakit’ perbandingan novel – film jadi nggak terhindarkan.

Tapi gue selalu punya ‘resep’ khusus untuk meredam ‘penyakit perbandingan’ itu dengan mengingat-ingat pada ‘kasus’ film-film Batman karya Tim Burton yang semuanya tidaklah linier dengan cerita Batman yang pernah ada pada komik-komiknya, bahkan Tim Burton cenderung membuat realm sendiri untuk Batman versinya. Tentunya tidak melanggar pakem-pakem cerita Batman yang sudah ‘baku’.

Berbeda lagi dengan ‘kasus’ Angels and Demons yang berusaha dituangkan menjadi tight-packed thriller action movie dengan banyak menghilangkan cerita-cerita ‘sebab’ yang bisa menciptakan thriller tertentu pada novelnya.

Nah dalam Harry Potter’ Saga, dengan mengingat 2 ‘kasus’ yang gue sebutin sebelumnya, pastinya gue meredam ekspektasi dan ‘penyakit perbandingan’ serendah-rendahnya. Dan sejauh ini, sebagus apapun adaptasinya ke layar lebar, hanya 2 film pertama Harry Potter’ Saga yang mampu membawa aura novelnya dengan pas.

Tapi khusus dalam film installment ke 6 ini gue cukup mendapatkan aura gelap seperti yang disampaikan novelnya. Sekalipun ada sedikit kekecewaan gue dalam beberapa visualisasi adegan yang ga sesuai imajinasi gue (karena ‘penyakit perbandingan’), tapi gue menangkap aura yang tidak mengenakkan, sama seperti saat gue nonton film-film sekuel ‘jembatan’, seperti The Empire Strikes Back (Star Wars Episode V), Attack of The Clones (Star Wars Episode II) dan Matrix Reloaded, menuju film konklusinya. Film-film sekuel ‘jembatan’ ini punya ending yang tidak ‘ended’. Sama seperti yang gue dapat di Harry Potter and The Half Blood Prince ini.

Sekalipun pengungkapan siapa The Half Blood Prince tidak sedramatis di novelnya, perasaan gelap, kosong dan gelisah bisa gue dapat seperti saat membaca novelnya. Ending yang berbeda dengan novelnya (yang menurut gossip ending novel ke 6 bakal jadi prolog di film installment ke 7) malah ga bikin gue kecewa. Ending film ini makin bikin perasaan gue kosong dan kehilangan.

Sampai ketemu di seri ke 7.