tag:

27 September 2011

Ritual Mudik Membosankan?

“Bosen deh liat tiap tahun begitu terus!” Itu komentar Ibu saya terhadap ritual mudik yang selalu terjadi di Indonesia setiap tahunnya menjelang Idul Fitri. Beliau memang bukan yang berkepentingan dengan mudik karena beliau bukan pemudik. Beliau memang tidak punya kampung halaman karena sejak lahir ‘terpaksa’ besar dan hidup di Jakarta. Dan saat menikah dengan almarhum Ayah saya pun, Ibu saya ‘terbebas’ dari kewajiban mudik ikut suaminya karena Ayah saya memang tidak khusus membiasakan dirinya untuk mudik saat menjelang Idul Fitri karena satu dan lain hal.

Sejak kecil hingga sekarang, Ibu saya selalu pada posisi sebagai penonton ‘acara’ ritual mudik. Dan beliau adalah penonton yang baik, yang selalu mengikuti perkembangan ritual mudik dari tahun ke tahun. Meski sebatas penonton, tapi beliau pernah cukup aktif memikirkan strategi mudik dan efek turunannya saat di rumah kami masih menggunakan jasa pembantu rumah tangga.

Tetapi yang disebut sebagai ‘membosankan’ dari sebuah ritual mudik menurut Ibu saya adalah segala bentuk keribetan, kehebohan, kesemrawutan yang selalu terjadi setiap tahunnya pada setiap aspek yang menyangkut dengan proses mudik menjelang hari raya. Dan segala bentuk keribetan, kehebohan, kesemrawutan itu tidak pernah berangsur membaik. Jangankan ada terobosan solusi revolusioner untuk mengatasinya, menurut ‘pengamatan’ Ibu saya sebagai penonton, setiap tahunnya semua aspek mudik selalu berangsur memburuk, terutama sarana dan prasarana transportasinya, termasuk pelayanan transportasi massalnya.

“Kenapa sih tetep pada mau ribet mudik kayak gitu?” Nah pertanyaan ini terlontar dari Ibu saya, antara sebel dan/atau sebenernya beliau jatuh kasihan terhadap para pemudik itu. Saya percaya Ibu saya pasti kasihan terhadap para pemudik yang setiap tahunnya rela repot bin ribet untuk melakukan perjalanan yang waktu tempuhnya bisa jadi 3 kali lebih lama dari pada waktu tempuh normal dengan tiket angkutan yang mahal, atau kepada mereka yang niat banget (kalo ngga mau dibilang nekad) mudik memanfaatkan sepeda motor.

Mudiknya sih ngga salah. Pulang adalah hal yang paling menyenangkan bagi setiap manusia normal. Jangankan pulang kampung, pulang ke rumah setiap hari setelah beraktivitas mustinya juga jadi hal yang menyenangkan. “Home is the where heart is” begitu kata orang bijak. Makanya keinginan pulang alias mudik janganlah sampai dibatasi apalagi sampai dilarang. Kalo sampai ada pelarangan mudik pastinya adalah sebuah bentuk pelanggaran hak azasi manusia.

Tradisi mudik pun ternyata juga ada koq di negara maju seperti Amerika Serikat. Masyarakat di Amerika Serikat banyak yang mudik pada masa liburan Thanksgiving dan juga liburan Natal dan menyambut Tahun Baru. Tapi apakah ada yang pernah dengar kalo tradisi mudik di sana seseru mudik di Indonesia? Seru mungkin, tapi ngga semrawut lah.

Kenapa ribet mudik di Indonesia? Kenapa heboh? Kenapa semrawut? Estimasi jumlah pemudik secara Nasional pada tahun 2011 adalah 15,5 juta jiwa dan dari jumlah itu diperkirakan sebanyak 7,1 juta jiwa mudik dari Jakarta. Angka itu selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah 15,5 juta jiwa memang hanya sekitar 6,4 persen dari total 241 juta jiwa penduduk Indonesia. Tapi kalo sejumlah itu bergerak dalam waktu yang hampir bersamaan dalam waktu 7 hari (dan arus balik pada 7 hari sesudah Idul Fitri), dan apalagi nyaris separuhnya bergerak dari Jakarta, sudah pasti bikin heboh ya.

Sesuai pantauan yang ada, proses mudik terjadi di seluruh Indonesia. Semua kota besar di tiap provinsi di Indonesia pasti mengalami proses eksodus sebagian penduduknya pada saat menjelang Idul Fitri. Tapi mungkin karena nyaris separuh jumlah pemudik Indonesia bergerak mudik dari Jakarta, maka ritual mudik selalu heboh setiap tahunnya.

Dari jumlah 7,1 jiwa pemudik yang akan bergerak dari Jakarta dalam waktu lebih kurang 7 hari, mulai H minus 7 sebelum Idul Fitri, yang mana sebagian besar memanfaatkan jasa transportasi massal yang ‘hanya’ didukung dengan 3 stasiun kereta api (Gambir, Senen, Jatinegara) dan sekitar 5 terminal bus antar kota (Kalideres, Grogol, Lebak Bulus, Kampung Rambutan, Pulo Gadung). Ngga usah ditanya lagi kepadatan manusia yang berkerumun siap diberangkatkan di masing-masing stasiun kereta dan terminal bus tersebut. Cerita ini masih perlu dilengkapi dengan kepadatan di bandara dan pelabuhan laut, meski tidak seheboh proses mudik via jalur darat.

Lalu lintas yang macet pun selalu berulang, terutama pada ‘gerbang-gerbang’ keluar dari area Jabodetabek. Juga ditambah beberapa ruas jalan utama rute mudik dari Jakarta ke seluruh ujung Pulau Jawa. Dan rute jalan juga dipenuhi dengan beberapa kendaraan pribadi, carteran, sewaan, pinjaman yang ditambah lagi dengan ratusan sepeda motor dan bahkan bajaj! Kepadatan yang ditimpali dengan kehebohan membuat jatuhnya korban jiwa di rute mudik menjadi tak terelakan.

Sebagaimana mudik/pulang, merantau ke kota besar pun tidak boleh dilarang. Setiap orang punya hak untuk mengadu untung di mana pun dia mau. Urusan gagal dan lalu menjadi beban sosial itu hal lain lagi. Nah kira-kira kalo ada 7,1 juta jiwa mudik dari Jakarta, bisa disimpulkan pula bahwa sejumlah itu juga lah penduduk yang merantau ke Jakarta, termasuk keturunannya. Ada apa ya dengan Jakarta?

Menumpuknya perantauan di Jakarta karena kota metropolitan ini memiliki magnet ekonomi yang luar biasa, paling besar di antara kota-kota besar lainnya di Indonesia. Memang Jakarta adalah juga ibukota negara, tapi tidak setiap ibukota negara adalah kota yang padat dengan perekonomian yang berputar kencang. Contoh saja Washington, D.C, ibukota Amerika Serikat yang jauh kalah ramai dibandingkan New York dan Los Angeles. Atau Canberra, ibukota Australia yang jelas kalah ramai dibandingkan dengan Sydney.

Bisa jadi magnet ekonomi Jakarta ini terjadi karena pembangunan ekonomi yang tinggi dan cepat namun tidak merata sampai ke kota-kota besar lainnya di Indonesia. Silakan dicek saja bahwa semua fasilitas, sarana dan prasarana lengkap ada di Jakarta dan, ini yang paling penting, bermula di dan dari Jakarta. Dengan kelengkapan seperti itu, ngga heran kalo nyaris semua kantor dan pusat bisnis berada di Jakarta.

Saya masih ingat ada satu kawan yang usaha jualan pakaian anak-anak di salah satu ibukota provinsi di Sulawesi yang khusus ‘mengimpor’ barang jualannya dari toko kulakan di Mangga Dua dan Tanah Abang.

Saya juga pernah membaca riwayat perjuangan salah satu band terkenal yang mengirimkankan dua personilnya yang sedikit makannya (supaya irit ongkos dan konsumsi) untuk bersusah payah datang ke Jakarta demi menyampaikan rekaman demo band mereka kepada salah satu label rekaman besar.

Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan bahwa Jakarta adalah betul-betul magnet ekonomi yang besar, yang belum ada tandingannya dari kota besar lainnya di Indonesia. Tapi menurut saya jadinya Jakarta sebagai satu-satunya magnet besar ekonomi di Indonesia adalah sebuah kesalahan pembangunan.

Jakarta menjadi seperti itu bisa jadi karena kesalahan pembangunan pada masa rezim Orde Baru yang melaksanakan program pembangunan secara sentralisasi; seluruh Indonesia diberdayakan yang hasilnya ditarik dulu ke pusat pemerintahan, yang nota bene juga di Jakarta, baru kemudian dibagi-bagikan kembali. Selain cara sentralisasi ini tidak berasaskan keadilan, proses pengembalian hasil kembali ke daerah diperparah dengan korupsi yang menggerogoti jalannya dana tersebut. Belum lagi hasil pemberdayaan dari seluruh Indonesia nyata-nyata lebih menyuburkan pembangunan di Pulau Jawa yang kemungkinan karena pulau inilah asal dari sebagian besar penguasa puncak Indonesia pada masa itu. Pulau-pulau lain di Indonesia pun terabaikan.

Memang pada era reformasi setelah rezim Orde Baru tumbang sistem pembangunan sentralisasi digantikan dengan sistem desentralisasi yang diimplementasikan dengan apa yang disebut dengan otonomi daerah. Meski sampai sekarang belum ada hasil yang signifikan dari program otonomi daerah, minimal sudah ada permulaan untuk niatan pemerataan pembangunan.

Dari pembangunan yang merata, saya membayangkan minimal setiap ibukota provinsi memiliki kekuatan ekonomi yang mendekati kedigdayaan ekonomi Jakarta. Dengan begitu, magnet ekonomi Jakarta akan melemah karena terbagi ke ibukota-ibukota provinsi di seluruh Indonesia. Para pengadu nasib pun mungkin sudah tak perlu lagi jauh-jauh mempertaruhkan hidupnya sampai ke Jakarta karena ibukota provinsinya sudah cukup memadai. Lapangan pekerjaan bagi saudara yang asli dari Bandungan tersedia cukup di Semarang, tak perlu lagi berangkat naik bus 8 jam lebih untuk ke Jakarta, misalnya.

Perusahaan-perusahaan asing tidak ragu lagi membuka kantor pusatnya di kota lain selain di Jakarta karena infrastruktur yang tersedia sudah setara dengan yang ada di Jakarta. Pekerjaan sehari-sehari bisa didukung penuh dengan pemanfaatan teknologi informasi yang canggih (meeting via teleconference, misalnya), secanggih yang dimiliki Jakarta (meski yang ada di Jakarta pun belum dimanfaatkan maksimal).

Pemberdayaan putera daerah pun menjadi semakin optimal. Pendidikan beserta fasilitasnya yang lebih baik yang tersedia di seluruh Indonesia menjadikan putera daerah setempat cukup mampu mengelola daerahnya sendiri. Instansi-instansi pemerintah tak lagi perlu mengirimkan/menyebarkan pegawai-pegawainya dari pusat ke seluruh Indonesia untuk berkarir.

Andai itu semua terpenuhi, saya percaya bahwa urbanisasi terjauh hanyalah sampai ibukota provinsi masing-masing. Sekalipun tetap tidak boleh ada larangan untuk mengadu untung di Jakarta, tapi ngapain musti pergi jauh kalau apa yang dihasilkan hanya berselisih sedikit dengan yang dihasilkannya di ibukota provinsinya.

Urbanisasi yang sudah tersebar ke masing-masing ibukota provinsi membuat ritual mudik menjadi lebih longgar dan mudah-mudahan menjadi lebih nyaman. Dan mungkin saja karena lebih dekat, mudik ke kampung halaman tidak lagi perlu ditahan-tahan hanya untuk setahun sekali saja.

Dengan begini pengusaha angkutan massal tidak akan lagi aji mumpung menaikkan tarif tiket mudik setinggi-tingginya memanfaatkan musim mudik, yang seringkali membuat pemudik menguras dalam-dalam tabungan yang dikumpulkannya selama setahun. Pemudik mungkin tak perlu lagi berebutan tiket, mengantri berlama-lama sedari malam di depan loket tiket yang baru buka keesokan siangnya.

Mungkin juga angka kejahatan yang sering terjadi selama Ramadhan menjelang lebaran dapat ditekan karena semakin sedikit perantauan yang frustrasi karena belum punya dana untuk mudik sekeluarga dan berhari raya di kampung halamannya.

Dengan begitu, keribetan, keruwetan, kehebohan dan kesemrawutan ritual mudik di Indonesia setiap menjelang Idul Fitri dapat jauh diminimalisir. Dan Ibu saya tak lagi berkomentar, “Bosen deh liat tiap tahun begitu terus!”