tag:

24 May 2010

Saya dan Uptown Girl

Uptown girl
She's been living in her uptown world
I bet she's never had a backstreet guy
I bet her momma never told her why

I'm gonna try for an uptown girl
She's been living in her white bread world
As long as anyone with hot blood can
And now she's looking for a downtown man
That's what I am

And when she knows what
She wants from her time
And when she wakes up
And makes up her mind

She'll see I'm not so tough
Just because
I'm in love with an uptown girl
You know I've seen her in her uptown world
She's getting tired of her high class toys
And all her presents from her uptown boys
She's got a choice

Uptown girl
You know I can't afford to buy her pearls
But maybe someday when my ship comes in
She'll understand what kind of guy I've been
And then I'll win

And when she's walking
She's looking so fine
And when she's talking
She'll say that she's mine

She'll say I'm not so tough
Just because
I'm in love
With an uptown girl
She's been living in her white bread world
As long as anyone with hot blood can
And now she's looking for a downtown man
That's what I am

Uptown girl
She's my uptown girl
You know I'm in love
With an uptown girl




Sejak pertama kali liat video clip-nya di Top Pop series, jaman video cassette masih booming dulu, gue selalu cinta dengan lagu ini. Video clip-nya amat sangat menarik hati. Gayanya begitu asyik, yang ternyata terinspirasi dari gaya 60-an, pas dengan musiknya. Belom lagi dengan penampilan ‘bisu’ dari modelnya, Christie Brinkley, yang saat itu seolah jadi perempuan paling cantik sedunia.

Lagu ini nempel banget di kuping dan di kepala gue. Ngga heran waktu temen gue punya kaset lagu ini di dalam walkman-nya (gile ye, walkman masih pake kaset) gue langsung pinjem di tempat dan dengerin di situ! Ngga sadar gue sampai nyanyi keras-keras ngikutin lagunya. Sontak seisi rumah temen gue sampai nyari sumber suara keras gue, sementara temen gue sibuk colak colek gue supaya gue ngurangin volume nyanyi-nyanyinya. Ya maap, kuping ketutupan mana dengar suara luar! Sekalipun begitu, gue ngga malu tuh! Hahahaha

Menurut sumber yang gue pernah baca, lagu ini ditulis Billy Joel karena terinspirasi hubungan pacarannya dengan model Elle Macpherson. Tapi akhirnya malah terinpirasi hubungannya dengan model Christie Brinkley, yang akhirnya diperistri Billy Joel, setelah bubar pacaran dengan Elle Macpherson. Musiknya terinspirasi gaya doo-wop 60-an dengan gaya bernyanyi mirip Frankie Vallie, gaya dan musik yang pada tahun 80-an cukup melawan trend New Wave yang sedang mewabah waktu itu.

Gue ngga ketinggalan trend pada waktu itu, tapi lagu Uptown Girl seperti membimbing gue untuk menemukan akar musik gue. Ini terjadi sebelum gue mulai jatuh cinta dengan Rock N’ Roll, Blues dan Soul.

‘Selucu-lucu’nya band gue dulu ternyata sempat ‘terselip’ pengalaman seru ngebawain lagu ini, khusus untuk salah satu Pensi berbahasa Inggris, acara salah satu fakultas di Universitas Atma Jaya Jakarta. Sambutannya cukup meriah karena ternyata banyak juga di antara penonton yang kangen dengan lagu ini! Bertepatan banget dengan turning point band gue kembali tegak setelah ditinggal personil utamanya. Dan juga bisa dibilang band gue sempet mengembalikan hype lagu ini sebelum akhirnya booming mendunia lagi karena Westlife!



Cinta dengan versi orisinilnya ngga berarti gue jadi benci dengan remake-nya. Gue juga suka dengan versi remake-nya yang dibawakan oleh Westlife. Bedanya, kalo di versi orisinilnya gue suka banget dengan musik dan video clip-nya. Sedangkan di versi remake-nya gue lebih memahami lyric-nya, karena pada saat yang hampir bersamaan gue juga lagi jatuh cinta dengan ‘uptown girl’ beneran!

Iya tuh waktu itu pas bener gue lagi jatuh cinta dengan uptown girl. Namanya lagi jatuh cinta ya pasti seneng banget dah! Tapi karena merasa beda kelas, jadinya ngga pede deh. Sekalipun ngga pede, gue jadi makin cinta dengan lagu ini. Sekalipun tetep ngga pede, gue malah makin asyik ‘curhat’ nyanyiin lagu ini makin kenceng. Setiap kali gue inget dia, lagu ini terngiang kenceng banget di telinga gue.

Si uptown girl itu memang ngga pernah jadi pacar gue. Tapi dia menjadi bagian yang membuat lagu ini jadi semakin memorable buat gue.

12 May 2010

CLASH OF THE TITANS: Haruskah Diperbandingkan?

Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic



Karena kebiasaan gue telat nonton film-film yang ‘mengandung’ box office, maka sempat deh baca review film remake dari film tahun 1981 di sana sini. Dan juga karena gue ngga anti review dan spoiler ya hampir semua review yang ‘mampir’ gue baca deh. Dari semua itu, ngga sedikit reviewer yang menyatakan kecewa dengan hasil remake kali ini. Katanya, film remake ini ngga meninggalkan kesan apa-apa, ngga seperti film orisinilanya. Film remake-nya hanya sebatas seru-seruan aja. Belum lagi banyak juga yang mencerca visual 3 dimensinya yang menurut mereka ngga jadi beneran 3 dimensi (makasih buat James Cameron yang sudah sukses ‘merusak’ mata penonton bioskop :D ).

Untuk catatan-catatan mengenai visual 3 dimensinya memang bisa bikin gue mutusin untuk ngga menyaksikan film remake itu dalam versi 3 dimensinya. Tapi ceritanya tetep bikin gue penasaran. Jujur aja saat itu gue belom pernah nonton versi orisinilnya dengan sadar dan konsekuen! *apa sih*

Terus terang gue enjoy banget menikmati film remake garapan Louis Leterrier itu. Semuanya dibikin megah, penuh dengan aksi. Teknologi efek visual pun dimaksimalkan. Belum lagi iringan musik score yang cukup mendukung adegan per adegan. Dan di antara ‘keriuhan’ itu, gue menemukan inti cerita bahwa Perseus menjadi juru selamat meski diawali dari dendam membara. Kematian seluruh keluarga angkatnya membuat Perseus nyaris termakan habis dendam kesumat. Bahkan pertolongan Zeus nyaris ditolaknya mentah-mentah. Namun sisi manusiawi akhirnya membimbing Perseus untuk menumbangkan angkara murka yang dikendalikan oleh pamannya sendiri dan menyelamatkan seluruh semesta termasuk tahta Dewa Dewi di Olympus.

Pada dasarnya, cerita film remake itu sama dengan versi orisinilnya. Secara mendasar menceritakan perjalanan dan perjuangan Perseus untuk melawan angkara murka yang ‘diwakili’ oleh monster Kraken. Memang untuk beberapa karakter mengalami sedikit perubahan. Dan juga ada penambahan dan pengurangan beberapa karakter dari versi orisinilnya.

Perbedaan yang cukup jelas di antara kedua film ini adalah motivasi Perseus dalam usahanya menghancurkan Kraken. Dalam versi film orisinilnya, Perseus mati-matian dalam perjalanannya mencari ‘anti’ Kraken adalah rasa cintanya kepada Andromeda. Dan dalam perjalanannya itu Perseus juga harus berhadapan dengan Calibos yang merupakan kekasih asli dari Andromeda.

Cerita versi film orisinilnya merupakan adaptasi dari legenda/mitos Yunani kuno. Dan adaptasi yang terjadi bukanlah murni dari mitos Yunani saja karena monster Kraken berasal dari mitos Skandinavia. Nah di sinilah mungkin letak ‘celah’ cerita untuk kebebasan adaptasi untuk film remake-nya.

Mungkin saja penulis versi film orisinilnya memilih monster Kraken karena namanya terdengar lebih sangar dan secara fisik lebih mengerikan dibandingkan dengan monster Cetus, yang menurut mitos adalah lawan asli Perseus, yang fisiknya mirip ikan paus. Dan kalimat ‘Release the Kraken’ terdengar lebih keren sebagai pemuncak horror dan terror kepada dunia mitos Yunani.

Versi remake mengadaptasi kembali dengan lebih bebas dan lebih kekinian. Mungkin terinpirasi dengan kondisi bumi yang semakin terancam saat ini, sosok Perseus jadi lebih ‘ditinggikan’ sehingga menjadi penyelamat semesta. Dramatisasi cerita lebih didekatkan kepada aksi heroik perjuangan melawan semua halangan berupa monster dan sihir.

Drama yang indah dan dalam lebih terasakan dalam kisah film orisinilnya. Karena dasar cintanya kepada Andromeda yang membuat Perseus rela mempertaruhkan jiwa raganya menyongsong sorot mata Medusa demi senjata pemusnah Kraken.

Menurut gue, aksi seru dalam film versi remake tidak dapat dibandingkan secara terbuka dengan drama perjalanan kisah cinta pada film versi orisinilnya. Apalagi ceritanya sendiri bukanlah cerita yang orisinil dan murni dari mitos Yunani (bahkan Perseus bukanlah penjinak dan penunggang asli Pegasus!).

Gue mengakui kedua film ini adalah film yang bagus. Tapi gue membiarkan kedua film ini menjadi karya film yang berbeda. Mungkin bisa disamakan dengan cara gue ‘membedakan’ karya novel dengan adaptasi filmnya.

Bisa saja generasi muda sekarang bakal jauh lebih suka versi remake-nya karena berjalan dalam pace cepat dan cukup ketat dengan visual keren dibandingkan dengan versi orisinilnya yang pace-nya rada lambat dengan visual yang cupu (apalagi film orisinilnya rilis setelah Star Wars yang keren efek visualnya). Menurut gue sih silakan aja.

Demikian juga dengan generasi yang ‘lebih tua’ yang lebih menyukai drama perjalanan menuju kemenangan cinta dalam film versi orisinilnya. Itu juga ngga jadi masalah.

Yang jelas buat gue, kedua karya ini biarkan aja menjadi ikon sesuai dengan masanya. Karena karya film, sebagaimana karya seni lainnya, memiliki subyektifitasnya sendiri-sendiri.

03 May 2010

HOT TUB TIME MACHINE: 80s Rocks!



Title:
Hot Tub Time Machine

Director:
Steve Pink

Writers:
Josh Heald, Sean Anders, John Morris

Casts:
John Cusack, Clark Duke, Craig Robinson, Rob Corddry, Sebastian Stan, Lyndsy Fonseca, Crispin Glover, Chevy Chase, Charlie McDermott, Lizzy Caplan, Collette Wolfe

Plot:
Disappointed at the way their lives have turned out, four longtime friends reunite at the ski resort where they used to party and find themselves transported back to the year 1986 by a magical jacuzzi. Adam (John Cusack), Lou (Rob Corddry), Nick (Craig Robinson), and Jacob (Clark Duke) have all seen better days; Adam's and Nick's love lives are in the dumps, Lou is clinging to his hard-partying past, and video-game addict Jacob can't even muster the courage to walk outside. A fun stay at the ski resort where the gang made some of their best memories seems like just the thing to cheer everyone up, but after a night of heavy drinking in the hot tub, the four friends wake up to find they're about to live through the '80s a second time. Determined not to make the same mistakes twice, Adam, Lou, Nick, and Jacob decide to take full advantage of the unique opportunity presented to them, and create the lives they've always wanted.

Note:
Ide cerita sih ngga wajib untuk selalu orisinil dan gimmick juga hampir ngga ada yang orisinil. Nah ide cerita time travel dan gimmick 80s juga udah pernah ada yang pakai sebelumnya. Tapi kali ini keduanya digabung untuk memberi kesegaran tersendiri.

Bisa jadi penulisnya ngga cuma kepingin bikin cerita yang mengolok-olok kondisi warna warni tahun 80-an, tapi juga karena ada rasa rindu dengan era itu di mana semuanya masih lugu dan seru. Era 80-an tergolong era transisi identitas dari masa 70-an, yang ‘memapankan’ identitas generasi 60-an, menuju masa depan yang masih belum terjamah akal. Jadinya warna warni sekali dan ‘memaksa’ semuanya terlihat seolah sudah tiba di masa depan. Bagi yang pernah melaluinya pasti akan senyum-senyum geli mengingatnya.

Dengan ‘cerdas’ penulis menempatkan cerita di area rekreasi ski yang cukup terpencil hingga memudahkan membuat set waktu tahun 1986. Semua gimmick 80-an ditampilkan cukup frontal, dari kostum, musik dan ngga ketinggalan attitude. Banyak sekali gimmicks 80-an yang bikin ngakak.

Kelucuan film ini cukup berimbang antara gimmicks 80-an dengan kekonyolan semua karakter utamanya yang sebagian juga terkait dengan attitude pada masa itu. Cerita yang ngalir lancar-lancar aja ngga perlu bikin kening berkerut koq. ‘Bumbu-bumbu’nya udah cukup, ngga perlu dibikin ribet. Dan ngga lupa mereka juga memasang beberapa wajah yang cukup familiar, terutama bagi pecinta film-film drama komedi 80-an.

Sekalipun terasa lebih pas disaksikan oleh mereka yang pernah menikmati indahnya era 80-an, tapi daya hiburnya tetap maksimum.