tag:

15 January 2010

NEW YORK, I LOVE YOU: It is New York, It IS Love



Title:
New York, I Love You

Directors:
Fatih Akin, Yvan Attal, Allen Hughes, Shunji Iwai, Wen Jiang, Joshua Marston, Mira Nair, Brett Ratner, Randall Balsmeyer, Shekhar Kapur, Natalie Portman

Writers:
Hall Powell, Israel Horovitz, James C. Strouse, Shunji Iwai, Israel Horovitz, Hu Hong, Yao Meng, Israel Horovitz, Scarlett Johansson, Joshua Marston, Alexandra Cassavetes, Stephen Winter, Jeff Nathanson, Anthony Minghella, Natalie Portman, Fatih Akin, Yvan Attal, Olivier Lécot, Suketu Mehta

Casts:
Bradley Cooper, Natalie Portman, Shia LaBeouf, Blake Lively, Ethan Hawke, Justin Bartha, Orlando Bloom, Anton Yelchin, Hayden Christensen, Christina Ricci, Rachel Bilson, John Hurt, Robin Wright Penn, James Caan, Eva Amurri, Maggie Q, Drea de Matteo, Julie Christie, Andy Garcia, Chris Cooper, Qi Shu, Cloris Leachman, Eli Wallach, Olivia Thirlby, Jacinda Barrett, Burt Young, Taylor Geare, Irrfan Khan, Ugur Yücel, Emilie Ohana, Ashley Klein, Sinsu Co, Eliezer Meyer, Gary Cherkassky, Richard Chang, Jordann Beal, Cesar De León, Carlos Acosta, Gurdeep Singh, Amy Raudenbush, Juri Henley-Cohn, Jeff Chena, Eddie D'vir, Robert d Scott, Vedant Gokhale, Loukas Papas, Simon Dasher, Adam Moreno, Andy Karl

Plot:
In the city that never sleeps, love is always on the mind. Those passions come to life in NEW YORK, I LOVE YOU (rendition of 2006 PARIS, JE T'AIME) - a collaboration of storytelling from some of today's most imaginative filmmakers and featuring an all-star cast. Together they create a kaleidoscope of the spontaneous, surprising, electrifying human connections that pump the city's heartbeat. Sexy, funny, haunting and revealing encounters unfold beneath the Manhattan skyline. From Tribeca to Central Park to Brooklyn, the story weaves a tale of love as diverse as the very fabric of New York itself.

Note:
Gue paling jarang nonton film bergenre cinta romantis. Terakhir kali gue nonton film semacam itu adalah New Moon, itu pun karena nemenin Istri …..hehehehe. Dari sedikit film sejenis yang gue tonton, hanya beberapa yang boleh gue bilang beneran menyentuh hati; di antaranya Sleepless in Seattle, Moulin Rouge, Baz Luhrmann’s Romeo + Juliet dan City of Angels.

Kali ini gue malah ‘disodori’ kisah cinta yang banyak sekali dan hanya di kota New York. Dan kali ini pula gue semakin disadarkan bahwa yang namanya cinta itu luas sekali dan banyak sekali jenisnya! Dalam New York, I Love You gue menyaksikan kebesaran cinta justru dalam kesederhanaan sehari-hari.

Mungkin banyak yang belom kenal dengan budaya dan keseharian dari kota New York. Mungkin justru lebih banyak yang kenal dengan kerasnya kehidupan kota New York yang berjulukan ‘city that never sleeps’. Tapi dalam film ini tergambar kota New York dengan ciri ‘melting pot’nya yang menyentuh hampir semua sisi kehidupannya dari sudut pandang cinta. Ngga salah kalo dalam film ini beberapa di antara filmmaker-nya (sutradara dan penulis skenario) bukanlah ‘asli’ Amerika Serikat, melainkan dari India, Taiwan, China, Turki kelahiran Jerman, Israel dan Jepang!

Cinta di film ini ngga selalu digambarkan hanya untuk dua insan yang sedang jatuh cinta. Dengan cukup realis setiap cerita dalam film ini menggambarkan cinta yang bisa saja hadir dalam keseharian; persahabatan, cinta orang tua kepada anaknya, selingkuh, cinta pasangan lanjut usia, twist cinta sepasang suami istri, bahkan kisah bintang tua yang kehilangan cinta. Semuanya tidak digambarkan menjadi kisah dongeng yang semua tokohnya live happily ever after, tapi semua karakter dalam film ini tetap merasakan indah dan bahagia (dan menjadi bahagia) dalam cinta. Tidak ada yang ‘ideal’ dalam film ini, tapi ketidak sempurnaan keseharian malah membuat film ini menyentuh sekali; gue diajak terharu (tapi ngga termehek-mehek dan termewek-mewek), tertawa, kagum dan juga bersimpati.

Sepertinya proses pembuatan film ini juga berjalan di dalam cinta. Bahkan Brett Ratner, yang terkenal dengan karya film-film action-nya, menunjukkan sisi pribadinya yang lain. Dan dari deretan nama-nama penulis skenario ada Scarlett Johansson yang mana di film ini adalah debutnya sebagai penulis. Film ini betul-betul menyampaikan cinta sebagai universalitas tak terbantahkan dalam semua sisi kehidupan. Semua kisah dalam film ini terjalin menjadi utuh sehingga menjadikan kota New York sebagai ‘Cinta’ itu sendiri.

07 January 2010

‘Semuanya’ Ada di RUMAH DARA


Judul:
Rumah Dara

Sutradara:
Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel (Mo Brothers)

Penulis:
Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel (Mo Brothers)

Para Pemeran:
Ario Bayu, Shareefa Daanish, Julie Estelle, Ruly Lubis, Daniel Mananta, Mike Muliadro, Arifin Putra, Dendy Subangil, Imelda Therinne, Sigi Wimala

Plot:
Pasangan pengantin baru, Adji dan Astrid beserta 3 sahabat mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan ke luar kota untuk mencoba mendamaikan kembali Adjie dengan adiknya Ladya, yang tak pernah lagi berkirim kabar setelah kematian orang tua mereka.
Perjalanan ke sana terhenti ketika seorang gadis cantik bernama Maya muncul di depan mobil mereka. Terlihat cemas dan linglung, gadis cantik ini mengiba kepada mereka: “Nama saya Maya… Saya baru saja dirampok.”
Mereka memutuskan untuk menolong Maya dengan memberi tumpangan ke rumahnya yang menyerupai benteng tua di daerah terpencil. Sekilas semua tampak baik-baik saja ketika mereka diundang masuk. Mereka pun ikut makan malam, dilayani seorang sosok keibuan yang misterius bernama Dara, yang juga seorang ahli masak yang hebat.
Disinilah kebaikan hati dan maksud baik menjadi awal bencana di hari yang kelam ini, tak menyadari bahwa keputusan mereka untuk mengantar Maya pulang akan menjadi sebuah katalis berdarah dalam hidup mereka. Tanpa mengetahui apa sebab dari kekejaman dan kematian yang terjadi disekitar mereka, 6 orang harus berjuang untuk kabur dari para penghuni rumah yang sepertinya memang dilahirkan untuk membunuh. Malam yang begitu kelam itu belum pernah terlihat begitu merah.

Catatan:
Gue termasuk yang beruntung punya kesempatan menyaksikan film ini dua kali sebelum nantinya tayang luas di Indonesia mulai Januari 2010. Kesempatan pertama kali menyaksikan film ini adalah kesempatan yang paling ‘mahal’! Gue sebut 'mahal' karena itulah saat pertama kali film ini tayang di bioskop Indonesia dan dalam versi yang bersih dari ‘campur tangan’ LSF (versi tayang Singapore dengan judul ‘Darah’). Gue ngga tau persisnya, tapi mungkin versi itulah yang boleh disebut sebagai versi International Cut.

Kesempatan menyaksikan film ini untuk yang kedua kalinya jelas tidaklah ‘semahal’ kesempatan pertama. Tapi cukup ‘menarik’ untuk disaksikan kembali karena gue pribadi merasa ‘penasaran’ seperti apa film ini setelah mendapat ‘persetujuan’ dari LSF. Dan hasilnya ternyata semua sensor dan cut yang dilakukan tidak mengganggu tuturan dan urutan cerita. Tapi pastinya beberapa adegan yang lumayan ‘menghibur’ jadi hilang terbuang, termasuk salah satu adegan yang menggunakan efek make up khusus yang untuk pertama kalinya berhasil dimaksimalkan untuk ukuran film Indonesia mutakhir.

Gue bukan salah satu dari banyak penggemar film-film slasher semacam Rumah Dara. Bahkan gue bukan salah satu penggemar film-film horror! Tapi bukan berarti gue penakut loh! Tapi jujur aja, sebenernya gue selalu penasaran dengan film-film horror yang pernah ada (termasuk semua genre ‘turunan’nya, seperti slasher). Jadinya sedikit banyak gue juga menyimak film-film jenis ini, sekalipun sebatas hanya film-film yang terkenal saja. Bahkan gue udah pernah nonton Cannibal Holocaust secara penuh! Sebenernya film itu salah satu ‘film’ masa kecil gue; waktu jamannya video baru booming gue ngga sengaja nonton sepotong film itu pas diputer Alm. Bokap di kamarnya.

Nah dari hasil menyimak film-film sejenis, gue menemukan bahwa Rumah Dara memang dibuat menggunakan ‘template’ film slasher. Semua unsur yang hampir selalu ada dalam setiap film slasher ditampilkan dalam Rumah Dara. Sebutin aja unsur-unsur itu; casts yang enak dilihat mata, lokasi yang terpencil dari ‘peradaban’, kelakuan antagonis yang misterius, penggoda, komunitas tersembunyi, pelarian yang salah arah, darah yang menyembur dan membanjir, point of view kamera yang ekstrim, adegan menebas/menyayat/memotong yang brutal dan ngga ketinggalan adegan seks!

Ngga ada yang orisinil di film ini. Bahkan beberapa adegan mungkin pernah ada di film-film slasher terdahulunya (tentunya film slasher produksi Eropa dan Amerika). Tapi seperti yang pernah salah satu sutradara Indonesia kenalan gue bilang bahwa setiap cerita sekarang pasti dulunya pernah ada yang menceritakan hal yang sama, jadi orisinalitas udah jadi ‘barang’ langka. Yang lebih penting adalah bagaimana sekarang cara kita mengemas dan menyampaikan cerita itu.

Poin plus dari Rumah Dara adalah dalam mengemas tema slasher yang sudah ‘umum’ seperti ini, Mo Brothers masih sempat menyisipkan cerita yang sangat khas Indonesia. Gue yakin setiap orang yang nonton adegan cerita itu bakalan setuju kalo adegan itulah yang sangat-sangat Indonesia.

Dari semua adegan dalam film ini, adegan Daniel Mananta dan Dendy Subangil teriak-teriak putus asa dalam keadaan terikat selalu bikin gue merinding sekaligus sesak nafas sekalipun gue udah dua kali nonton. Gue melihat mereka seperti beneran dalam kondisi putus asa sampai seolah-olah gue ikutan merasakannya. Gue merasa mungkin bakal seperti itulah kalo gue sedang merasakan ketakutan ato putus asa yang amat sangat. Jadinya gue malah penasaran seperti apa Mo Brothers mengarahkan mereka sampai bisa meyakinkan seperti itu.

Dan semuanya itu terjawab setelah gue dapet kesempatan singkat untuk nanya-nanya hal itu ke Dendy Subangil. Dia dengan ‘senang hati’ cerita bahwa pada awalnya para sutradara itu (ya ‘para’ lah, kan ‘brothers’) mengarahkan kepada Dendy dan Daniel untuk berakting putus asa, itu aja. Cukup sederhana kan?! Tapi ternyata proses pengambilan gambar untuk adegan itu memakan waktu sampai belasan jam. Dan mereka, Dendy dan Daniel, dalam sebagian besar waktu pengambilan gambar itu ‘wajib’ stand by dalam keadaan tetap terikat! Apa yang akhirnya kita liat dalam film, selain akting, juga merupakan akumulasi keputus asaan menunggu kapan selesainya pengambilan gambar adegan itu; “ngga selesai-selesai sih syutingnya??”

Buat yang suka dengan si ganteng Arifin Putra (padahal aktor-aktor cowok di film ini sebagian besar ganteng-ganteng juga loh!), siap-siap untuk semakin mengaguminya! Arifin tampil jauh berbeda dari semua penampilannya di film-film sebelum Rumah Dara. Kharisma karakter Adam sukses ditampilkan Arifin dengan penuh gaya; stylish robotic zombiesque bone-crusher, kalo boleh gue bilang. Kharisma Adam nyaris menyaingi kharisma Ibu Dara!

Ending film ini yang multi tafsir semakin melengkapi ‘template’ film horror/slasher yang ditampilkan dalam film ini. Semuanya ada di Rumah Dara. Sekalipun begitu, toh film-film sejenis tetap punya penggemarnya. Dan semuanya terserah penilaian masing-masing penontonnya. Yang pasti Rumah Dara sudah berani tampil sebagai film slasher Indonesia pertama dengan efek visual yang paling realistis.

05 January 2010

AVATAR: Power of Mind, Power of Heart, Power of Nature

Image and video hosting by TinyPic


Title:
Avatar

Director:
James Cameron

Writer:
James Cameron

Casts:
Sam Worthington, Zoe Saldana, Sigourney Weaver, Stephen Lang, Michelle Rodriguez, Giovanni Ribisi, Joel Moore, CCH Pounder, Wes Studi, Laz Alonso, Dileep Rao

Plot:
When his brother is killed in battle, paraplegic Marine Jake Sully decides to take his place in a mission on the distant world of Pandora. There he learns of greedy corporate figurehead Parker Selfridge's intentions of driving off the native humanoid "Na'vi" in order to mine for the precious material scattered throughout their rich woodland. In exchange for the spinal surgery that will fix his legs, Jake gathers intel for the cooperating military unit spearheaded by gung-ho Colonel Quaritch, while simultaneously attempting to infiltrate the Na'vi people with the use of an "avatar" identity. While Jake begins to bond with the native tribe and quickly falls in love with the beautiful alien Neytiri, the restless Colonel moves forward with his ruthless extermination tactics, forcing the soldier to take a stand - and fight back in an epic battle for the fate of Pandora.

Note:
Manusia sesuai dengan kodratnya tidak akan pernah berhenti memperbaiki diri dan memperbaiki kehidupannya. Namun kata dasar ‘baik’ dalam kata ‘memperbaiki’ tidak selalu menjadi dasar dalam proses ‘memperbaiki’. Proses itu seringkali mengunakan cara-cara yang buruk karena kebutuhan untuk memperbaiki sudah terdistorsi dengan keinginan yang tidak mudah terpuaskan hingga ditunggangi nafsu dan berujung menjadi malapetaka.

Memperbaiki diri bisa berbanding lurus dengan aktualisasi diri. Hal ini dialami oleh Jake Sully, marinir dengan kelumpuhan pada kaki, yang diberikan kesempatan ikutan eksplorasi di Planet Pandora menggunakan wujud rekayasa genetika yang disebut ‘avatar’ menyerupai ras penghuni asli planet tersebut. Wujud yang menyempurnakan kekurangannya merupakan anugerah tersendiri bagi Jake Sully. Dalam wujud ‘baru’nya itu juga Jake Sully ‘menemukan’ dirinya kembali.

Kita bisa menikmati film yang dikerjakan lebih dari 1 dekade dari berbagai sisi. Sisi paling memukaunya tentu saja dari pencapaian visual tiga dimensi yang meletakan dasar visual film layar lebar kepada ‘dimensi’ baru yang semakin luas, yang mungkin saja membuat pusing filmmaker lain apabila ingin memproduksi film-film tiga dimensi di masa mendatang.

Dari sisi yang lebih ‘ringan’, kita juga bisa menikmati cerita cinta dua hati dari ‘clan’ yang sangat berbeda dibalut dengan saga pertempuran yang amat sangat megah dengan segala detail futuristiknya.

Tetapi gue pribadi menikmati sekali perjuangan individu seorang Jake Sully untuk menemukan dirinya dalam dunianya yang baru melalui alam Pandora yang masih murni. Kemurnian Pandora beserta segala isinya yang terjaga oleh Ras Na’vi membuka pikiran dan hati Jake Sully sebagai manusia bumi masa depan yang mungkin saja hampir kehilangan hati dan perasaannya.

Waktu nonton kedua kalinya dalam ‘edisi’ 3D yang berbeda, gue lebih menikmati visual 3Dnya tapi sama sekali tidak ‘mengganggu’ kedalaman ceritanya. Visual 3Dnya kali ini justru mendukung gue untuk lebih mendalami kemegahan kekuatan pikiran, kekuatan hati dan kekuatan alam di Pandora. James Cameron dengan cerdik membuat adegan-adegan megah dan seru tentang proses pemahaman Jake Sully tentang kehidupan di Pandora namun sukses menyisipkan kedigdayaan kemurnian semesta alam. Deru keserakahan yang didengungkan mesin-mesin baja berpelurukan nafsu dihadapi dengan perjuangan kemerdekaan namun dalam kepasrahan kepada alam Pandora yang suci.

Alam Pandora beserta semua unsur alamiahnya dengan gagah berani menggempur semua teknologi canggih yang pernah ditemukan manusia bumi di masa depan. Semua bersatu dalam komando dengan kuatan hati dan pikiran yang murni. Pertempuran megah antara teknologi melawan kekuatan alam membuat gue gregetan. Sepanjang adegan pertempuran membuat gue banyak-banyak menahan diri untuk tidak bersuara karena gemas, kagum sekaligus terharu.

Pesan untuk lebih menghargai alam memang bukan pertama kalinya diangkat menjadi sebuah film. Tapi kali ini James Cameron mengemasnya dengan cara yang memukau dan emosional. Beberapa symbol legenda kehidupan juga digunakan Cameron, salah satunya adalah pohon sumber kehidupan Ras Na’vi sebagai pusat semesta Pandora. Ritual penyerahan diri yang mirip tari kecak mengiringi Jake Sully menemukan dirinya, terlahir kembali dan menemukan surganya.