Ditulis 1 April 2006(tanggapan atas artikel ”Sekolah yang Memenjara: Catatan Seorang Menteri” oleh P Bambang Wisudo, Kompas, Sabtu 1 April 2006)
Membaca artikel ”Sekolah yang Memenjara: Catatan Seorang Menteri” oleh P Bambang Wisudo, Kompas, Sabtu 1 April 2006 di halaman 12, terus terang mengugah saya untuk menyampaikan beberapa hal yang saya rasakan dan perhatikan sejak masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar dan menengah sampai saat saya bekerja sekarang ini di bidang pengelolaan sumber daya manusia.
Saya setuju dengan pernyataan Pak Menteri bahwa orang Indonesia sekarang ini dalam mengikuti pendidikan tidak mencari kemampuan. Mereka lebih mencari gelar. Menurut saya, hal ini muncul karena kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia yang masih mengagungkan keunggulan strata sosial. Sejak saya kecil, sekitar 30 tahun yang lalu, selalu didengung-dengungkan bahwa ‘sebaiknya’ cita-cita seorang anak bila besar nanti menjadi seorang arsitek, seorang dokter atau menjadi seorang insinyur dan sebagainya. Cita-cita yang saya sebutkan tadi masih selalu terdengar didengungkan sampai sekarang ini. ‘Pola’ bercita-cita seperti itu, menurut saya muncul karena kondisi sosio-kultural seperti yang disampaikan sebelumnya. Sebagian besar anak Indonesia bercita-cita semacam itu dengan harapan, baik secara pribadi ataupun dari orang tuanya agar dapat memperbaiki/meningkatkan strata sosial.
Paradigma berlatar belakang sosio-kultural seperti ini yang menurut saya diadopsi oleh sistem pendidikan nasional dan dijadikan sebagai dasar kurikulum pendidikan formal. Hasilnya kemudian menjadikan sistem pendidikan nasional yang cenderung memberikan iming-iming yang tidak realistis, persis seperti yang disampaikan oleh Pak Menteri.
Masih terkait dengan hal itu, ada cerita yang menggelitik saya. Ada seorang ibu menyampaikan kepada saya bahwa beliau mengaku sudah ‘salah’ dalam mendidik anaknya. Saat si anak masih kecil, beliau selalu mendorong anaknya untuk sekolah sampai setinggi-tingginya dengan ‘iming-iming’ kalau besar nanti setelah menjadi sarjana bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan berpenghasilan tinggi. Pada saat beliau bercerita kepada saya, si anak sudah mendekati tahap akhir kuliahnya, memasuki masa penyusunan skripsi sarjananya. Tapi masa kuliah si anak lebih lama daripada waktu tempuh normal pada umumnya. Hal ini disebabkan karena si anak amat sangat gemar melakukan usaha dagang yang berkembang pesat dan cukup menghasilkan uang. Penghasilannya selain untuk tambahan dana kuliah dan jajan, juga untuk modal mengembangkan usahanya, dan bahkan masih cukup untuk mengupah secara layak kepada temannya sebagai pramuniaga kiosnya. Secara nominal besaran upah tersebut menurut saya setara dengan gaji pokok seorang fresh graduate Diploma III lokal di suatu perusahaan swasta besar di Jakarta, yang dituntut bekerja 8 jam sehari bahkan lebih!
Pengalaman seperti inilah yang membuktikan bahwa si anak mampu menghasilkan uang sebelum menyelesaikan pendidikan sarjananya. Dengan segala kasih dan hormat kepada Ibunya, si anak mampu mandiri, berusaha dengan senang hati dan leluasa (sambil terus melanjutkan kuliahnya) dibandingkan dengan Ibunya yang seorang karyawan mid level yang masih harus selalu berangkat pagi-pagi menuju ke kantor.
Hal yang paling mendasar yang menurut saya membuat sekolah menjadi penjara sebenarnya adalah kurikulum dan syllabus-nya. Seperti yang saya sampaikan di atas, tujuan kurikulum yang ada masih bertujuan kepada keberhasilan meraih gelar di bidang akademis. Saya masih belum melihat pengembangan yang optimal dan maksimal kepada prestasi non akademis. Bisa kita jawab sendiri seberapa banyak anak Indonesia yang dihargai prestasi non akademisnya, bahkan oleh orang tuanya sendiri. Seorang lulusan sarjana jauh lebih dihargai daripada seorang pelukis, misalnya. Tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia Indonesia yang utuh hanyalah nonsense selama budaya Indonesia masih hanya menghargai gelar. Akhirnya menjadikan kuliah dan meraih gelar kesarjanaan sekedar memenuhi kewajiban kepada orang tua dan lingkungan serta menaikkan gengsi, tapi tidak menghasilkan apa-apa yang berarti bagi bangsa dan negara.
Guru bukan pelaku utama dalam penjara sekolah. Menurut saya, guru menjadi salah satu korban dari sosio-kultural dan sistem pendidikan nasional yang ada sekarang. Guru dicap paternalistik menurut saya karena kurikulum pendidikan sekarang sudah terlalu amat sangat padat, sehingga tidak sedikit pun menyisakan ruang gerak bagi guru untuk melakukan perannya sebagai pendidik. Belum lagi terbentur pada tingkat kesejahteraan yang rendah yang seringkali ‘menjebak’ para guru sehingga melakukan penyimpangan sehingga hanya mampu sampai pada taraf menjadi pengajar, yang masih jauh untuk menjadi pendidik.
Tidak mudah mengembalikan fungsi sekolah kepada yang semestinya. Paradigma sosio-kultural atas gelar dan strata sosial yang terbentuk dan mulai mapan inilah yang perlu mendapat pencerahan. Dan saya sadari hal ini tidak mungkin selesai hanya dalam 10 tahun ke depan. Dan ini tidak hanya menjadi tugas pelaku pendidikan saja, tapi tugas bagi bangsa Indonesia di semua aspek kehidupan.