Judul:
The Perfect House
Produser:
Vera Lasut
Sutradara:
Affandi Abdul Rachman
Penulis:
Alim Sudio, Affandi Abdul Rachman, Vera Lasut
Pemeran:
Cathy Sharon, Bella Esperance, Endy Arfian, Mike Lucock, Wanda Nizar, Joy Revfa
Plot:
Julie adalah seorang guru privat untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Setelah mengajar Angie, muridnya yang autis ringan, Julie ingin istirahat sejenak untuk menjernihkan pikiran dan mengatasi trauma atas kecelakaan yang terjadi pada orang tuanya. Namun, Nyonya Rita, meminta Julie untuk memberikan pelajaran les privat kepada cucunya, Januar. Guru sebelumnya telah hilang. Ketika Julie mengetahui bahwa orang tua Januar juga tewas dalam kecelakaan, ia merasa empati dan setuju untuk menjadi guru Januar selama sebulan dan menahan ia dari rencana perginya. Namun, apa yang Julie alami di rumah tersebut menjadi jauh dari yang ia bayangkan. Sebuah rahasia yang sangat gelap tersembunyi di dalam rumah itu. Kehidupan Julie pun terancam selamanya.
Catatan:
Cara menjawab tantangan hanya dengan aksi. Genre film horror/thriller (‘thriller’ ya, bukan ‘trailer’) Indonesia yang dicap buruk/busuk/sampah, yang menurut saya mengemuka akibat penyimpangan distribusi film di Indonesia, dijawab dengan karya film yang dibuat serius yang tak hanya berorientasi pada keuntungan atas modalnya. Indonesia wajib bersyukur masih punya pekerja-pekerja film yang tidak menyerah, yang karyanya menjadi jawaban, secara langsung maupun tidak langsung, terhadap semua film sampah yang lebih sering menghiasi layar-layar bioskop nasional. Sampai semalam saya masih mendapat kabar gembira karena bakal ada lagi film-film horror/thriller dari pekerja-pekerja film Indonesia yang serius dan berbakat. Untuk film sampah silakan salahkan produsernya, tapi jangan musuhi genre-nya.
Kolaborasi baru dari para ‘pemain lama’ genre horror/thriller, Vera Lasut (Mati Suri – associate producer), Alim Sudio (Air Terjun Pengantin - skenario) dan Affandi Abdul Rachman (Pencarian Terakhir - sutradara), meski belum mapan namun cukup solid dalam memproduksi film ini.
Didukung sinematografer handal, Faozan Rizal (Sang Pencerah), The Perfect House mengusung hawa suram sejak opening title. Penataan gambar dan cahayanya jelas-jelas bikin deg-degan saya yang aslinya bukan penggemar film bergenre horror/thriller seperti ini.
Meski mengusung genre thriller, The Perfect House tidak langsung menggempur penonton dengan kejutan-kejutan. Dalam suram dan kelamnya gambar, film ini menyajikan misteri demi misteri yang nanti berujung pada twist ending. Kalo pun ada yang disebut sebagai penampakan, itu pun merupakan bagian dari misteri yang ada. Penonton ditarik-tarik untuk tetap mengikuti tuturan cerita. Penonton silakan jeli untuk memperhatikan petunjuk-petunjuk yang diselipkan di sana-sini karena tidak banyak yang disampaikan melalui dialog (show, not tell).
Penampilan akting dari aktor-aktor yang terlibat cukup mumpuni mengisi karakter yang dibutuhkan cerita. Cathy Sharon sebagai Julie nyaris tidak diberi kesempatan untuk tampil bermanis-manis, bahkan di beberapa adegan cukup mampu beradu ‘keras’ berhadap-hadapan dengan Bella Esperance, yang berperan sebagai Madam Rita. Penampilan Endy Arfian (aktor cilik yang lebih dikenal via iklan televisi) cukup memukau sebagai Yanuar dalam karakternya yang ‘berlapis’.
Saya sedikit kurang puas dengan karakter Madam Rita yang terasa kurang manusiawi hingga mengingatkan kemiripan dengan karakter Ibu Dara (Rumah Dara). Padahal kalo menilik dari semua peristiwa yang dialami Madam Rita dan beberapa adegan yang menunjukkan hubungannya dengan beberapa karakter terdekatnya, menurut saya Madam Rita bisa tampil lebih ‘abu-abu’ yang bisa jadi lebih menambah rasa penasaran penonton.
Sedikit catatan khusus atas penampilan Wanda Nizar sebagai Dwi yang aktingnya diabadikan The Perfect House (aktor yang bernama asli Fajar Tri Wanda ini meninggal dunia pada tanggal 20 Oktober 2011) tampil sebagai pendukung dengan akting santai, wajar dan tidak berusaha mencuri perhatian. Aktor yang juga tampil dalam beberapa peran kecil di Pencarian Terakhir dan Heart-Break.Com ini cukup bisa memberikan karakter cuek namun peduli/sayang kepada karakter Julie.
Mengikuti film-film yang dibesut oleh Affandi Abdul Rachman sejak film Pencarian Terakhir, saya selalu menemukan hal-hal yang berbeda. Tapi dari semua film-filmnya saya selalu merasakan durasi yang kurang panjang. Seperti masih ada adegan-adegan yang perlu disampaikan yang membuat tuturan ceritanya lebih enak. Mungkin durasi yang sekarang ada sudah cukup dan bisa berkompromi untuk meraih apresiasi penonton yang lebih luas.
27 October 2011
24 October 2011
Simfoni Luar Biasa: Tampil Baik Tanpa Harus Banyak Drama
Judul:
Simfoni Luar Biasa
Produser:
Nita Triyana, Delon Tio
Sutradara:
Awi Suryadi
Penulis:
Awi Suryadi, Maggie Tiojakin, Delon Tio
Pemeran:
Christian Bautista, Gista Putri, Ira Wibowo, Valerie Thomas, Ira Maya Sopha, Verdi Solaiman, Sophie Navita, Maribeth Pascua, Willem Beaver, Stanley Saklil
Catatan:
Ngga ada simfoni sama sekali, bahkan ngga ada musik orkestra pula, tapi film ini jelas dibesut untuk menghangatkan hati. Ngga perlu sampai jatuh bersedih melarat-larat, penonton dibawa ke dalam kisah klasik tentang si anak hilang yang bakal jadi hero tanpa nama bagi yang terpinggirkan.
Bagi penonton ‘umum’ di Indonesia mungkin merasakan pemaksaan plot tentang si anak yang nyaris sebatang kara di Manila-Filipina sana, tapi saya sendiri menyaksikan kisah sejenis yang lebih jauh jaraknya, antara Belanda dengan Indonesia. Saya percaya nasib orang bisa terjadi di luar batas nalar.
Cerita yang sederhana, yang mungkin akan sangat cocok bila dirilis pas liburan sekolah, terasa sekali ditujukan bagi penonton segala usia (dan sebagian perempuan-perempuan supaya betah memuja ketampanan Christian Bautista). Ngga ada yang rumit, alur cerita yang mudah ditebak, selipan guyon, konflik-konflik yang hanya berujung dengan penyelesaian kekeluargaan dan juga sedikit romansa malu-malu.
Nyaris semua aktor yang mendukung berakting enak diliat, ngga ada yang berlebihan. Ira Maya Sopha cukup pas tampil sebagai kepala sekolah yang keibuan, bikin teringat gayanya yang asyik sebagai juri di acara kontes penyanyi cilik di TV itu. Saya sudah lama ‘kenal’ dengan keayuan Gista Putri seperti terbius kembali dengan perannya yang polos dan malu-malu. Peran Valerie Thomas sebagai Carissa, adik tiri Jayden, cukup mencuri perhatian dengan karakter yang tomboy tapi manja kepada kakak ‘baru’nya. Verdi Solaiman selalu tampil ‘nyebelin’ seperti biasanya, nyebelin dalam artian ‘ada aja deh muncul di banyak film’, bisa juga nyebelin dalam film karena karakternya sebagai Pak Dimas yang pendengki.
Khusus pada penampilan Ira Wibowo sebagai ibu yang berusaha berdamai dengan masa lalunya, saya jadi teringat komentar Om Indro Warkop yang memberi penilaian baik atas akting Ira Wibowo, saat dulu mereka main film bersama, sebagai persona yang pandai, mudah diarahkan dan cerdas tek tok dalam adegan-adegan lelucon. Ngga heran kalo dalam ‘Simfoni Luar Biasa’, akting Ira Wibowo mampu membuat saya bersimpati kepada karakternya.
Meski akting Christian Bautista yang terasa datar dan dialog-dialog yang biasa saja, adegan-adegan dalam film ini ‘terjahit’ dengan baik hingga menjadi nyaman untuk ditonton sampai selesai. Nyaris tidak ada adegan yang dipanjang-panjangkan. Tuturan cerita mengangkat anak-anak berkebutuhan khusus di sini pun tidak terjebak menjadi dramatisasi yang berlebihan. Dan ‘gimmick’ pemilihan lagu dalam adegan puncak mampu memancing emosi haru.
Film ini ditutup dengan baik. Saya berpendapat bahwa penyampaian sesuatu dengan baik dan tepat bisa juga menjadi luar biasa, tanpa harus dengan penuh dramatisasi.
23 October 2011
WARRIOR: Proses Pengampunan yang Berdarah-darah
Title:
Warrior (2011)
Directed by
Gavin O'Connor
Writing credits:
Screenplay: Gavin O'Connor, Anthony Tambakis, & Cliff Dorfman
Story: Gavin O'Connor & Cliff Dorfman
Cast:
Joel Edgerton, Tom Hardy, Nick Nolte, Jennifer Morrison, Frank Grillo, Kevin Dunn
Plot:
Two brothers face the fight of a lifetime - and the wreckage of their broken family - within the brutal, high-stakes world of Mixed Martial Arts (MMA) fighting in Lionsgate's action/drama, WARRIOR. An ex-Marine haunted by a tragic past, Tommy Riordan returns to his hometown of Pittsburgh and enlists his father, a recovered alcoholic and his former coach, to train him for an MMA tournament awarding the biggest purse in the history of the sport. As Tommy blazes a violent path towards the title prize, his brother, Brendan, a former MMA fighter unable to make ends meet as a public school teacher, returns to the amateur ring to provide for his family. Even though years have passed, recriminations and past betrayals keep Brendan bitterly estranged from both Tommy and his father. But when Brendan's unlikely rise as an underdog sets him on a collision course with Tommy, the two brothers must finally confront the forces that tore them apart, all the while waging the most intense, winner-takes-all battle of their lives.
Note:
Pertalian darah ternyata tidak cukup kental untuk menyatukan keluarga dalam kedamaian. Hilangnya kasih sayang, dendam yang muncul menjadi kebencian jadi membentengi hati hingga sekeras karang. Orang bijak berkata, “Sentuhlah hati dengan hati.” Namun hati yang terbentengi sekeras karang secara logis tidaklah mudah tersentuh dengan kelembutan hati lainnya. Film ini menyampaikan perjuangan menembus benteng karang hati itu.
Meski sakit dan mengorek luka lama, hati harus terbuka untuk sebuah maaf. Memaafkan satu kesalahan kepada satu orang menjadi begitu banyak dan begitu amat sangat besar karena kesalahannya yang tak terlupakan. Memori pikiran menjadi sangat-sangat ‘terjajah’ oleh hati yang terluka. Meski berdarah, hati yang sulit memaafkan tetap lebih keras daripada batu karang.
Proses mohon ampunan bisa menjadi sangat panjang, bisa juga menjadi sangat keras dan berdarah-darah seperti divisualisasikan dalam film ini. Menurut saya, ‘proses pengampunan’ yang tergambar dalam film ini merupakan cerminan dari semua perilaku/budaya/bahasa pelakunya hidup dan dibesarkan. Kita mungkin pernah jadi saksi proses elegan sebuah pengampunan seseorang. Kita mungkin juga pernah jadi saksi proses pengampunan yang penuh basa basi. Dalam film ini, kita menjadi saksi sebuah proses pengampunan yang sangat keras, bahkan hingga mematahkan tulang dan membuat mata lebam, yang mungkin adalah akumulasi semua rasa sakit atas kesalahan yang juga sekaligus menjadi penebusan atas kesalahan itu. Proses yang sangat keras itu juga cerminan dari bagaimana pihak-pihak terkait dibesarkan dan hasil benturan-benturan kehidupan yang dihadapinya kemudian.
Meski tetap terasa sebagai cerita fiksi, film ini cukup berhasil menguras emosi atas ‘perseteruan’ segitiga ayah-sulung-bungsu yang sangat-sangat menggiris hati orang normal. Belum lagi suguhan pertarungan bela diri campurannya yang sangat-sangat brutal dan realis, yang mampu menyedot emosi penonton filmnya – seperti nonton pertarungan betulan. Akting Nick Nolte, sebagai si ayah yang bertobat dan mohon diampuni oleh anak-anaknya, perlu mendapat apresiasi khusus setelah sekian lama selalu berperan dalam karakter-karakter keras dan cenderung sadis. Penonton boleh jadi ikutan benci sekaligus kasihan terhadap karakter Nick Nolte yang renta di sini.
Mungkin di dunia nyata, memaafkan seseorang tidaklah sesegera seperti yang digambarkan dalam film ini, namun dari film ini bisa menginspirasi kita untuk lebih bisa membuka hati untuk memaafkan orang lain tanpa harus berdarah-darah dan tulang patah.
Directed by
Gavin O'Connor
Writing credits:
Screenplay: Gavin O'Connor, Anthony Tambakis, & Cliff Dorfman
Story: Gavin O'Connor & Cliff Dorfman
Cast:
Joel Edgerton, Tom Hardy, Nick Nolte, Jennifer Morrison, Frank Grillo, Kevin Dunn
Plot:
Two brothers face the fight of a lifetime - and the wreckage of their broken family - within the brutal, high-stakes world of Mixed Martial Arts (MMA) fighting in Lionsgate's action/drama, WARRIOR. An ex-Marine haunted by a tragic past, Tommy Riordan returns to his hometown of Pittsburgh and enlists his father, a recovered alcoholic and his former coach, to train him for an MMA tournament awarding the biggest purse in the history of the sport. As Tommy blazes a violent path towards the title prize, his brother, Brendan, a former MMA fighter unable to make ends meet as a public school teacher, returns to the amateur ring to provide for his family. Even though years have passed, recriminations and past betrayals keep Brendan bitterly estranged from both Tommy and his father. But when Brendan's unlikely rise as an underdog sets him on a collision course with Tommy, the two brothers must finally confront the forces that tore them apart, all the while waging the most intense, winner-takes-all battle of their lives.
Note:
Pertalian darah ternyata tidak cukup kental untuk menyatukan keluarga dalam kedamaian. Hilangnya kasih sayang, dendam yang muncul menjadi kebencian jadi membentengi hati hingga sekeras karang. Orang bijak berkata, “Sentuhlah hati dengan hati.” Namun hati yang terbentengi sekeras karang secara logis tidaklah mudah tersentuh dengan kelembutan hati lainnya. Film ini menyampaikan perjuangan menembus benteng karang hati itu.
Meski sakit dan mengorek luka lama, hati harus terbuka untuk sebuah maaf. Memaafkan satu kesalahan kepada satu orang menjadi begitu banyak dan begitu amat sangat besar karena kesalahannya yang tak terlupakan. Memori pikiran menjadi sangat-sangat ‘terjajah’ oleh hati yang terluka. Meski berdarah, hati yang sulit memaafkan tetap lebih keras daripada batu karang.
Proses mohon ampunan bisa menjadi sangat panjang, bisa juga menjadi sangat keras dan berdarah-darah seperti divisualisasikan dalam film ini. Menurut saya, ‘proses pengampunan’ yang tergambar dalam film ini merupakan cerminan dari semua perilaku/budaya/bahasa pelakunya hidup dan dibesarkan. Kita mungkin pernah jadi saksi proses elegan sebuah pengampunan seseorang. Kita mungkin juga pernah jadi saksi proses pengampunan yang penuh basa basi. Dalam film ini, kita menjadi saksi sebuah proses pengampunan yang sangat keras, bahkan hingga mematahkan tulang dan membuat mata lebam, yang mungkin adalah akumulasi semua rasa sakit atas kesalahan yang juga sekaligus menjadi penebusan atas kesalahan itu. Proses yang sangat keras itu juga cerminan dari bagaimana pihak-pihak terkait dibesarkan dan hasil benturan-benturan kehidupan yang dihadapinya kemudian.
Meski tetap terasa sebagai cerita fiksi, film ini cukup berhasil menguras emosi atas ‘perseteruan’ segitiga ayah-sulung-bungsu yang sangat-sangat menggiris hati orang normal. Belum lagi suguhan pertarungan bela diri campurannya yang sangat-sangat brutal dan realis, yang mampu menyedot emosi penonton filmnya – seperti nonton pertarungan betulan. Akting Nick Nolte, sebagai si ayah yang bertobat dan mohon diampuni oleh anak-anaknya, perlu mendapat apresiasi khusus setelah sekian lama selalu berperan dalam karakter-karakter keras dan cenderung sadis. Penonton boleh jadi ikutan benci sekaligus kasihan terhadap karakter Nick Nolte yang renta di sini.
Mungkin di dunia nyata, memaafkan seseorang tidaklah sesegera seperti yang digambarkan dalam film ini, namun dari film ini bisa menginspirasi kita untuk lebih bisa membuka hati untuk memaafkan orang lain tanpa harus berdarah-darah dan tulang patah.
Subscribe to:
Posts (Atom)