tag:

01 March 2015

Sambil Ngopi: Ngopi Bareng

Dua french press berbeda ukuran sedang menampung kopi yang baru diseduh dengan air yang baru saja mendidih dari ceret listrik. Kami sedang memulai ritual ngopi bareng setengah swadaya; kopinya patungan tapi air dan listriknya numpang colok di kantor.
        "Itu kopi apa?" tanya Denmas sambil menyodorkan cangkirnya yang sudah diisi dengan beberapa sendok gula.
        "Kopi generik aja, kopi yang banyak di warung atau di mini market," jawab saya sambil menyetel alarm di smartphone.
        Metode menyeduh kopi menggunakan french press sebenernya sama aja dengan metode kopi tubruk, dituangi air mendidih dan tidak diaduk. Yang bikin sedikit berbeda adalah wadah french press ini dilengkapi dengan alat tekan (press) untuk menahan ampasnya di dasar wadah.
        "Udah diseduh gitu trus nunggu apa lagi?" Denmas nanya lagi.
        "Tunggu lebih kurang lima menit," jawab saya sambil sesekali cek alarm.
        "Oooo. Eh itu udah dikasi gula pas diseduh?" Denmas lanjut nanya.
        "Belom dikasi gula, supaya kopinya matang diseduh dan tidak terganggu bahan lain," saya jawab sambil melihat-lihat tweet via tweetdeck di laptop. "Kalo mau pake gula, saya punya kok tuh. Ada di lemari sini," sambung saya sambil menunjuk lemari di sebelah kiri cubicle saya.
        "Ngga usah lah, ini udah minta stok kantor yang ada di dapur aja," sahut Denmas.
        "Wah nyeduhnya banyak banget!" seru si Ninit yang tau-tau muncul sudah dengan cangkir kosong di tangan.
        "Ya kan ngga cuma kita bertiga aja yang doyan kan, sekalian aja deh," jawab saya.
        Di kantor ini memang ada beberapa yang rajin melaksanakan ritual ngopi pagi. Tapi biasanya dilakukan secara sporadis. Ceret listrik yang ada di pantry sana itu tahun lalu setiap pagi sering sekali meniupkan peluitnya dengan nyaring pertanda airnya sudah mendidih. Ngga semuanya juga sih yang memanfaatkan air mendidih dari ceret itu karena sebagian lagi memercayakan kopi sachet-nya diseduh dengan air panas dari dispenser air mineral.
        "Dulu saya juga sempat suka minum kopi instan sachet," kenang saya sambil menunggu bunyi alarm. "Tapi untungnya saya cepat insyaf karena rasanya yang semakin lama semakin aneh di lidah."
        "Twet… twet… twet!" nyaring suara alarm tanda waktu tunggu 5 menit sudah selesai. Lalu saya menekan alat press-nya.
        "Kopi instan sachet dengan rasanya yang aneh itu udah terlalu manis untuk ukuran lidah saya," lanjut saya bercerita sambil menuangkan kopi dari french press ke dalam 3 cangkir. "Tapi ada loh yang masih menambahkan gula ke dalam seduhan kopi instan itu. Ngga berani ngebayangin manisnya kayak apa!" kata saya sambil setengah bergidik.



        "Aku juga mau dong kopinya," seru Pak Anwar menyela kenangan saya sambil menyodorkan cangkirnya. Lagi-lagi sudah ada gula di dalam cangkirnya itu.
        "Ah tentu saja boleh, memang sengaja saya seduh lebih banyak." jawab saya.
        Kedua french press itu masing-masing memiliki daya tampung 600 ml dan 300 ml yang dapat meyajikan total untuk 6 cangkir kopi. Kira-kira per cangkirnya tersaji 150 ml kopi. Nggak perlu banyak-banyak tapi cukuplah untuk mendukung kegiatan pagi di kantor.
        Dari cubicle sebelah kedengeran suara, "Masih ada? Masih kebagian?" Ternyata suara Mas Hari. Tadinya saya kira dia sedang tidur seperti biasanya setiap pagi, katanya untuk menambah jam tidurnya yang sering acak-acakan.
        "Langsung ke sini sajalah, bawa cangkirnya jangan lupa," sahut saya.
        Mas Hari perlu jalan dulu ke pantry untuk mengambil cangkir. Di situ ia sekalian mengisi cangkirnya dengan gula beberapa sendok teh. Kopi yang masih panas tak lama segera mengisi cangkir yang dibawa Mas Hari.
        "Pertama kali saya minum kopi, kopinya hitam dalam mug besar dan gulanya banyak," kenangan saya berlanjut. Denmas dan Ninit masih duduk-duduk di deretan kursi di belakang cubicle saya sambil menikmati kopinya dari cangkir masing-masing. "Anehnya waktu itu saya malah langsung pusing kepala dan akhirnya malah tidur siang-siang. Waktu itu saya minum setelah pulang sekolah. Masih SD kalo nggak salah ingat."
        Bang Edi tau-tau muncul dan langsung aja menyodorkan cangkir tanpa bicara tanda minta bagian kopi yang masih ada.
        "Ah kirain lu udah nggak suka ngopi, Bang!" sahut saya sambil menuangkan sisa kopi yang masih ada dalam french press.
        Bang Edi tersenyum lebar dan lalu berkata, "makasih yak. Kan enak gini ngopinya barengan. Kalo udah berani boleh dah sendiri-sendiri." Dan Bang Edi langsung bergegas balik ke cubicle-nya sambil ketawa pendek-pendek.
        "Abis itu nyoba ngopi lagi?" Denmas bertanya kepada saya. Ternyata dia tertarik dengan cerita saya yang terpotong tadi.
        "Ya nyoba lagi tapi jauh lebih tertarik minum teh manis. Teh manis dengan gula yang banyak sekali, beberapa sendok makan kira-kira." saya lanjutkan ceritanya.
        "Lah itu suka teh manis...." sahut Ninit mengomentari cerita saya.
        "Tentu saya suka teh manis. Sekarang pun kadang-kadang saya masih suka minum teh manis, terutama kalo sedang kecapekan. Kadang tambah garam sedikit untuk melawan dehidrasi...."
        "Idih pake garam segala!" sahut Ninit memotong sambil bergidik.
        "Iya, jadi semacam oralit kan. Bisa untuk melawan dehidrasi dan kecapekan. Pokari versi swadaya." saya lanjut menjelaskan. "Tapi sebenernya saya ngga terlalu suka teh tubruk dikasi gula, sayang dengan aroma dan rasanya. Beda dengan teh celup yang musti dikasi gula baru terasa minum teh. Makanya saya ngga suka teh celup."
        "Trus kalo ngopi juga ngga pake gula?" tanya Nitnit. Sepertinya dia penasaran dengan kebiasaan ngopi saya.
        "Kadang-kadang masih ngopi manis kok. Tapi kalo kopinya single origin sih sayang juga....."
        "Apa tuh kopi single origin?" potong Denmas gantian bertanya.
        "Itu jenis-jenis kopi kayak kopi Toraja, kopi Lampung, kopi Aceh. Kayak gitu-gitu deh." sahut Ninit.
        "Itu bener!" kata saya. "Nah itu kamu tau, Nit."
        "Ya dikit-dikit kan saya juga baca-baca soal kopi." jawab Ninit. "Tapi saya masih belom sanggup ngopi ngga pake gula."
        "Ya ngga apa-apa sih. Semua balik lagi ke selera kok," sahut saya. "Beda orang kan beda seleranya."
        Kita jeda obrolan sebentar untuk nyruput kopi yang masih panas. Ternyata kopi di cangkir saya tinggal separuh.
        "Kopi paling enak kalo masih panas," lanjut saya. "Aromanya masih kuat tercium, rasanya nempel di lidah. Makanya paling pas minum di cangkir supaya tetap panas meski cuma sedikit."
        "Kalo kopi es?" tanya Ninit.
        "Kopi es enak untuk penyegaran, seperti minum es sirup atau soft drink kalo sedang haus lah. Tapi kurang sip untuk menikmati kopinya." jawab saya. "Yah kayak dulu saya suka minum kopi kocok."
        "Apaan lagi tuh?" Ninit lanjut bertanya.
        "Kopi yang bikinnya dikocok," jawab saya. "Jadi dulu itu salah satu kopi instan kasi bonus shaker untuk pembelian ukuran tertentu. Waktu itu saya masih SMP."
        "Jadinya saban siang pulang sekolah, saya kerjaannya bikin kopi kocok untuk diminum sendiri." lanjut saya sambil mengenang salah satu hari itu.
        "Bikinnya dikocok-kocok gitu?" Ninit masih lanjut bertanya.
        "Iya. Ada takarannya kok. Kopi instan dicampur gula dan air dingin di dalam shaker. Lalu masukkan juga 3 cube es batu. Trus dikocok selama 3 menit kalo ngga salah. Lalu dituang ke gelas. Berbusa gitu." saya jawab panjang lebar. "Dan kopinya harus kopi instan. Ngga bisa diganti pake kopi bubuk yang generik."
        "Seru ya!" sahut Ninit. "Sekarang masih mau minum kopi yang kayak gitu?"
        "Boleh-boleh aja. Tapi kalo ada kopi tubruk, apalagi yang single origin, ya mending kopi tubruk aja," jawab saya sambil lanjut nyruput kopi di cangkir beberapa kali.
        Kopi di cangkir saya segera tandas. Kelihatan ada sedikit ampas kopi di dasar cangkir. Ampasnya masih tertuang karena hasil gilingan kopi bubuk generik ini memang terlalu halus sehingga sebagian masih bisa lolos.
        "Balik ke meja ah, siapa tau ada kerjaan," seloroh Nitnit sambil menenteng cangkirnya. "Makasih ya kopinya."
        "Sip," jawab saya. "Nanti sore ngopi lagi?"
        "Enggak ah," tukas Nitnit. "Ngopi sekali sehari aja."
        "Saya ngopi juga sekali sehari aja," ujar Denmas sambil mulai beranjak dari posisi duduknya. "Ini segini aja dorongannya udah kuat banget!"
        Ternyata yang dimaksud Denmas dengan 'dorongan' adalah gejolak yang muncul di lambung dan ususnya segera setelah kopinya tandas. Langsung ia ke toilet untuk menuntaskan dorongan itu.
        "Hahahahaha langsung ngefek ya!" ledek saya sambil beranjak ke pantry menenteng cangkir bekas ngopi tadi.

No comments: