tag:

29 September 2008

LASKAR PELANGI: Ketidak Adilan Indonesia



Judul:
Laskar Pelangi

Sutradara:
Riri Riza

Produser:
Mira Lesmana

Penulis:
Salman Aristo, Riri Riza, Mira Lesmana

Pemeran:
Lukman Sardi, Cut Mini Theo, Slamet Rahardjo Djarot, Mathias Muchus, Teuku Rifnu Wikana, Ario Bayu, Alex Komang, Jajang C Noer, Tora Sudiro, Robby Tumewu, Ikranegara, Rieke Diah Pitaloka, Zulfanny, Verrys Yamarno, Ferdian, Yogi Nugraha, M. Syukur Ramadan, Suhendri, Febriansyah, Jeffry Yanuar, Suharyadi Syah Ramadhan, Dewi Ratih Ayu Safitri, Marcella El Jolia Kondo, Levina

Musik:
Titi Syuman, Aksan Syuman

Distributor:
Miles Production dan Mizan Sinema


Cerita:
Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup.
Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.
5 tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan ke 10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka.
Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kehilangan sosok yang mereka cintai. Sanggupkah mereka bertahan menghadapi cobaan demi cobaan?
Film ini dipenuhi kisah tentang tantangan kalangan pinggiran, dan kisah penuh haru tentang perjuangan hidup menggapai mimpi, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia, dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia.


Catatan:
Saat mulai rame kabar-kabar tentang produksi film ini, saya masih belom baca novelnya. Malah saya lagi asyik nanya-nanya singkat soal musik film ini ke Aksan Syuman dalam masa promo film Karma. Akhirnya pada Ramadhan tahun ini, tuntas juga saya baca habis novel yang mendasari film ini.

Sejak saya selesai baca novelnya, saya justru banyak mikirin gimana caranya filmnya akan dibuat, terutama mengenai alur ceritanya. Dari tulisan dalam novel yang lebih mirip blog itu, tentunya penulis skenario filmnya bakal kesulitan menyusun tuturan cerita untuk filmnya. Belum lagi kompleksitas karakter-karakter utama yang minimal mengangkat 10 anak Laskar Pelangi. Tapi dari acara Kick Andy yang mengangkat tema tentang produksi film ini, saya jadi tahu seperti apa kira-kira cerita film ini. Dalam acara itu Andrea menyatakan sudah approved pada skenario yang disodorkan tim produksi film Laskar Pelangi (ditulis oleh Salman Aristo dan dibantu oleh Riri Riza dan Mira Lesmana). Dan Andrea juga menyatakan bahwa skenario tersebut masih menangkap spirit dari novelnya.

Dari situ saya berkesimpulan bahwa sudah bisa dipastikan bahwa akan terjadi beberapa perbedaan antara novel dengan filmnya, namun saya tidak kuatir karena skenario filmya sudah approved oleh penulis novelnya sendiri. Dan memang di setiap adaptasi sebuah novel menjadi film, adalah hal yang tidak bisa dihindari adalah terjadinya perbedaan dalam penuangan ke dalam dua media yang memang berbeda itu.

Film spesial seperti ini sudah semestinya saya tonton dengan cara yang special juga. Maka berangkatlah saya ke Blitz Megaplex untuk menontonnya! (makasih untuk Miles dan Blitz Megaplex atas ‘kerja sama’nya :D ) Dan yang menarik kali ini, saya menonton film ini bersama istri saya yang sama sekali belum membaca novel Laskar Pelangi. Jadi menarik karena dalam niatan menonton film ini, istri saya nyaris tidak memiliki ekspektasi apa pun. Sedangkan saya dengan agak susah payah menghilangkan ekspektasi karena sudah menyelesaikan membaca novelnya. Bahkan istri saya sempat bilang bahwa sebenarnya dia tidak terlalu tertarik untuk menyaksikan film yang mengangkat tema tentang anak-anak, apalagi kalo temanya hampir mirip dengan Denias. Padahal kami belum sempat menonton Denias.

Selesai film diputar dan ternyata istri saya bisa menikmati film ini secara utuh, meski di sana sini muncul pertanyaan seperti apa kalo di novelnya. Saya akui ada beberapa adegan yang cuma bisa dimengerti bagi mereka yang sudah membaca novelnya. Tapi secara umum film ini cukup bisa mengangkat spirit dari novelnya. Bahkan tema kesenjangan kesempatan pendidikan dan kesenjangan sosial lebih dipertajam dalam film ini. Fokus penokohan lebih diutamakan pada karakter Bu Mus dan Pak Harfan. Dan tema kesenjangan lebih diangkat melalui dialog tokoh-tokoh utama dengan tokoh-tokoh rekaan ‘tambahan’ seperti Pak Bakri, Pak Zul dan Pak Mahmud.

Gaya bercerita yang berbunga-bunga di novel diadaptasi sedemikian rupa untuk dibumikan di dalam film. Kita tetap dapat melihat tokoh Lintang yang cerdas namun tetap dekat dengan kewajaran keseharian. Cerita dari novel disusun menjadi runtut, lebih lugas. Seperti adegan Lintang pamit yang dibuat dengan pas dan tidak terjebak menjadi melarat-larat dalam kesedihan. Dalam hal tema kesenjangan, terasa sekali bahwa Salman Aristo mengeluarkan ‘keahlian’nya dalam penulisan dialog-dialog yang cukup kena dengan kritik-kritik sosialnya.

Bohong kalo saya mengaku tidak sekalipun membandingkan novel dengan filmnya. Jujur aja, saya deg-degan menantikan beberapa visualisasi adegan dari cerita yang tersampaikan dengan indah dalam novelnya. Dalam hal visualisasi adegan menurut saya tidak mengecewakan, terutama untuk adegan-adegan ‘penting’ seperti tarian di karnaval, kuku cantik di toko, pertemuan Ikal dengan Aling, Ikal patah hati dan pamitnya Lintang. Bahkan saya memuji adegan kuku cantik dan Ikal yang patah hati bisa divisualkan dengan pas, karena saya menilai adegan ini pasti sulit sekali dituangkan ke dalam film. Dalam novelnya, Andrea mampu melukiskannya dengan persis seperti perasaan anak kecil yang baru mengenal cinta. Dan Riri cukup pas menuangkannya ke dalam adegan film.

Dari obrolan singkat dengan Aksan Syuman beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengharapkan musik film ini menjadi megah, indah dan mendayu-dayu melayu. Tapi ternyata malah musik film ini terasa melebur dengan gambar-gambar indahnya. Adegan dan musiknya menjadi seimbang.

Mungkin membumikan novel menjadi film Laskar Pelangi bisa mengecewakan bagi beberapa penggemar fanatik novelnya. Tapi apakah seorang sutradara dan penulis skenario boleh begitu saja dibatasi visi dan kreativitasnya? Dan dengan gampang melupakan semangat dari produksi film ini dalam memberdayakan aktor-aktor lokal dari Belitong?

Kalo saja saya boleh berpendapat, mungkin sutradara yang pas untuk menuangkan novel Laskar Pelangi ke dalam film adalah seorang Julie Taymor yang dengan sukses pernah membesut Across the Universe dengan segala artisitik visualnya yang memang selalu menjadi ciri khasnya. Tapi serta merta saya menjadi tidak adil dengan membandingkan seorang Riri Riza, yang selalu bersemangat mengangkat keIndonesiaan dalam film-filmnya, dengan Julie Taymor yang kiprahnya sudah diakui secara internasional.

1 comment:

Radith Prawira said...

saia blm ntn pelemnya malah om.. wkt itu ditinggalin tmn2.. :mad: dan ampe skrg blm baca bukunya...ga update bgt saia yh? :hammer:

--

batal@kaskus