"Mana nih si Ninit, biasanya sebelum ceret bunyi dia sudah terbit," tanya saya sambil mulai menuangkan kopi ke cangkir-cangkir tersebut. "Terbit" adalah kata yang biasa kami gunakan di kantor ini untuk romantisasi istilah "datang pagi".
"Iya nih, tumben deh," sahut Denmas sambil mulai mengaduk kopi dalam cangkirnya. "Ngga bilang juga kalo mau ngga masuk."
"Selamat pagi, masih kebagian kopinya?" Tahu-tahu terdengar suara Ninit yang baru saja datang agak tergopoh-gopoh.
"Ngga usah buru-buru Nit, udah telat juga sih," sahut saya sambil masih menuang kopi ke cangkir yang ketiga.
"Telat? Udah kehabisan kopi nih?" Ninit malah sekali lagi memastikan jatah kopinya.
"Telat tapi malah ngurusin kopi....," sahut Denmas yang dari tadi masih belum selesai mengaduk kopinya. Mungkin gulanya kali ini gula batu dan batunya batu akik.
"Ah iyalah ngurusin kopi aja deh, ngilangin bete kena macet," sambar Ninit yang tiba-tiba sudah muncul menenteng cangkir kopi yang sudah lengkap dengan gula di dalamnya. Saya langsung saja menuangkan kopi ke cangkir itu.
"Kena macet di mana sih?" tanya saya sambil asyik menghirup uap kopi yang keluar pada saat dituangkan dari french press ke cangkir.
"Itu tadi dari arah Cempaka Putih yang udah dekat Senen. Di underpass ada penutup saluran yang jebol, jadinya dari dua jalur cuma bisa dilalui satu jalur aja," jawab Ninit nyerocos bercerita. "Jalur satu-satunya itu udah ngga bisa dihindarin karena memang yang lewat situ pasti udah banyak banget jam segitu."
"Ada sih tadi di twitternya Polda tapi baru kebaca pas kami sudah jarak satu kilometer dari underpass situ. Ya udah keburu macet." jawab Ninit sambil mulai mengaduk kopinya.
Kalo dilihat dari gerakan mengaduknya, si Ninit ini malah tidak terlihat sedang kesal. Berbeda sekali dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Sepertinya kekesalannya tidak sampai ke tangannya yang sedang mengaduk kopi. Atau mungkin juga karena Ninit begitu menghargai minuman yang mungkin bisa menghapus kekesalannya.
"Padahal tadi Ninit berangkat lebih cepet lima menit atau berapa gitu," lanjut Ninit. "Dari rumah sih lancar aja. Nah pas udah deket underpass itu deh macetnya ngga gerak."
"Lalin Jakarta memang begitu ya, sering ngga bisa ditebak," sahut saya setelah menyeruput kopi dari cangkir. "Ada sih situasi-situasi yang sudah rutin pada waktu-waktu yang biasa, tapi bukan berarti kita boleh lengah karena sering ada perubahan tiba-tiba. Contohnya ya kalo ada kecelakaan atau kerusakan saluran di jalan."
"Iya ih," sambar Ninit. "Sekalinya luar biasa, macetnya bener-bener parah."
"Biasanya yang bisa diantisipasi tuh pas hari Senin atau hari pertama tahun ajaran baru sekolah," tambah Denmas setelah satu sruputan panjang kopinya.
"Tapi kalo semuanya antisipasi dengan berangkat lebih pagi ya macetnya juga lebih pagi," sambar si Adju dari cubicle belakang tanpa melepas pandangannya dari layar komputer desktop-nya. Si Adju ini memang sering nyambar-nimbrung obrolan kami. Tapi dia jarang ikutan ngopi. Kadang-kadang aja.
"Bener tuh. Tapi secara umum lalin di Jakarta ini memang sulit ditebak," sahut saya sambil mengendus-endus aroma kopi di cangkir saya. "Ngga jarang dalam waktu kurang dari sepuluh menit kondisi lalin bisa berubah total. Tadinya longgar dilihat dari seberang, begitu kita balik arah di u-turn pas sampai di lokasi yang dilihat tadi tahu-tahu lalinnya padat merayap."
"Pada pernah ngalamin kayak gitu kan?!" lanjut saya sambil memegang-megang cangkir yang masih hangat meski isinya tinggal setengah.
"Lu minum kopi cepet amat?! Itu isinya tinggal setengah!" sambar Denmas. "Dasar lidah kadal!"
Langsung tawa berderai cukup panjang. Beberapa kawan yang berada di sekitar cubicle saya pun ikutan tertawa meski tidak ikutan ngumpul ngopi.
"Hahahahaha emangnya situ yakin kalo kadal tahan minum minuman panas?" saya lanjut bahas. "Tapi mungkin aja sih kalo lidahnya terbelah dua kayak gitu."
"Ngga taulah. Ngga perlu ditebak. Sama seperti lalin di Jakarta, ngga perlu ditebak," jawab Denmas. "Dipantau aja."
"Iya dipantau aja," lanjut Adju. "Via smartphone kita bisa akses internet untuk informasi lalin kan. Kayak tadi si Ninit cari info di twitter."
"Sekarang pun ada app smartphone yang mengkombinasi GPS dan socmed," tambah saya setelah nyruput sisa kopi di cangkir. "Semua user yang login ke app itu bisa kasi info kondisi lalin di lokasi yang mereka lalui. Jadi informasi kondisi lalinnya lebih realtime dan kalkulasi waktu tempuhnya bisa lebih akurat."
"Nah kan udah ada itu semua kan ya....," Ninit bersuara.
"Itu semua apa, Nit?" sambar Denmas.
"Ya itu semua, smartphone, internet, GPS, socmed, makanya kita jangan jadi bodoh kalo menghadapi lalin Jakarta," lanjut Ninit.
"Jadi bodoh gimana sih maksudnya?" tanya saya.
"Iya kan dengan adanya itu semua kan bisa mendukung kita untuk jadi lebih siap menghadapi lalin Jakarta," jawab Ninit. "Siap lahir batin."
"Trus yang bodoh tuh yang gimana?" tanya Denmas. "Yang ngga tau cara cari info lalin?"
"Iya, yang kayak gitu tuh!" sahut Ninit. "Tapi ada yang paling bodoh...."
"Hah??" saya berseru hampir bersamaan dengan Denmas dan Adju.
"Yang kayak apalagi tuh??" tanya saya.
"Yang tiap hari pergi pulang kantor lewat jalan yang itu, pada jam yang itu-itu juga, udah tahu kondisi lalinnya bakal macetnya begitu-begitu juga, tapi bisanya cuma ngomel dan nyalah-nyalahin pemerintah aja," jawab Ninit. "Kan masih bisa coba berangkat lebih pagi."
Sontak tawa lebih keras berderai dan kali ini lebih panjang.
"Jempol, Ninit!!" seru Denmas memuji.