Title:
Stauffenberg
Director:
Jo Baier
Writer:
Jo Baier (writer)
Cast:
Sebastian Koch, Ulrich Tukur, Hardy Krüger Jr., Christopher Buchholz, Nina Kunzendorf, Stefania Rocca, Axel Milberg, Olli Dittrich
Plot:
In 1944, a group of high command officers plot an attempt against Hitler, and one of the leaders of the conspiracy, Stauffenberg (Sebastian Koch), goes to a meeting with the Fuhrer in charge of exploding the place. However, Hitler survives and the officers are executed. This unsuccessful operation was called "Valkyrie Operation", and this realistic movie discloses this true event.
Note:
Sambil iseng-iseng ngerapihin koleksi DVD gue, ada satu film yang di cover-nya tertulis judul Operation Valkyrie, mirip dengan judul film yang bakal dirilis tahun depan besutan Bryan Singer dan dibintangi Tom Cruise.
Gue pasang aja deh tu film. Eh ternyata judul ‘dalem’nya adalah Stauffenberg dan sepertinya adalah film berbahasa Jerman. Untung aja subs English-nya cukup bagus.
Seperti halnya film-film Eropa, biasanya filmnya bakal rada lambat tapi cukup menanjak menegangkan begitu sudah mulai di puncak plot cerita. Visual dengan angle kamera yang standar-standar aja ngga bikin gue berhenti di tengah-tengah film.
Setelah film ini selesai, kayaknya udah banyak spoiler untuk Bryan Singer’s Operation Valkyrie nanti. Tapi dengan ‘jaminan’ nama Singer pasti bikin gue tetep bakal nonton filmnya nanti.
09 December 2008
TWILIGHT: Till Undead Do Us Part
Title:
Twilight
Director:
Catherine Hardwicke
Writers (WGA):
Melissa Rosenberg (screenplay)
Stephenie Meyer (novel)
Cast:
Kristen Stewart, Robert Pattinson, Billy Burke, Ashley Greene, Nikki Reed, Jackson Rathbone, Kellan Lutz, Peter Facinelli, Cam Gigandet, Taylor Lautner
Plot:
Isabella Swan moves to gloomy Forks to live with her father. As she starts her junior year in high school she becomes fascinated by Edward Cullen who holds a dark secret which is only known by his family. Edward falls in love with Bella as well but knows the further they progress in their relationship the more he is putting Bella and those close to her at risk. Edward warns Bella that she should leave him but she refuses to listen and to understand why he is saying this. Bella learns his secret. He is a vampire, however she is not afraid of his blood-thirsty needs and the fact he could kill her at any moment. Bella is afraid of losing him, the love of her life. The thrill begins when a new vampire finds it a challenge to hunt Bella down for her irresistible blood. The game is on and James will not stop until she is killed.
Note:
Pengalaman menyebalkan harus ngantri hampir stengah jam untuk dapet jadwal nonton 2 sesi beikutnya! Udah lama gue ngga ngantri untuk nonton film di bioskop. Berhubung kali ini film ini didistribusi secara egois, ya udah terpaksa gue nonton di bioskop yang bukan biasanya, dan harus berlama-lama antri pula!!
Di gang sempit di depan theater dengan asyik para calon penton film ini merubung. Duh kelakuan deh! Kan di tiap tiketnya udah ada nomor seat-nya. Secara logika bodoh sekalipun ngga bakalan ngga kebagian seat! Udah gitu di gang situ kan ngga terlalu kedengeran suara announcer yang umumin theater mana aja yang udah buka pintu.
Film yang diangkat dari novel Amerika popular ini mustinya romantis sekali. Tapi anehnya koq gue ngga dapet romantismenya ya?! Apakah karena gue laki-laki?! Kayaknya ngga juga deh. Gue masih bisa diharu birukan romantisme di film-film Romeo + Juliet, Moulin Rouge! dan Titanic. Tapi koq di Twilight ini ngga berasa dalem romantisnya?
Banyak banget dialog-dialog yang dalem, tapi mungkin karena suasananya kurang mendukung jadinya ngga mukul gue banget. Padahal dialognya menurut gue lebih keren dibanding “You jump, I’ll jump!” Sambil antri tiket sekilas gue denger obrolan bahwa ceritanya bisa disamakan dengan Romeo and Juliet. Tapi sayang buat gue masih jauh lebih romantis Romeo + Juliet garapan Baz Luhrman.
Kecanggungan dua dunia yang bersinggungan masih bisa terasa. Dan begitu action mulai diangkat, mulai bikin gue asyik ngikutin. Tapi begitu balik masuk ke adegan romantis, wah ngga kenal lagi deh.
Apa gue musti baca novelnya juga?
PENCARIAN TERAKHIR: Right is The Wrong Way
Judul:
Pencarian Terakhir
Sutradara:
Affandi Abdul Rachman
Pemeran:
Lukman Sardi, Yama Carlos, Alex Abbad, Verdi Solaiman
Catatan:
Film ini ngga mau disebut bergenre horor, tapi katanya bergenre adventure mystery. Cukup bikin penasaran sih, apa sih bedanya dengan horor?
Gue berkesempatan 2 kali menyaksikan film ini di bioskop. Pertama kali diundang dalam premier ‘umum’. Dan yang 1 kalinya untuk bersama keluarga sambil melihat detil-detil yang mungkin terlewatkan.
Film ini memang cukup detil secara visual. Untuk mengangkat tema misterinya, permainan tone warna sangat mendukung di sini. Dan dialog-dialog disusun dengan efektif sehingga hampir ngga ada dialog yang berkepanjangan untuk menjelaskan sesuatu yang bisa diangkat secara visual.
Dalam salah satu adegan hampir aja gue terjebak dalam kesombongan karena gue merasa menemukan sebuat plot hole. Tapi begitu melihat scene berikutnya, gue jadi langsung ngerti dan sekaligus acung jempol dengan scenario yang juga disusun oleh sutradaranya.
Film ini cukup berhasil mengangkat tema pendaki dan pendakian yang Indonesia sekali, lengkap dengan misteri-misteri yang sering muncul dalam pendakian. Katanya cerita film ini terinspirasi kisah nyata. Yang cukup mengherankan, sutradaranya adalah lulusan directing dari Amerika Serikat tapi berhasil mengangkat ke-Indonesiaan dalam film debutannya ini. Gue yang cukup sering denger cerita-cerita misteri seputar pendakian merasa cukup asyik menonton film ini karena kedekatan temanya dengan Indonesia.
Dialog-dialog yang casual, penokohan yang pas dan porsi-porsi cerita yang pas bikin film ini enak gue ikutin sampe selesai. Hampir ngga terasa dipanjang-panjangin. Yang ada gue malah terasa diayun naik turun sesuai dengan plot cerita. Gimmick komedi di sela-sela ketegangan pendakian bisa masuk dengan enak, bisa bikin penonton ketawa sedikit garing dalam ketegangan yang masih berlanjut. Belum lagi penyelipan pesan moral dalam pengambilan keputusan yang terburu-buru (kanan itu ngga selamanya benar) ngga menjadi dialog yang berpanjang-panjang dan diulang-ulang.
Sebenernya gue berharap film ini sad ending. Tapi mungkin juga karena pertimbangan pasar, film ini happy ending juga. Meskipun begitu, endingnya masih enak diterima dan cukup bisa menjelaskan kenapa film ini berjudul Pencarian Terakhir.
QUANTUM OF SOLACE: Emotional Bond Movie
Title:
Quantum of Solace
Director:
Marc Forster
Writer:
Paul Haggis, Neal Purvis, Robert Wade
Cast:
Daniel Craig, Olga Kurylenko, Mathieu Amalric, Judi Dench, Giancarlo Giannini, Gemma Arterton, Jeffrey Wright, Jesper Christensen
Plot:
Cerita yang langsung nyambung dengan Casino Royale ini, membeberkan kegiatan Bond melacak sesuatu yang melatari kematian kekasihnya. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Bahkan M pun nyaris menjadi korban berikutnya.
Note:
Ngga bakalan sabar deh nungguin film ini bagi mereka yang suka banget dengan Casino Royale. Pastinya bakalan nungguin munculnya Craig sebagai Bond yang manusiawi.
Dalam cerita yang langsung nyambung dengan Casino Royale, rasanya gue ngga dikasi kesempatan untuk bernapas karena cerita langsung meyajikan ketegangan yang dibalut dengan aksi-aksi keren. Sekalipun katanya adegan aksi di film ini dibuat oleh tim yang sama dengan yang membuat adegan aksi di Trilogy Bourne, tapi gue melihat bahwa tim ini dengan cerdas bersama sang sutradara tetap menonjolkan aksi ‘khas’ Bond yang belom pernah dilakukan oleh film-film sejenis. Contoh jelasnya silakan liat adegan kejar-kejaran pesawat yang ‘Bond banget’.
Cerita yang berlanjut dalam dendam atas kematian kekasihnya membuat film ini menjadi lebih gelap. Belum lagi cerita dibuat semakin gelap dan emosional dengan segala macam intrik yang terjadi di dalam lingkaran dalam M dan MI6. Terima kasih kepada Paul Haggis karena dengan sentuhannya yang khas, kita bisa melihat M sedang mengoleskan krim malam ke wajahnya dalam pakaian tidur. Paul Haggis membuat kita percaya bahwa organisasi intelijen dan orang-orang di dalamnya adalah manusia juga yang mungkin saja ada di sekitar kita dan melakukan juga apa-apa yang kita lakukan sehari-hari.
Dalam film ini sekali lagi minim gadget, jauh dari image film-film Bond sebelomnya (khususnya di tahun 80-an). Tapi dengan cerdas kecanggihan dukungan IT suatu badan intelijen ditampilkan dalam sebuah adegan briefing. Dan dengan setengah promosi, gadget kamera digital ‘dimaksimalkan’ feature face recognition-nya. Siapa bilang Craig’s Bond ngga pake gadget keren?!
Dalam kemuraman cerita, gue curiga bahwa film ini adalah bagian kedua dari sebuah trilogy reboot James Bond, sekalipun di akhir film tidak dimunculkan satu pun clue yang mengarah ke direct sequel selanjutnya. Tapi orang yang belum selesai diinterogasi Bond pada awal film masih belum jelas nasibnya. Padahal masih sempat muncul sekilas di tengah-tengah cerita.
Masih ada yang mau menunggu Craig’s Bond selanjutnya?!
TAKUT (FACES OF FEAR): Bukan Horor Indonesia Pasaran
Judul:
Takut (Faces of Fear)
Sutradara:
7 Sutradara Muda Indonesia
Pemain:
Marcella Zalianty, Lukman Sardi, Dinna Olivia, Wiwied Gunawan, Shanty, Fauzi Baadillah, Shareefa Daanish, Eva Celia
Catatan:
Bukan satu film utuh nih, lebih mirip album kompilasi beberapa film pendek. Tagline-nya aja: 6 Cerita , 7 Sutradara, 1 Jeritan. Sebelum dikompilasi seperti ini, salah satunya pernah dirilis sendiri sebagai film pendek di salah satu festival film di Jakarta juga. Dan film itu, Dara, akan diadaptasi ulang menjadi film full feature berjudul Macabre oleh tim sutradara yang sama.
Takut adalah sedikit dari film horor yang gue tonton di bioskop. Dan dari sedikit film-film horor itu, semuanya adalah film Indonesia. Untuk film Indonesia aja gue bener-bener milih untuk ditonton di bioskop apalagi untuk film horornya. Khususnya untuk Takut ini, karena gue cukup penasaran dengan Dara, yang katanya adalah film genre horor slasher gore pertama yang pernah dibuat sineas Indonesia.
Nonton film ini di INAFFF 2007 ternyata adalah premier film ini sebelum pada minggu berikutnya diputar regular di bioskop yang sama. Berhubung diputar di festival semacam INAFFF, tiket yang berlaku untuk free seating alias duduknya milih sendiri; siapa cepat masuk dia boleh milih seat yang paling nyaman untuk dirinya.
Pintu auditoriumnya belum dibuka, tapi antrian sudah cukup panjang. Dus yang berisi selusin donat yang baru gue beli ternyata musti dititipin di CRO depan. Dan untungnya emang musti dititipin karena antrean penonton semakin bejubel. Dalam suasana gerah dan sedikit kesal dalam antrian, gue juga sekaligus terharu karena banyak juga yang antusias menonton film horor Indonesia yang sudah mulai disebut sebagai genre sampah di benak penonton film Indonesia (sekalipun masih tetep ada yang nekad mbayar untuk nonton sampah!).
Pintu auditorium dibuka dan setelah tiket disobek petugas, mulai deh pada berlari dengan niat memilih seat terbaik. Tapi dengan strategi yang tepat ditaruhnya 2 SPG rokok sponsor pas di tikungan sebelum sampe di deretan seat penonton. Minimal para pelari menjadi terganggu konsentrasinya sebentar. Gue dan istri berhasil dapat seat yang paling tengah sekalipun masih agak depan.
Dan setelah ada pembukaan sedikit dari panitia (tiap festival film emang biasa begitu), film dimulai dengan pemutaran film komedi pendek berjudul ‘Mengejar Untung’ yang merupakan karya pertama dari Ringgo Agus Rahman. Pemutaran film yang juga dihadiri sutradaranya ini cukup mendapat sambutan baik. Tapi koq buat gue lebih lucu behind the scene-nya (tayang bersamaan dengan end credit) dibanding filmya :D
Film Takut pun mulai. Begitu lampu mulai padam, baru sadar bahwa gue jarang banget nonton film horor di layar lebar. Bakalan jadi dark ride juga?
Satu per satu dari 6 film ditayangkan berturut-turut. Nuansa indie sangat terasa, terutama terpampang jelas dalam visual credit title-nya yang banyak memanfaatkan CGI yang kasar cenderung seadanya. Untungnya isi filmnya mengalahkan ‘bungkus’nya. Sekalipun beberapa idenya tidak lagi orisinal, tapi berani beda dengan tema-tema film horor yang ada di pasaran film Indonesia. Coba aja sebutin mahkluk ga’ib yang pernah muncul di film horor Indonesia, dijamin ngga ada satu pun yang muncul di 6 cerita ini. Malah di sini dimunculkan mahkluk horor yang nggak ‘umum’ di Indonesia yaitu zombie.
Dari 6 cerita yang ditampilkan, bukanlah Dara yang memukau gue. Malah Titisan Naya dan The List yang lebih menarik hati gue. Di segmen The List, sekalipun judulnya pake English tapi ceritanya di seputar tema santet yang dibalut komedi. Buat yang kepingin berasa thrill bakalan bete, tapi gue justru suka dengan temanya yang Indonesia banget, juga balutan komedinya yang sekaligus menyisipkan pesan moral yang cukup dalam.
Yang paling bagus buat gue ada di segmen Titisan Naya garapan Riri Riza. Film ini berhasil menggambarkan seperti apa kesurupan yang dekat sekali dengan kenyataan sehari-hari. Apa yang divisualkan di segmen itu pernah gue denger dari cerita mereka yang pernah kesurupan.
Terlepas dari serem ato enggaknya, film ini berani tampil beda. Bukan lagi genre sampah yang ada di pasaran. Semua filmnya tampil cukup baik. Dan beberapa cast-nya cukup asyik; seperti yang diperankan oleh Dinna Olivia, Wiwied Gunawan, Epy Kusnandar dan Shareefa Daanish (sekalipun gue dan istri sulit melepaskan image Daanish di salah satu serial komsit TV; “Mas Kosiiiimmm! Nasi gorengnya mana?”). Ngga bisa ditampik bahwa sepanjang waktu banyak gue kenali dari film mana aja ide-ide asli film ini. Tapi keberaniannya lah yang patut gue acungi jempol tinggi-tinggi.
Kalo sekarang gue denger film ini kurang laku di pemutaran regulernya, ada beberapa kemungkinan yang bisa aja berpengaruh; pendukung film Indonesia bermutu sudah nonton film ini di INAFFF, yang nonton di INAFFF sebagian besar kasi review negatif tentang film ini, penonton Indonesia belom terbiasa menonton film-film pendek, penonton Indonesai ngga kenal dengan sebagian besar tema yang diangkat di film ini, dan yang terakhir mungkin karena pemutaran regulernya cuma di bioskop yang punya jaringan terbatas dengan HTM-nya yang cukup mahal :D
Apa pun kendalanya, gue sih berdoa selalu untuk sineas Indonesia untuk selalu berani bikin film yang bermutu baik dan ngga cuma ngikutin pasar. Bikinlah yang beda supaya mudah-mudahan bisa jadi bahan belajar untuk penonton film Indonesia.
AKU: Warisan Besar Sineas Besar bagi Dunia Perfilman
Judul:
Aku
Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar
Penulis:
Sjuman Djaya
Penerbit:
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti: 1987
ISBN:
[979-3019-13-1]
Catatan:
Inilah buku yang sering terlihat dibaca oleh karakter Rangga, yang diperankan Nicholas Saputra, di Ada Apa Dengan Cinta. Katanya buku ini yang menginsipirasikan jiwa pemberontak dalam karakter Rangga selain buku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Kalo di film itu kayaknya Rangga lebih mencerminkan karakter Chairil Anwar yang dilukiskan dengan agak surealis dalam naskah scenario film yang dibukukan ini.
Buku ini adalah karya terakhir dari salah satu sutradara besar yang pernah berkarya dalam perfilman Indonesia. Mengambil setting Jakarta sesaat setelah meledaknya bom atom di Hiroshima sepertinya menjadi salah satu kendala besar untuk nantinya bisa mewujudkannya ke dalam film layar lebar. Belum lagi gaya penuturan ceritanya yang agak surealis, mungkin saja tidak mudah untuk diwujudkan menjadi film selain oleh si penulisnya sendiri.
Pernah dalam obrolan singkat dengan salah seorang putra penulis yang sekarang aktif dalam scoring film, Aksan Sjuman, gue menanyakan apakah ada niat untuk mewujudkan scenario ini ke dalam film. Aksan bilang hal itu bakal sulit untuk diwujudkan.
Rasa penasaran yang bikin gue mengulang membaca buku ini. Dan gue makin ngerti kenapa bakal sulit diwujudkan dalam film, kecuali diproduksi oleh perusahaan Hollywood atau Eropa dengan dana yang cukup.
Tapi dalam keterbatasan produksi media film Indonesia, gue jadinya terpikir untuk mengusulkan visualisasi scenario dalam buku ini ke dalam media graphic novel. Dan usul ini sudah gue sampaikan ke facebook-nya Aksan Sjuman.
Aku
Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar
Penulis:
Sjuman Djaya
Penerbit:
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti: 1987
ISBN:
[979-3019-13-1]
Catatan:
Inilah buku yang sering terlihat dibaca oleh karakter Rangga, yang diperankan Nicholas Saputra, di Ada Apa Dengan Cinta. Katanya buku ini yang menginsipirasikan jiwa pemberontak dalam karakter Rangga selain buku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Kalo di film itu kayaknya Rangga lebih mencerminkan karakter Chairil Anwar yang dilukiskan dengan agak surealis dalam naskah scenario film yang dibukukan ini.
Buku ini adalah karya terakhir dari salah satu sutradara besar yang pernah berkarya dalam perfilman Indonesia. Mengambil setting Jakarta sesaat setelah meledaknya bom atom di Hiroshima sepertinya menjadi salah satu kendala besar untuk nantinya bisa mewujudkannya ke dalam film layar lebar. Belum lagi gaya penuturan ceritanya yang agak surealis, mungkin saja tidak mudah untuk diwujudkan menjadi film selain oleh si penulisnya sendiri.
Pernah dalam obrolan singkat dengan salah seorang putra penulis yang sekarang aktif dalam scoring film, Aksan Sjuman, gue menanyakan apakah ada niat untuk mewujudkan scenario ini ke dalam film. Aksan bilang hal itu bakal sulit untuk diwujudkan.
Rasa penasaran yang bikin gue mengulang membaca buku ini. Dan gue makin ngerti kenapa bakal sulit diwujudkan dalam film, kecuali diproduksi oleh perusahaan Hollywood atau Eropa dengan dana yang cukup.
Tapi dalam keterbatasan produksi media film Indonesia, gue jadinya terpikir untuk mengusulkan visualisasi scenario dalam buku ini ke dalam media graphic novel. Dan usul ini sudah gue sampaikan ke facebook-nya Aksan Sjuman.
PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN: Bombardir Gagasan Penyetaraan Gender
Judul:
Perempuan Berkalung Sorban
Penulis:
Abidah El Khalieqy
Penerbit:
YKF dan the Ford Foundation: 2001
ISBN:
[978-979-15836-4-1]
Catatan:
Lagi mondar-mandir di toko buku yang lagi ngasi diskon karena re-opening, ngga sengaja gue liat buku ini bersandar di barisan paling bawah rak yang menjajarkan buku-buku fiksi. Ini dia novel yang bakal diangkat oleh Hanung Bramantyo (sutradara Ayat-Ayat Cinta) ke layar lebar. Dari pernyataan Hanung Bramantyo tentang project-nya kali ini bikin gue kepingin baca novelnya sebelum nanti liat filmnya.
Kayaknya novel ini adalah salah satu dari sedikit buku yang langsung gue baca ngga lama setelah gue beli! Bener loh, masih ada beberapa buku yang gue beli sebelom buku ini tapi sampe saat ini belom gue baca. Terdorong rasa penasaran juga karena supaya ngga keduluan rilis filmnya.
Novel yang ditulis oleh perempuan lulusan pesantren ini berhasil memukau gue dengan tuangan tema penyetaraan gender dengan tanpa basa basi dan tanpa tedeng aling-aling. Cerita yang didasari kehidupan dalam pesantren ini dengan lantang ‘berteriak-teriak’ tentang diskriminasi atas hak-hak perempuan yang didasari pemahaman picik atas ayat-ayat Qur’an.
Kayaknya novel ini bakal menyentak mereka (laki-laki maupun perempuan) yang mengaku memahami Al Qur’an hanya dengan sekedar membaca saja. Dan golongan inilah yang paling banyak jumlahnya dalam ratusan juta umat Muslim di seluruh dunia.
Tapi penuturan gugatan dalam novel ini yang mampu bikin gue terkagum-kagum dengan keberanian si penulis yang langsung maupun tidak langsung melabrak tradisi yang pernah mendidiknya sejak kecil. Cerita yang dituturkan secara linier ini ngga pernah berhenti membombardir pembacanya dengan gugatan kesetaraan gender. Buat gue rasanya seperti membaca kisah nyata, bukan seperti fiksi. Bisa jadi mungkin saja karena si penulis terlalu sibuk membombardir pembaca dengan gagasannya sehingga melupakan keindahan gaya penulisan sastra. Atau mungkin memang demikian ingin disampaikan penulis sehingga gagasan yang ingin disampaikan terasa langsung to the point, menohok, kering tapi juga terasa menjadi hal yang urgent yang harus segera ditangani.
Khususnya untuk perempuan, novel ini sepertinya mampu menginsipirasikan ketabahan dan ketegaran dalam dunia yang didominasi kaum pria tanpa mesti mendayu-dayu dan melarat-larat.
Perempuan Berkalung Sorban
Penulis:
Abidah El Khalieqy
Penerbit:
YKF dan the Ford Foundation: 2001
ISBN:
[978-979-15836-4-1]
Catatan:
Lagi mondar-mandir di toko buku yang lagi ngasi diskon karena re-opening, ngga sengaja gue liat buku ini bersandar di barisan paling bawah rak yang menjajarkan buku-buku fiksi. Ini dia novel yang bakal diangkat oleh Hanung Bramantyo (sutradara Ayat-Ayat Cinta) ke layar lebar. Dari pernyataan Hanung Bramantyo tentang project-nya kali ini bikin gue kepingin baca novelnya sebelum nanti liat filmnya.
Kayaknya novel ini adalah salah satu dari sedikit buku yang langsung gue baca ngga lama setelah gue beli! Bener loh, masih ada beberapa buku yang gue beli sebelom buku ini tapi sampe saat ini belom gue baca. Terdorong rasa penasaran juga karena supaya ngga keduluan rilis filmnya.
Novel yang ditulis oleh perempuan lulusan pesantren ini berhasil memukau gue dengan tuangan tema penyetaraan gender dengan tanpa basa basi dan tanpa tedeng aling-aling. Cerita yang didasari kehidupan dalam pesantren ini dengan lantang ‘berteriak-teriak’ tentang diskriminasi atas hak-hak perempuan yang didasari pemahaman picik atas ayat-ayat Qur’an.
Kayaknya novel ini bakal menyentak mereka (laki-laki maupun perempuan) yang mengaku memahami Al Qur’an hanya dengan sekedar membaca saja. Dan golongan inilah yang paling banyak jumlahnya dalam ratusan juta umat Muslim di seluruh dunia.
Tapi penuturan gugatan dalam novel ini yang mampu bikin gue terkagum-kagum dengan keberanian si penulis yang langsung maupun tidak langsung melabrak tradisi yang pernah mendidiknya sejak kecil. Cerita yang dituturkan secara linier ini ngga pernah berhenti membombardir pembacanya dengan gugatan kesetaraan gender. Buat gue rasanya seperti membaca kisah nyata, bukan seperti fiksi. Bisa jadi mungkin saja karena si penulis terlalu sibuk membombardir pembaca dengan gagasannya sehingga melupakan keindahan gaya penulisan sastra. Atau mungkin memang demikian ingin disampaikan penulis sehingga gagasan yang ingin disampaikan terasa langsung to the point, menohok, kering tapi juga terasa menjadi hal yang urgent yang harus segera ditangani.
Khususnya untuk perempuan, novel ini sepertinya mampu menginsipirasikan ketabahan dan ketegaran dalam dunia yang didominasi kaum pria tanpa mesti mendayu-dayu dan melarat-larat.
PARANOID: Psychological Story with a Happy Ending?
Judul:
Paranoid: The Story of A Madman
Penulis:
Patrick Suskind
diterjemahkan oleh Bima Sudiarto
Penerbit:
Jakarta: Dastan Books: 2007
ISBN:
[979-979-3972-19-0]
Catatan:
Baca novel singkat ini sebenernya ngga bikin gue tertarik bener-bener untuk ngikutin ceritanya. Gue lebih penasaran dengan ending-nya. Makanya gue baca terus novel ini sampai selesai.
Sebenernya sih ending-nya ngga nendang banget. Tapi kalo intens ngikutin dari halaman pertama, ending-nya bisa jadi terasa mengerikan! Karena bisa saja cerita yang dituturkan secara nyaris linier ini terjadi pada diri kita sendiri, terutama orang-orang introvert yang tinggal di kota-kota besar.
Meskipun tidak sampai menjadi psychological thriller, tapi bisa jadi cerita ini bakalan menggugah mereka yang introvert untuk lebih membuka diri. Buat gue yang dulu pernah introvert, cerita di novel ini sempet bikin merinding juga. Tapi mungkin ngga terlalu nendang karena terlalu singkat. Ato mungkin bisa juga karena translate-nya yang kurang pas?!
Paranoid: The Story of A Madman
Penulis:
Patrick Suskind
diterjemahkan oleh Bima Sudiarto
Penerbit:
Jakarta: Dastan Books: 2007
ISBN:
[979-979-3972-19-0]
Catatan:
Baca novel singkat ini sebenernya ngga bikin gue tertarik bener-bener untuk ngikutin ceritanya. Gue lebih penasaran dengan ending-nya. Makanya gue baca terus novel ini sampai selesai.
Sebenernya sih ending-nya ngga nendang banget. Tapi kalo intens ngikutin dari halaman pertama, ending-nya bisa jadi terasa mengerikan! Karena bisa saja cerita yang dituturkan secara nyaris linier ini terjadi pada diri kita sendiri, terutama orang-orang introvert yang tinggal di kota-kota besar.
Meskipun tidak sampai menjadi psychological thriller, tapi bisa jadi cerita ini bakalan menggugah mereka yang introvert untuk lebih membuka diri. Buat gue yang dulu pernah introvert, cerita di novel ini sempet bikin merinding juga. Tapi mungkin ngga terlalu nendang karena terlalu singkat. Ato mungkin bisa juga karena translate-nya yang kurang pas?!
KITAB SALAHUDDIN: Novel yang Menyengangkan dan Menyenangkan
Judul:
Kitab Salahuddin : sebuah novel
Judul asli: The book of Saladin
Pengarang:
Tariq Ali; penerjemah, Anton Kurnia
Penerbit:
Jakarta : Serambi, 2006,
ISBN:
[979-16-0088-0]
Catatan:
Awalnya ngga tertarik dengan buku ini karena gue suka apriori dengan buku/tulisan mengenai tokoh-tokoh besar Islam, padahal gue sendiri Muslim. Tapi setelah baca resensinya dan tau bahwa ini adalah novel fiksi yang didasari kehidupan Sultan Salahuddin pada masa perebutan Yerusalem, gue langsung jadi amat sangat tertarik.
Cerita perebutan Yerusalem digambarkan sebagai perang politik kekuasaan, bukanlah perang antar agama (emang kenyataannya sih begitu). Oleh Tariq Ali dilukiskan bahwa semua golongan di Timur Tengah dengan tidak membeda-bedakan Suku, Agama dan Ras bahu-membahu merebut Yerusalem dari kekuasaan Imperialis Eropa. Tariq Ali dengan berani melukiskan kehidupan pada masa itu dengan segamblang-gamblangnya. Tanpa tedeng aling-aling, meskipun juga tidak vulgar, Tariq Ali berani mengisahkan Ahli Sastra Kesultanan adalah seorang homoseks!
Kepahlawanan Sultan Salahuddin digambarkan begitu megah dan hebatnya. Tidak ketinggalan dilukiskan juga segala kearifan seorang Sultan besar dengan segala sisi manusiawinya yang mungkinjarang disebut dalam tulisan-tulisan lain mengenai Beliau. Novel ini menjadikan gue semakin mengagumi Sultan Salahuddin (setelah sebelumnya mengagumi karakternya di film Kingdom of Heaven) tanpa jadi mengkultuskan Beliau.
Kitab Salahuddin : sebuah novel
Judul asli: The book of Saladin
Pengarang:
Tariq Ali; penerjemah, Anton Kurnia
Penerbit:
Jakarta : Serambi, 2006,
ISBN:
[979-16-0088-0]
Catatan:
Awalnya ngga tertarik dengan buku ini karena gue suka apriori dengan buku/tulisan mengenai tokoh-tokoh besar Islam, padahal gue sendiri Muslim. Tapi setelah baca resensinya dan tau bahwa ini adalah novel fiksi yang didasari kehidupan Sultan Salahuddin pada masa perebutan Yerusalem, gue langsung jadi amat sangat tertarik.
Cerita perebutan Yerusalem digambarkan sebagai perang politik kekuasaan, bukanlah perang antar agama (emang kenyataannya sih begitu). Oleh Tariq Ali dilukiskan bahwa semua golongan di Timur Tengah dengan tidak membeda-bedakan Suku, Agama dan Ras bahu-membahu merebut Yerusalem dari kekuasaan Imperialis Eropa. Tariq Ali dengan berani melukiskan kehidupan pada masa itu dengan segamblang-gamblangnya. Tanpa tedeng aling-aling, meskipun juga tidak vulgar, Tariq Ali berani mengisahkan Ahli Sastra Kesultanan adalah seorang homoseks!
Kepahlawanan Sultan Salahuddin digambarkan begitu megah dan hebatnya. Tidak ketinggalan dilukiskan juga segala kearifan seorang Sultan besar dengan segala sisi manusiawinya yang mungkinjarang disebut dalam tulisan-tulisan lain mengenai Beliau. Novel ini menjadikan gue semakin mengagumi Sultan Salahuddin (setelah sebelumnya mengagumi karakternya di film Kingdom of Heaven) tanpa jadi mengkultuskan Beliau.
Death in Family: Part 2
Sabtu pagi selepas subuh waktu itu, berdering telpon rumah gue. Sejenak sebelum gue angkat, perasaan ngga enak udah muncul di hati. Dan benarlah, kabar duka yang sampai: salah seorang sahabat dari almarhum Bokap gue meninggal dunia!
Rasa kehilangan langsung semakin tajam menusuk perasaan. Gue nggak pernah mengenal secara dekat dengan keluarga Beliau, istri dan anak-anaknya, tapi Beliau malah sudah seperti Bokap gue sendiri. Beliau adalah partner Bokap dalam ‘mencari Tuhan’ dan nyaris tak terpisahkan dalam proses pencarian mereka. Almarhum Bokap selalu berlaku seperti kakak untuk Sang Sahabat, sekalipun Sang Sahabat berusia lebih tua darinya. Karakter mereka hampir mirip sekalipun Sang Sahabat lebih lugas dalam berlaku dan menyampaikan sesuatu. Beliau juga yang menjadi salah satu saksi waktu gue menjadi Mu’allaf, mengucapkan syahadat di salah satu mesjid besar di Jakarta. Dengan Beliau juga gue bisa berdiskusi tentang apa pun seperti diskusi-diskusi lainnya yang pernah gue lakukan dengan almarhum Bokap.
Semakin terasa sedih karena beberapa bulan terakhir gue ngga pernah secara langsung kontak dengan Beliau. Padahal ngga jarang sebelumnya gue sering bertelepon ataupun bertukar pesan singkat di ponsel. Saat Hari Raya kemarin gue memang mendapat kabar bahwa beliau sedang sakit. Hanya saja gue sebatas menduga penyakit diabetes yang memang diderita Beliau sejak lama itu sedang kumat sementara saja.
Sebagai wakil keluarga, segera saja gue siap-siap berangkat menuju rumah duka di kawasan Bulak Kapal, Bekasi Timur. Jarak yang jauh rasanya pingin segera gue habisi supaya bisa segera sampai ke sana. Gue kontak semua sahabat Bokap dengan harapan bisa berangkat bersama. Akhirnya di Terminal Bis Grogol bisa juga berangkat bersama salah seorang sahabat Bokap. Lalu lintas Sabtu pagi itu cukup bersahabat, jarak yang cukup jauh pun dapat ditempuh dengan nyaman dan lancar sekalipun hanya dengan menumpang angkutan umum.
Sepanjang perjalanan yang terasa jadi singkat itu, gue banyak ngobrol dengan sahabat Bokap itu. Salah satu topik di antaranya adalah kejadian-kejadian sebelum Sang Sahabat meninggal yang bisa jadi merupakan pertanda bahwa Beliau akan meninggal dunia. Dan kejadian-kejadian itu mirip dengan kejadian-kejadian sebelum Bokap gue meninggal dunia. Selain kejadian-kejadian pertanda tersebut, kami juga sedikit membahas kejadian-kejadian yang bisa dianggap mistis seputar kematian Sang Sahabat. Namun hal itu sebatas intermezzo saja.
Kami sampai juga di rumah duka sekitar pukul 8.30. Ternyata sahabat-sahabat lainnya sudah juga berdatangan. Dan seperti di waktu-waktu lalu, kala mereka berkumpul tidak pernah menjadi suasana duka ataupun bersedih. Malah mereka cenderung ceria. Mungkin aneh dalam suasana duka di rumah itu. Tapi mereka selalu percaya bahwa semua kejadian adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, sehingga tidak perlu lagi ditangisi. Mereka semua pun percaya bahwa Sang Sahabat meninggal dunia dalam keyakinan iman terbaiknya. Sekalipun secara lahiriah, kehidupan Sang Sahabat masih cukup berat karena anak-anaknya masih terlalu muda untuk ditinggalkan.
Sambil ngumpul, gue denger cerita bahwa Almarhum pada minggu-minggu terakhir dalam hidupnya masih sempat menyaksikan film Laskar Pelangi. Dan Beliau amat sangat menyukai film tersebut!! Beberapa Sahabat lainnya sempat bercerita bahwa pada hari-hari akhirnya Beliau sibuk menceritakan segala kebaikan dan keindahan film tersebut kepada semua Sahabat yang menjenguknya di rumah. Dan seperti biasanya, Beliau tidak akan bisa dipotong apabila sedang menceritakan sesuatu yang menurutnya baik dan bagus.
Gue langsung terkenang Almarhum Bokap yang selalu jadi teman berdiskusi tentang apa aja, yang kepergiannya bikin gue kehilangan tempat cerita kalo gue habis nonton film bagus ato selesai baca buku bagus. Kami ngga pernah habis berdiskusi soal film The Godfather. Yang menarik kami pernah berdiskusi panjang tentang inti cerita novel The Da Vinci Code, yang pada saat itu gue masih memeluk ada Kristen Katholik. Kami mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan logis yang disampaikan novel itu.
Di Bulak Kapal gue mendapat kabar duka lagi. Ponsel gue berdering dan ternyata salah satu sepupu jauh mengabarkan Pak De meninggal dunia pagi itu juga sekitar pukul 5 dan akan disemayamkan siang itu di rumah duka di kawasan Pamulang. Dan segera kabar itu gue teruskan ke Nyokap di rumah. Saat itu rasanya pingin gue membelah diri supaya bisa hari di dua rumah duka pada saat yang bersamaan. Jarak yang jauh membentang antara Bulak Kapal dan Pamulang. Terbayang ngga akan sempat terkejar kalau saja gue berniat menyambangi jenazah Pak De di Pamulang setelah pemakaman Sang Sahabat di Bulak Kapal.
Pada saatnya dulu, kami sekeluarga pernah cukup dekat dengan Pak De. Bahkan Almarhum Bokap sempat menganggap Pak De sebagai panutan yang perlu dicontoh. Ada kalanya dulu Bokap selalu betah berlama-lama di rumah Pak De. Gue yang waktu itu masih kecil ngga terlalu memperhatikan sih, yang penting bisa seneng-seneng di rumah bagus berfasilitas lengkap. Sekalipun sudah sejak lama juga Bokap ngga lagi menganggap Pak De sebagai panutan, tapi hubungan mereka dan keluarga tetap baik selayaknya saudara dalam sebuah keluarga besar. Terakhir kali Beliau masih sempat mewakili keluarga besar Kartowidjojo menyampaikan beberapa patah kata di pemakaman Bokap.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Pak De menderita sakit kanker usus. Sudah beberapa kali kami mendapat kabar Pak De sempat diarawat di rumah sakit. Karena keterbatasan sumber daya, kami sekeluarga belum bisa menjenguk Beliau. Tapi beberapa kali gue masih sempat bertukar pesan singkat melalui ponsel. Nomor ponsel Beliau banyak sekali.
Tenang-tenang gue di Bulak Kapal menunggu proses pemakaman Sang Sahabat. Sementara itu, ternyata kabar tentang proses perjalanan jenazah Pak De ke Pamulang masih simpang siur. Dari kabar awal, jenazah Pak De ditemukan meninggal di Ancol. Dan dari sana akan dibawa ke RSCM lebih dulu. Pamulang – Ancol kan jauh?! Di Ancol mana ada rumah sakit. Mungkin karena ditemukan meninggal jadi jenazahnya mesti divisum di RSCM.
Nyokap masih sempat menelpon Bu De untuk menyampaikan bela sungkawa dan menanyakan kabar. Dari cerita Nyokap, Bu De seperti terburu-buru dan agak misterius. Entah apa yang sebenarnya terjadi ya?!
Langsung maupun tidak langsung, gue melarang Nyokap dan anggota rumah gue untuk berangkat melayat ke Pamulang. Kami belum pernah sekalipun ke rumah Pak De di Pamulang. Apalagi sisa anggota keluarga gue di rumah perempuan semua; Nyokap, Istri gue dan Adik gue. Ngga mungkin gue membiarkan mereka perempuan bertiga berangkat ke Pamulang dengan tujuan yang belum pernah mereka sambangi sebelumnya. Kami cuma bisa menunggu kabar lebih lanjut tentang jenazah Pak De.
Sambil menunggu sana dan sini, setelah dipikir-pikir lalu gue berkesimpulan bahwa semua yang terjadi memang seperti disesuaikan dengan apa yang pernah kita perbuat sebelumnya. Siapa pun kita yang hidup pasti terkait dengan semua mahkluk di sekitar kita.
Kenapa kabar meninggalnya Pak De baru sampai setelah gue tiba di Bulak Kapal?? Kalo aja kabar kematian Pak De gue terima duluan, mungkin aja kan gue saat itu udah sampai di Pamulang ato minimal gue lagi nunggu visum jenazah di RSCM?! Jelas-jelas Pak De itu masih ada hubungan darah, sekalipun Beliau ‘cuma’ sepupu Almarhum Bokap. Sedangkan saat itu gue sedang melayat ke rumah Sahabat Bokap yang tidak ada hubungan darah sama sekali.
Dari sisi perjalanan ke rumah duka pun koq bisa gue lancar-lancar aja sampai ke Bulak Kapal dan masih sempat ketemuan dulu dengan salah seorang Sahabat Bokap lainnya. Sedangkan untuk ke Pamulang, seperti jauh langkah. Bukannya gue menyalahkan saudara-saudara lain yang seperti sibuk sendiri, tapi sepertinya kepastian informasi keberadaan jenazah Pak De minim sekali.
Belakangan kami baru tahu bahwa jenazah Pak De masih divisum di RSCM sampe pukul 4 sore. Andai saja informasi ini bisa segera kami ketahui, mungkin aja kan gue bisa menyusul ke sana.
Yah bisa jadi banyak kesalahan gue yang tidak aktif mencari tahu informasi keberadaan jenazah Pak De. Dan bukan juga minta dimaklumi bahwa hari itu gue cukup lelah karena pada pukul setengah enam pagi sudah mulai berangkat ke Bulak Kapal.
Mohon ma’af kepada semuanya apabila gue seperti memilih-milih saudara. Mohon ma’af karena kurang kuatnya usaha gue untuk bisa hadir melayat jenazah Pak De.
Sepanjang hari di Bulak Kapal, gue ngga jadi terus murung karena sekali lagi ditinggal oleh sosok yang mirip sekali dengan Bokap. Sepanjang hari itu gue malah banyak senyum dan penuh canda. Rasa suka cita malah memenuhi perasaan karena gue bisa sekali lagi berkumpul dengan Sahabat-sahabat Bokap. Ada rasa haru, tapi tidak sampai menitikkan air mata.
Tapi rasa kehilangan memang ngga bisa dibuat-buat. Sampai di rumah, teringat lagi Sang Sahabat yang amat sangat menyukai film Laskar Pelangi. Dan begitu lagu-lagu dari film itu gue dengerin di depan PC, mulailah gue terisak. Gue mulai menangisi kepergian Beliau. Dan semakin menangis karena teringat kedekatan Beliau dengan Bokap. Dan lagu yang terngiang di telinga menjadi:
“………..fly me up to where you are beyond the distant star……..
…………I wish upon tonight to see you smile…………….
………….it’s only for a while to know your there………….
………….a breath away not far to where you are…………….” *)
*) ‘To Where You Are’ by Josh Groban
PS:
Nulis judulnya gue hati-hati banget deh, karena gue inget komentar-komentar kocak almarhum Bokap gue. Dia selalu ngeledekin judul-judul sinetron nekad yang dibuat berpanjang-panjang sampai jadi season 2 dan seterusnya. Contohnya, dulu pernah ada sinetron yang judulnya ‘Jalan Lain ke Sana’. Trus deh karena dianggap laku, biasa deh jadilah season 2 sinetron itu dengan judul ‘Jalan Lain ke Sana 2’. Dan almarhum Bokap gue dengan santai membaca judul tersebut jadi ‘Jalan Lain ke Sana-sana’ :D
Rasa kehilangan langsung semakin tajam menusuk perasaan. Gue nggak pernah mengenal secara dekat dengan keluarga Beliau, istri dan anak-anaknya, tapi Beliau malah sudah seperti Bokap gue sendiri. Beliau adalah partner Bokap dalam ‘mencari Tuhan’ dan nyaris tak terpisahkan dalam proses pencarian mereka. Almarhum Bokap selalu berlaku seperti kakak untuk Sang Sahabat, sekalipun Sang Sahabat berusia lebih tua darinya. Karakter mereka hampir mirip sekalipun Sang Sahabat lebih lugas dalam berlaku dan menyampaikan sesuatu. Beliau juga yang menjadi salah satu saksi waktu gue menjadi Mu’allaf, mengucapkan syahadat di salah satu mesjid besar di Jakarta. Dengan Beliau juga gue bisa berdiskusi tentang apa pun seperti diskusi-diskusi lainnya yang pernah gue lakukan dengan almarhum Bokap.
Semakin terasa sedih karena beberapa bulan terakhir gue ngga pernah secara langsung kontak dengan Beliau. Padahal ngga jarang sebelumnya gue sering bertelepon ataupun bertukar pesan singkat di ponsel. Saat Hari Raya kemarin gue memang mendapat kabar bahwa beliau sedang sakit. Hanya saja gue sebatas menduga penyakit diabetes yang memang diderita Beliau sejak lama itu sedang kumat sementara saja.
Sebagai wakil keluarga, segera saja gue siap-siap berangkat menuju rumah duka di kawasan Bulak Kapal, Bekasi Timur. Jarak yang jauh rasanya pingin segera gue habisi supaya bisa segera sampai ke sana. Gue kontak semua sahabat Bokap dengan harapan bisa berangkat bersama. Akhirnya di Terminal Bis Grogol bisa juga berangkat bersama salah seorang sahabat Bokap. Lalu lintas Sabtu pagi itu cukup bersahabat, jarak yang cukup jauh pun dapat ditempuh dengan nyaman dan lancar sekalipun hanya dengan menumpang angkutan umum.
Sepanjang perjalanan yang terasa jadi singkat itu, gue banyak ngobrol dengan sahabat Bokap itu. Salah satu topik di antaranya adalah kejadian-kejadian sebelum Sang Sahabat meninggal yang bisa jadi merupakan pertanda bahwa Beliau akan meninggal dunia. Dan kejadian-kejadian itu mirip dengan kejadian-kejadian sebelum Bokap gue meninggal dunia. Selain kejadian-kejadian pertanda tersebut, kami juga sedikit membahas kejadian-kejadian yang bisa dianggap mistis seputar kematian Sang Sahabat. Namun hal itu sebatas intermezzo saja.
Kami sampai juga di rumah duka sekitar pukul 8.30. Ternyata sahabat-sahabat lainnya sudah juga berdatangan. Dan seperti di waktu-waktu lalu, kala mereka berkumpul tidak pernah menjadi suasana duka ataupun bersedih. Malah mereka cenderung ceria. Mungkin aneh dalam suasana duka di rumah itu. Tapi mereka selalu percaya bahwa semua kejadian adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, sehingga tidak perlu lagi ditangisi. Mereka semua pun percaya bahwa Sang Sahabat meninggal dunia dalam keyakinan iman terbaiknya. Sekalipun secara lahiriah, kehidupan Sang Sahabat masih cukup berat karena anak-anaknya masih terlalu muda untuk ditinggalkan.
Sambil ngumpul, gue denger cerita bahwa Almarhum pada minggu-minggu terakhir dalam hidupnya masih sempat menyaksikan film Laskar Pelangi. Dan Beliau amat sangat menyukai film tersebut!! Beberapa Sahabat lainnya sempat bercerita bahwa pada hari-hari akhirnya Beliau sibuk menceritakan segala kebaikan dan keindahan film tersebut kepada semua Sahabat yang menjenguknya di rumah. Dan seperti biasanya, Beliau tidak akan bisa dipotong apabila sedang menceritakan sesuatu yang menurutnya baik dan bagus.
Gue langsung terkenang Almarhum Bokap yang selalu jadi teman berdiskusi tentang apa aja, yang kepergiannya bikin gue kehilangan tempat cerita kalo gue habis nonton film bagus ato selesai baca buku bagus. Kami ngga pernah habis berdiskusi soal film The Godfather. Yang menarik kami pernah berdiskusi panjang tentang inti cerita novel The Da Vinci Code, yang pada saat itu gue masih memeluk ada Kristen Katholik. Kami mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan logis yang disampaikan novel itu.
Di Bulak Kapal gue mendapat kabar duka lagi. Ponsel gue berdering dan ternyata salah satu sepupu jauh mengabarkan Pak De meninggal dunia pagi itu juga sekitar pukul 5 dan akan disemayamkan siang itu di rumah duka di kawasan Pamulang. Dan segera kabar itu gue teruskan ke Nyokap di rumah. Saat itu rasanya pingin gue membelah diri supaya bisa hari di dua rumah duka pada saat yang bersamaan. Jarak yang jauh membentang antara Bulak Kapal dan Pamulang. Terbayang ngga akan sempat terkejar kalau saja gue berniat menyambangi jenazah Pak De di Pamulang setelah pemakaman Sang Sahabat di Bulak Kapal.
Pada saatnya dulu, kami sekeluarga pernah cukup dekat dengan Pak De. Bahkan Almarhum Bokap sempat menganggap Pak De sebagai panutan yang perlu dicontoh. Ada kalanya dulu Bokap selalu betah berlama-lama di rumah Pak De. Gue yang waktu itu masih kecil ngga terlalu memperhatikan sih, yang penting bisa seneng-seneng di rumah bagus berfasilitas lengkap. Sekalipun sudah sejak lama juga Bokap ngga lagi menganggap Pak De sebagai panutan, tapi hubungan mereka dan keluarga tetap baik selayaknya saudara dalam sebuah keluarga besar. Terakhir kali Beliau masih sempat mewakili keluarga besar Kartowidjojo menyampaikan beberapa patah kata di pemakaman Bokap.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Pak De menderita sakit kanker usus. Sudah beberapa kali kami mendapat kabar Pak De sempat diarawat di rumah sakit. Karena keterbatasan sumber daya, kami sekeluarga belum bisa menjenguk Beliau. Tapi beberapa kali gue masih sempat bertukar pesan singkat melalui ponsel. Nomor ponsel Beliau banyak sekali.
Tenang-tenang gue di Bulak Kapal menunggu proses pemakaman Sang Sahabat. Sementara itu, ternyata kabar tentang proses perjalanan jenazah Pak De ke Pamulang masih simpang siur. Dari kabar awal, jenazah Pak De ditemukan meninggal di Ancol. Dan dari sana akan dibawa ke RSCM lebih dulu. Pamulang – Ancol kan jauh?! Di Ancol mana ada rumah sakit. Mungkin karena ditemukan meninggal jadi jenazahnya mesti divisum di RSCM.
Nyokap masih sempat menelpon Bu De untuk menyampaikan bela sungkawa dan menanyakan kabar. Dari cerita Nyokap, Bu De seperti terburu-buru dan agak misterius. Entah apa yang sebenarnya terjadi ya?!
Langsung maupun tidak langsung, gue melarang Nyokap dan anggota rumah gue untuk berangkat melayat ke Pamulang. Kami belum pernah sekalipun ke rumah Pak De di Pamulang. Apalagi sisa anggota keluarga gue di rumah perempuan semua; Nyokap, Istri gue dan Adik gue. Ngga mungkin gue membiarkan mereka perempuan bertiga berangkat ke Pamulang dengan tujuan yang belum pernah mereka sambangi sebelumnya. Kami cuma bisa menunggu kabar lebih lanjut tentang jenazah Pak De.
Sambil menunggu sana dan sini, setelah dipikir-pikir lalu gue berkesimpulan bahwa semua yang terjadi memang seperti disesuaikan dengan apa yang pernah kita perbuat sebelumnya. Siapa pun kita yang hidup pasti terkait dengan semua mahkluk di sekitar kita.
Kenapa kabar meninggalnya Pak De baru sampai setelah gue tiba di Bulak Kapal?? Kalo aja kabar kematian Pak De gue terima duluan, mungkin aja kan gue saat itu udah sampai di Pamulang ato minimal gue lagi nunggu visum jenazah di RSCM?! Jelas-jelas Pak De itu masih ada hubungan darah, sekalipun Beliau ‘cuma’ sepupu Almarhum Bokap. Sedangkan saat itu gue sedang melayat ke rumah Sahabat Bokap yang tidak ada hubungan darah sama sekali.
Dari sisi perjalanan ke rumah duka pun koq bisa gue lancar-lancar aja sampai ke Bulak Kapal dan masih sempat ketemuan dulu dengan salah seorang Sahabat Bokap lainnya. Sedangkan untuk ke Pamulang, seperti jauh langkah. Bukannya gue menyalahkan saudara-saudara lain yang seperti sibuk sendiri, tapi sepertinya kepastian informasi keberadaan jenazah Pak De minim sekali.
Belakangan kami baru tahu bahwa jenazah Pak De masih divisum di RSCM sampe pukul 4 sore. Andai saja informasi ini bisa segera kami ketahui, mungkin aja kan gue bisa menyusul ke sana.
Yah bisa jadi banyak kesalahan gue yang tidak aktif mencari tahu informasi keberadaan jenazah Pak De. Dan bukan juga minta dimaklumi bahwa hari itu gue cukup lelah karena pada pukul setengah enam pagi sudah mulai berangkat ke Bulak Kapal.
Mohon ma’af kepada semuanya apabila gue seperti memilih-milih saudara. Mohon ma’af karena kurang kuatnya usaha gue untuk bisa hadir melayat jenazah Pak De.
Sepanjang hari di Bulak Kapal, gue ngga jadi terus murung karena sekali lagi ditinggal oleh sosok yang mirip sekali dengan Bokap. Sepanjang hari itu gue malah banyak senyum dan penuh canda. Rasa suka cita malah memenuhi perasaan karena gue bisa sekali lagi berkumpul dengan Sahabat-sahabat Bokap. Ada rasa haru, tapi tidak sampai menitikkan air mata.
Tapi rasa kehilangan memang ngga bisa dibuat-buat. Sampai di rumah, teringat lagi Sang Sahabat yang amat sangat menyukai film Laskar Pelangi. Dan begitu lagu-lagu dari film itu gue dengerin di depan PC, mulailah gue terisak. Gue mulai menangisi kepergian Beliau. Dan semakin menangis karena teringat kedekatan Beliau dengan Bokap. Dan lagu yang terngiang di telinga menjadi:
“………..fly me up to where you are beyond the distant star……..
…………I wish upon tonight to see you smile…………….
………….it’s only for a while to know your there………….
………….a breath away not far to where you are…………….” *)
*) ‘To Where You Are’ by Josh Groban
PS:
Nulis judulnya gue hati-hati banget deh, karena gue inget komentar-komentar kocak almarhum Bokap gue. Dia selalu ngeledekin judul-judul sinetron nekad yang dibuat berpanjang-panjang sampai jadi season 2 dan seterusnya. Contohnya, dulu pernah ada sinetron yang judulnya ‘Jalan Lain ke Sana’. Trus deh karena dianggap laku, biasa deh jadilah season 2 sinetron itu dengan judul ‘Jalan Lain ke Sana 2’. Dan almarhum Bokap gue dengan santai membaca judul tersebut jadi ‘Jalan Lain ke Sana-sana’ :D
SHOCKER: Pure Heavy Metal Horror!
Title:
Shocker
Director:
Wes Craven
Writer:
Wes Craven
Casts:
Michael Murphy, Peter Berg, Mitch Pileggi, Sam Scarber, Camille Cooper, Ted Raimi
Plot:
A murderous TV repairman, Horace Pinker (Mitch Pileggi) is killing people in a small town left, right and center. He eventually finds the home of Lt. Parker (Michael Murphy), who is investigating his crimes, and savagely murders Parker's wife, son and daughter. His other son, Jonathan (Peter Berg) has a strange connection to Pinker through his dreams, and he directs his father to Pinker's business, where a small group of officers enter. Pinker escapes in a horrific spree, killing four officers and then targeting Jonathan's girlfriend, Alison. Another dream leads Jonathan and his dad to a residence where they catch Pinker in in the act of kidnapping. Pinker is arrested after a fight with Jonathan and sentenced to die in the electric chair. When executed, Pinker - who supposedly had given his soul to the devil in exchange for the power to come back as an energy source - takes over people's bodies and continues committing murders, until Jonathan devises a plan to bring Pinker into the real world, and then cut off his power source
Note:
Belom lama ini gue dapet DVD salah satu film masa kecil gue. Ngga kecil-kecil amat sih, lebih kurangnya masa esempe lah. Gue sempet nonton film ini di bioskop dulu. Sambil jalan pulang sekolah, mampir bentar ke bioskop.
Waktu itu film ini tepat banget rilisnya pada masa musik Heavy Metal sedang dalam musimnya. Soundtrack-nya yang dipenuhi musik Heavy Metal dengan cerita horor gaya baru, film ini cukup menyita perhatian gue untuk beberapa waktu. Bahkan untuk musiknya cukup lama jadi referensi musikal gue.
Gue bilang cerita horornya gaya baru, karena mengganti mitos-mitos horor kuno dengan televisi sebagai sumber kekuatan jahat yang baru. Sekalipun gimmick-nya tetep mengacu kepada film-film horor lama, tapi sepertinya Wes Craven mau menyindir keberadaan televisi sebagai kekuatan yang lebih menakutkan dibandingkan Dracula.
Terselip juga rasa mistis dari Asia yang lebih tidak logis daripada horor Eropa/Amerika. Tapi film ini juga bisa dijadikan salah satu pengusung slasher horror yang cukup gory pada masa itu. Pertama kali nonton film ini, gue merasa ‘terjebak’ dalam dinding gelap bioskop. Gue harus liat film horor yang gory dalam gelap (sampe sekarang gue paling jarang nonton film horor di bioskop) dengan musik Heavy Metal yang juga menyeramkan!
Sekalipun menyeramkan, tapi ending film ini terasa agak konyol. Tapi secara keseluruhan gue ngga pernah menyesal menontonnya.
DEATH RACE: In Near Future of Speed and Action
Title:
Death Race
Director:
Paul W.S. Anderson
Writer:
Paul W.S. Anderson (screenplay)
Casts:
Jason Statham, Joan Allen, Ian McShane, Tyrese Gibson, Natalie Martinez, Max Ryan, Jacob Vargas
Plot:
Ex-con Jensen Ames is forced by the warden of a notorious prison to compete in our post-industrial world's most popular sport: a car race in which inmates must brutalize and kill one another on the road to victory.
Note:
Ngga tau kenapa, gue kepingin banget liat film ini. Mungkin karena gue pernah liat versi aslinya, Death Race 2000, berpuluh tahun yang lalu. Seperti ada rasa penasaran untuk liat seperti apa remake-nya. Dan waktu nonton film ini, ternyata bukan sepenuhnya remake tapi mungkin terinspirasi oleh Death Race 2000 yang rilis awal 70-an itu.
Secara umum, film ini enak ditonton. Kalo liat visualnya sepertinya film ini diangkat dari sebuah game. Gue ngga tau apakah memang game seperti ini pernah dibuat sebelumnya. Sekalipun ceritanya tentang kondisi masa depan, gue cukup bisa diyakinkan bahwa cerita semacam ini ngga ngarang-ngarang amat. Bisa aja nanti kejadian seperti di film ini. Mungkin ngga in near future. Mungkin di post apocalyptic future.
TENACIOUS D IN PICK OF DESTINY: Heavy Metal Sing A Long and Laugh Out Loud!!
Tenacious D in Pick of Destiny
Director:
Liam Lynch
Writers:
Jack Black, Kyle Gass
Casts:
Jack Black, Kyle Gass, JR Reed, Ronnie James Dio, Paul F. Tompkins, Troy Gentile, Amy Poehler, Tim Robbins, David Grohl, Ben Stiller
Plot:
This is the story of a friendship that changes the course of rock history forever, of the fateful collision of minds between JB and KG that led to the creation of the precedent-shattering band Tenacious D, and of the two heroes' quest to find the fabled Guitar Pick Of Destiny
Note:
Kadang-kadang gue tuh aneh, mau nonton film komedi aja kudu nyari mood yang pas. Sebenernya sih, mau nonton film apa pun gue lebih sering nyari mood yang pas. Seperti juga nonton film ini. Padahal gue punya DVD-nya udah lama banget. Dan lucunya gue lupa mood semacam apa yang bisa bikin gue kepingin nonton film ini :D
Awalnya gue kira bakal seperti film-film komedi Jack Black lainnya. Tapi setelah gue tonton, film ini jadi film cult buat gue. Beberapa unsur favorit gue ngumpul di film ini, di antaranya: musical, singing dialog dan heavy metal!! Kayaknya belom pernah liat film heavy metal musical yang selucu ini. Dari awal film ini komikal banget. Heavy Metal yang sedang turun pamor dibikin sebagai latar perjuangan prinsipil bagi pecinta fanatiknya dengan segala gimmick-nya, termasuk bersekutu dengan setan.
Bersekutu dengan setan?! Iya beneran ada difilm ini. Tapi jangan kuatir, justru malah setan yang jadi bulan-bulanan oleh duet Heavy Metal yang ngga ada keren-kerennya itu.
Tema memperjuangkan musik yang dicintainya selalu menjadi favorit gue. Tema semacam itu serasa dekat dengan musikalitas gue (jadi teringat beberapa film musik dan musical yang masih belom gue tonton). Apalagi di film ini disampaikan secara sangat menghibur dengan dilatari salah satu jenis musik yang ikut mewarnai masa pendewasaan gue.
Sepertinya kalo Bokap gue masih hidup bakalan terhibur juga dengan film ini.
FORBIDDEN KINGDOM: Chinese Heroes United
Title:
Forbidden Kingdom
Director:
Rob Minkoff
Writer:
John Fusco
Casts:
Jet Li, Michael Angarano, Jackie Chan, Yifei Liu, Collin Chou, Juana Collignon, Morgan Benoit, Bingbing Li
Plot:
An American teenager who is obsessed with Hong Kong cinema and kung-fu classics makes an extraordinary discovery in a Chinatown pawnshop: the legendary stick weapon of the Chinese sage and warrior, the Monkey King. With the lost relic in hand, the teenager unexpectedly finds himself traveling back to ancient China to join a crew of warriors from martial arts lore on a dangerous quest to free the imprisoned Monkey King.
Note:
Gue yang ngga pernah mau kejebak film yang dipenuhi bintang-bintang ternama, memang sejak awal ngga terlalu tertarik nonton film ini. Tapi akhirnya sambil nganggur (dan bingung mau nonton film apa!) gue tertarik juga liat film ini. Dan gue ngga menyesalinya :D
Termasuk film yang ringan dari segi cerita. Plotnya seperti film-film kungfu lainnya yang berlatarkan mustika atau benda-benda magis kungfu lainnya. Dengan imbuhan special effect ala Hollywood, film ini jadi indah secara visual.
Tapi yang paling menarik film jadi ajang kumpul-kumpul jagoan perfilman kungfu. Jackie Chan dan Jet Lee tentunya sudah sejak lama menjadi nama besar di genre action kungfu. Ditambah kehadiran Yuen Woo Ping yang sudah kawakan dalam fighting choreography.
Belum lagi, film ini seperti menjadi rangkuman film-film kungfu jadul. Hampir semua jurus-jurus kungfu yang pernah gue liat di film-film kungfu old school ditampilan di sini, termasuk jurus Dewa Mabok!
Buat gue yang paling menyenangkan adalah adegan pertarungan Jackie Chan versus Jet Lee. Sekalipun bukanlah sebuah pertarungan puncak, apalagi pertarungan hidup-mati, gue menikmati banget pertarungan Wong Fei Hung versus Wong Fei Hung. Tokoh legendaris China ini sewaktu muda diperankan oleh Jackie Chan dalam film Drunken Master dan dalam kurun waktu perjuangan melawan bangsa Eropa diperankan oleh Jet Lee dalam serial film Kungfu Master.
Gue nyaris ngga memedulikan cerita film ini karena asyik terbuai romantisme film-film kungfu old school.
BODY OF LIES: World Police: Behind the Scene
Title:
Body of Lies
Director:
Ridley Scott
Writers:
William Monahan (screenplay)
David Ignatius (novel)
Casts:
Leonardo DiCaprio, Russell Crowe, Mark Strong, Golshifteh Farahani, Oscar Isaac, Ali Suliman
Plot:
Roger Ferris (Leonardo DiCaprio) is a covert CIA operative working in Jordan searching for terrorists who have been bombing civilian targets. Ferris uncovers information on the Islamist mastermind Al-Saleem (Alon Aboutboul). He devises a plan to infiltrate Al-Saleem's terrorist network with the help of his boss back in Langley, Ed Hoffman (Russell Crowe). Ferris enlists the help of the Chief of Jordanian Intelligence, Hani Salaam (Mark Strong) on this operation, but he doesn't know how far he can trust him without putting his life in danger. The uneasy alliance leads to a cultural and moral clash between the men.
Note:
Udah lama juga ngga nonton di bioskop murah! Sambil nunggu waktu acara ngumpul-ngumpul ya sekalian aja nonton bioskop sebentaran.
Sejak liat trailernya, gue cukup tertarik nonton film ini. Dari trailernya sih keliatan kalo film ini tensi tinggi dan dilatari cerita spionase yang cukup seru. Sekalipun nonton dengan agak mendongak (gue paling benci duduk di posisi depan kalo di bioskop murah kayak gini) tapi gue masih cukup bisa menikmati tensi film ini.
Spionase di sini digambarkan cukup membumi, cukup dekat dengan kenyataan. Ngga ada agen rahasia yang perlente, sekalipun tetep canggung untuk berbaur dengan lingkungan sekitarnya; secara dia tinggi dan bule yang musti secara intens memata-matai di salah satu negara Arabia. Mampu berbahasa lokal dengan fasih pun ngga bikin dia jadi gampang melaksanakan tugasnya. Sang target utama tetep jauh lebih jago strategi dengan selusin kaki tangannya.
Sekalipun ngga melulu adegan aksi spionase, film ini tetep menjaga tensinya di beberapa adegan ‘drama’ dengan dialog-dialog ‘politis’nya
Asyik juga liat cara kerja mata-mata di film ini. Sebenernya sih seneng liat kerjaan komandannya yang kelewat nyantai ngurusin spionnya dan seenak perutnya ngasi komando. Sementara si mata-mata nemuin kondisi lapangan yang jauh banget dengan ‘template’ yang disiapin dari ‘kantor pusat’. Kondisi kayak gini jadi inget kerjaan gue sehari-hari :D
Karakter di film ini ngga digambarkan murni hitam dan putih. Nyaris semuanya dalam naungan karakter yang abu-abu. Komandan dan anak buahnya aja masing-masing punya kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang dengan tugas mereka. Bantuan yang disediakan menurut ‘template’ kerja mereka pun tidak sesuai job desc ‘yang seharusnya’. Sampai-sampai gue berpikir, ini spionase ato politik?!
Tapi kalo diliat dari latar belakang cerita, akhirnya gue ngerti juga bahwa spionase Amerika di negara-negara Arab ngga lepas dari kepentingan politik (sekalipun ujung-ujungnya tetep kepentingan ekonomi) sehingga cara-cara spionasenya ngga lepas dari cara-cara politik juga; tidak peduli kawan ato lawan karena kepentingan (tujuan) yang lebih utama.
Namun dengan cantik, film ini juga menyampaikan pesan bahwa sekalipun mengutamakan kepentingan, pelakunya tetaplah manusia. Rasa dan hati nuraninya ngga gampang dimatikan begitu saja. Begitu juga dengan kemerdekaannya.
‘Template’ yang disiapkan dan sudah berhasil pada ‘kasus’ terorisme sebelumnya, ngga gampang bisa diterapkan untuk kasus-kasus sejenis. Teroris Arab boleh aja terlihat sama di mata Amerika, tapi penanganan teroris ngga bisa pukul rata.
Subscribe to:
Posts (Atom)