tag:

07 July 2009

BABI BUTA YANG INGIN TERBANG: Ketika Suku Minoritas setelah Dimatikan Perasaannya



Judul:
Babi Buta yang Ingin Terbang

Sutradara:
Edwin

Pemeran:
Ladya Cheryll, Pong Hardjatmo, Joko Anwar, Andara Early, Carlo Genta

Plot:
In "The Blind Pig Who Wants to Fly" you will find stories about disoriented identity, not knowing who you are, anxiety, uncertainty, the experience of being lost, told with a sense of humor. A father who is desperate to win a green card lottery, so the family can move to America. An ex-national badminton champion, whose husband leaves her for a Javanese wife. A Menado boy who constantly gets beaten up because everybody thinks that he is Chinese. A young girl who believes that Chinese firecrackers expel ghosts. Set within the contemporary social and racial tension of urban Indonesia, the story follows eight characters in their absurd journey to fit in within society in the hope to live better lives. Like a mosaic, this film is built from shattered pieces of colored glass. Delicate, fragile, beautiful.

Catatan:
Penasaran juga dengan film ini. Penasarannya karena film ini ngga pernah diputar di bioskop-bioskop mainstream di tanah air dalam masa tayang regular. Akhir kesampaian juga, itu termasuk mendadak karena info dari salah seorang kawan.

Sekalipun penasaran, ekspektasi untuk film ini gue tekan serendah-rendahnya. Sebenernya bukan khusus film ini aja sih. Tapi biasanya khusus untuk film-film buatan sineas Indonesia mutakhir, ekspektasi selalu gue tekan serendah-serendahnya mendekati titik nol. Dan hal ini selalu terbukti manjur supaya bisa mengikuti filmnya sampai dengan selesai. Urusan baik/buruknya memang juga tergantung selera yang tentunya subyektif.

Film ini gue rasakan absurd banget. Absurd yang gue rasakan muncul dari kombinasi visual yang suram, cerita yang ngga jelas urutannya dan karakter-karakter yang semuanya negatif. Sekalipun begitu, film ini cukup berhasil menjaga gue tetep kepingin ngikutin sampai selesai. Dengan pelan sekali, maksud dari keseluruhan cerita mulai bisa gue serap. Kata kuncinya ternyata adalah ‘Suku Tionghoa yang Terdiskriminasikan’.

Yang gue liat di film ini bukanlah sebuah gugatan dari suku minoritas, tapi lebih ke potret keadaan Suku Tionghoa pada saat ini yang bukan lagi masih didiskriminasi tapi juga sudah terlanjur mati rasa dengan negeri ini.

Visualisasi yang lebih mirip mozaik dan puzzle dibandingkan runtutan cerita, ngebikin gue hampir aja mati rasa karena pusing dan bingung. Tapi merujuk ke hal yang ingin disampaikan, sepertinya visualisasi semacam itu cukup efektif membuat gue merasakan hal-hal yang dirasakan karakter-karakternya.

Visualisasi yang cenderung ‘semau-maunya’ makin lama semakin bikin gue miris menyaksikan kondisi tiap-tiap karakter di film ini. Selain ada yang ‘diperkosa’, ada pula yang bisa bernyanyi-nyanyi gembira mengikuti tayangan karaoke berlatar kerusuhan Mei 1998! Sebenernya ada gugatan di dalamnya, tapi yang gue tangkap gugatan itu jadi semakin tajam justru dengan menampilkan mereka yang sudah mati rasa.

Semuanya sangat terbantu dalam sesi tanya jawab langsung dengan sutradaranya. Dari diskusi jadi jelas semua yang ingin disampaikan film ini. Dan dari penjelasan sang sutradara, termasuk semua hal behind the screen dan beberapa hal off the record, gue semakin miris melihat kehidupan Suku Tionghoa pada masa sekarang. Beruntung Indonesia masih punya Edwin yang peduli hingga lahirlah film ini.

No comments: