tag:

02 April 2008

AYAT-AYAT CINTA: Catatan Cinta Seorang Fahri bin Abdullah Siddik


ditulis pada tanggal 29 Maret 2008

Judul:
Ayat-Ayat Cinta (2008)

Sutradara:
Hanung Bramantyo

Pemain:
Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri

Cerita:
Mahasiswa S2 Universitas Al-Azhar Cairo Mesir menjalankan hidupnya dengan mencoba taat dalam Islam di bawah bimbingan seorang Syech yang amat dijunjungnya. Di dalam kesibukan menyelesaikan thesis S2-nya, Fahri bin Abdullah Siddik tidaklah sempat memikirkan urusan cintanya. Sebagai muslim yang baik namun lugu, Fahri sering tergagap-gagap apabila berinterkasi dengan lawan jenis. Dan terlalu polos dalam menangkap sinyal-sinyal cinta dari beberapa perempuan yang sehari-hari selalu dekat dengannya.
Hati Fahri lebih terpaut dengan seorang muslimah blasteran Jerman-Turki bernama Aisha. Dan keputusan menikahi Aisha mulai membuat Fahri lebih terbuka dengan kehidupan dan cinta di luar studinya yang hampir tidak selesai.

Catatan:
Awalnya gue semangat banget mau nonton film ini karena disutradarai Hanung Bramantyo dan karena skenarionya ditulis salah satunya oleh Salman Aristo. Hanung buat gue adalah salah satu sutradara Indonesia yang cukup menjanjikan untuk menjadikan film Indonesia lebih maju lagi. Mas Hanung cukup berhasil memvisualkan skenario karya Musfar Yasin menjadi salah satu film Box Office Indonesia ‘Get Married’ (sekalipun setelah itu Mas Hanung sempet juga ‘terpeleset’ bikin Legenda Sundel Bolong). Selain itu, komentar-komentar Mas Hanung dalam beberapa wawancaranya seputar rilis film Ayat-ayat Cinta juga bikin gue terpacu untuk menyaksikan film ini. Komentarnya yang gue anggap penting untuk ekspektasi film ini adalah Mas Hanung sempet bilang bahwa film ini nggak akan sama dengan novelnya. Dan casting Fedi Nuril pun menarik, karena Mas Hanung tertarik dengan kurang fasihnya Fedi melafalkan ‘ALLAH’ sehingga pantas divisualkan sebagai Fahri sebagai manusia biasa yang bersungguh-sungguh mau mendalami ilmu agama Islam.
Semangat tinggi ini sempet nyaris luntur karena gue sempet nonton Love karena ngga kebagian antrean nonton AAC. Love punya cara yang pas untuk visualisasi pesan bahwa cinta itu universal dan tidak mengenal batas apa pun. Dan kebenaran akan cinta adalah hal yang pribadi sekali bagi tiap-tiap individu. Nah dari situ secara tidak adil pun gue bandingin dengan cerita AAC yang ‘hanya’ berkutat dengan tokoh Fahri saja. Waktu itu gue bilang AAC harus ‘bersabar’ untuk gue tonton. Tapi atas rekomen temen gue, akhirnya semangat nonton AAC kembali meskipun ngga 100%.
Akhirnya gue nonton juga pas liburan kemaren. Tentunya dengan ekspektasi tertentu berdasarkan komentar-komentar Mas Hanung dalam beberapa wawancara dan juga dari rekomen temen gue yang bilang secara teknis dan eksekesinya AAC lebih bagus daripada Love.
Rekomen temen gue banyak benernya. AAC sebuah produk film yang bagus dalam berbagai aspek teknis; akting, sinematografi, editing (meskipun adalah sedikit salah setting dan miscasting). Tapi terus terang gue nggak nyaman banget dengan ceritanya. Menurut gue ceritanya amat sangat kaku dan hanya mewakili sepotong pemahaman tentang Islam, khususnya cerita tentang hubungan antar manusia yang dibilang sebagai cinta. Gue sendiri muslim tapi rasanya ngga bisa menerima begitu aja ‘klaim’ yang disampaikan dalam AAC ini.
Akhirnya gue masih bisa maklum kalo film ini disampaikan sebagai Catatan Cinta Seorang Fahri bin Abdullah Siddik yang mana Fahri adalah sosok muslim yang lugu, selalu berusaha hidup dalam memahami Islam lalu menemukan cintanya melalui cara-cara yang dipahaminya sebagai cara-cara yang diridhoi dalam Islam. Segitu saja.
Tapi kalo dimaksudkan sebagai cerita cinta yang paling bener dan diridhoi dalam Islam, gue merasa perlu banyak ‘belajar’ dan dialog lagi. Karena gue percaya cinta itu sesuatu yang universal dan tidak mengenal batas. Sedangkan dalam AAC gue merasa untuk mencintai dan dicintai aja terlalu banyak ‘aturan’. Mungkin gue yang belom memahami Islam secara menyeluruh. Tapi rasanya cinta itu sama universalnya dengan agama. Cinta begitu luas, seperti cinta Gandhi kepada kemerdekaan bangsa India atau cinta Schindler kepada kemanusiaan sehingga berusaha keras membebaskan bangsa Yahudi sebanyak-banyaknya dari kamp konsentrasi. Film Love aja masih lebih mampu menyampaikan cinta yang universal dan tak berbatas.
Gue merasa judul film AAC pun jadi terlalu bagus, terlalu indah, terlalu melesat ke langit sementara ceritanya ‘cuma’ kisah cinta. Ayat yang mana dinyatakan sebagai ayat cinta dalam AAC?
Sisi keteguhan Fahri berada di jalan hidup yang dipahaminya paling benar tergambar dengan baik. Keterbukaan Fahri dengan ‘golongan’ lain juga tervisualkan dengan baik. Kepasrahan Fahri menjalani ‘aturan’ percintaannya tergambar sebagai ‘perjuangan’ Fahri untuk tetap berusaha menjadi muslim yang baik. Tapi di sisi percintaan ini, gue merasa Fahri seperti ‘terpojok’ untuk mengikuti semua ‘aturan’. Gimana nggak, ta’aruf dengan calon istri seorang Aisha yang diperankan Rianti; siapa yang mungkin nolak? Diminta mengawini Maria (diperankan Carissa), dengan ijin (atau perintah??) Aisha; siapa yang bisa nolak? Sebaik-baiknya Nurul ngga akan mampu bersaing dengan Aisha dan Maria. Apalagi Noura juga ngga akan masuk ‘kontes’ karena hanya dikenal lewat rasa kasihan.
Fahri yang lugu disodorkan dengan ‘masalah’ yang bersentuhan dengan percintaan jadi terlihat gagap dan bingung. Padahal sebagian ‘masalah’ hadir karena campur tangan dari orang-orang terdekatnya yang ia hormati.
Beberapa adegan yang gue harapkan jadi titik balik seorang Fahri untuk menjadi lebih pasrah dan tawakal malah jadi adegan ‘khotbah’ yang tidak pada tempatnya. Adegan interaksi Fahri dengan penghuni sel penjara lainnya malah cenderung jadi menggurui. Sosok Fahri tidak dibiarkan untuk menjadi dirinya sendiri, masih selalu dikasi tau. Adegan setelah Noura mengakui alasannya berbohong dan menuduh Fahri di pengadilan malah merusak kedewasaan Fahri setelah berinteraksi di dalam sel penjara. Sayang banget.
Gue sih merasa Mas Hanung memang melakukan beberapa kompromi secara langsung maupun tidak langsung. Kompromi langsung misalnya mungkin memang beberapa penokohan, dialog dan adegan yang bener-bener diambil dari novelnya supaya tetep deket dengan novelnya meskipun ngga asyik kalo divisualkan. Kompromi tidak langsung misalnya balutan cerita film ini dibuat se-Islami sebagaimana dipahami sebagian besar umat Islam di Indonesia supaya pesan yang disampaikan bisa menjangkau khalayak sebanyak-banyaknya tanpa penonton harus berpikir lebih lanjut.
Pesan bahwa poligami itu ngga gampang bisa disampaikan dengan bagus. Tapi secara keseluruhan cerita film ini ngga mudah diterima oleh golongan di luar Islam. Dan menurut gue pun cerita film ini ngga mewakili Islam secara umum. Mungkin bagi orang yang belum kenal Islam, bisa saja menerima film ini apa adanya dan belajar kenal dengan Islam. Tapi sebagaimana banyaknya aliran dalam Islam sendiri, film ini ngga bisa mewakili keseluruhan aliran dalam Islam tersebut.
Sebagai cerita cinta yang dibalut kultur keislaman, film AAC ini bisa diterima. Tapi klaim kebenarannya, menurut gue terlalu pribadi bagi masing-masing individu. Tapi dari pengalaman gue nonton AAC yang sudah diadaptasi Mas Hanung dengan kerja keras supaya nggak hanya untuk satu golongan saja, seperti apa ya novel aslinya? Ngga penasaran sih, tapi gue yakin novelnya amat sangat tidak menyampaikan tema yang universal. Untuk kali ini gue terpaksa judge a book by it’s cover. Dan gue ngga akan baca novelnya.

NB:
Dari tayangan TV yang baru aja gue tonton tadi, produser AAC sudah mengklaim kalo film ini sudah ditonton lebih dari 3 juta orang. Selain MD yang boleh bergembira karena meraup untung besar, industri film Indonesia boleh juga bergembira karena posisi box office film Indonesia negeri sendiri diduduki oleh film AAC yang lebih layak menjadi film terlaris setelah sebelumnya gelar box office dimiliki oleh film sampah yang berjudul Eiffel,… I’m in Love.

3 comments:

andika said...

don't judge a book by it's film hehehe, filmnya jauh banget dari bukunya, saya suka bukunya, tp saya g suka filmnya, karena menurut saya isinya jadi beda, mengenai hal yg bersifat universal, baca dulu deh bukunya saya yakin komentar anda akan berubah ^^

Generasi Bangsa Films said...

Kalo menurut gue gak adil juga kalo ngejudge film nya..
Karena media nya nja uda beda banget, lagipula perubahan karakter dr novel kedalam sebuah film itu wajar aja kok.
kalo di filmnya dibuat sosok Fahri yang "sempurna" kayak di novelnya yang ada gk akan ada konflik, y
Ya datar-datar aja kayak film adaptasi lain dari penulis yg sama,
dalam film kan harus ada momentum yg memancing kejadian lain, biar penonton merasakan problem yang divisualkan di film,
hambatan dan keterganguannya lebih berasa gitu..
Buku pertama aja buktinya better kok pas di filmin di banding buku kedua nya

Elessar Kartowidjojo said...

Memang penonton film sebagian besar masih perlu belajar memahami perbedaan media antara buku dan film adaptasinya. Ngga cuma penonton film Indonesia, penonton film di US juga masih suka terlalu membanding2kan film dgn bukunya, sekalipun perbandingan itu memang tidak terelakan.
Untuk film ini makanya gue salut banget dgn langkah berani yg diambil Hanung Bramantyo