ditulis pada tanggal 20 Maret 2008
Pada suatu masa …….
gila kali ye, ngga gitu-gitu amat deh. Tapi memang pada suatu waktu pernah ada band anak muda yang bernama Acoustic Flow. Band bentukan beberapa mahasiswa yang punya minat bermusik serius bermusik tapi tetep fun. Aku salah satunya, boleh dibilang sebagai salah satu pendirinya. Ngga sombong lah, tapi emang itu kenyataannya: lima mahasiswa culun … he he he he emang culun sih …. niat ngumpul dan main musik.
Awalnya kami memilih musik akustik sebagai konsep bermusik. Selain memang karena waktu itu musik-musik ‘unplugged’ masih booming dengan berjayanya Kla Project (Klakustik) dan Eagles yang laris tampil dengan musik akustik, pola ini juga termasuk hemat karena ngga butuh peralatan band lengkap. Tapi akhirnya kami masuk juga ke dalam konsep dan format band elektrik pada umumnya, lengkap dengan instrumen keyboard, gitar dan bass elektrik beserta amplifier-nya.
Dalam perjalanan bersama Acoustic Flow, aku menjadi saksi betapa penuh dinamika ‘hidup’ bersama dalam sebuah band. Acoustic Flow sempat jaya, sempat juga goyah. Sempat mengalami masa-masa manis di atas dan di belakang panggung. Sampai akhirnya lenyap tanpa sempat terucap kata “bubar”. Di ujung masa hidup Acoustic Flow, aku sempat sakit hati dan dendam karena berlalunya band ini. Dan sepotong kecil dendam itu masih ada.
Meski demikian, Acoustic Flow pernah jadi bagian dalam sejarah musikalku sekaligus bagian sejarah hidupku. Dalam kenangan manis, rasa rindu dan dendamku, berikut aku kutip kembali tulisan-tulisanku tentang Acoustic Flow.
Acoustic Flow *)
(cerita dari Edwin)
Pastinya kapan ‘embrio’ Acoustic Flow terbentuk saya kurang tahu. Yang saya tahu pasti Acoustic Flow itu dibentuk untuk mengisi acara “Musik Unplugged” di Fakultas Ekonomi Atma Jaya awal/pertengahan tahun 1995. waktu itu saya adalah orang terakhir yang diajak bergabung. Saya dihubungi Yonas, kawan main band semasa esema, per telpon (kalau tidak salah waktu itu hari Minggu siang). Saat itu dicari personil yang bisa main gitar plus nyanyi. Kebetulan juga kegiatan bermusik saya sedang vakum.
Akhirnya seminggu kemudian kami berkumpul di Sunter, di rumah salah satu personil yang namanya Anton. Di situ baru saya mengenal personil-personil lainnya selain Yonas. Ada Anton, yang tadi disebut sebagai yang punya rumah, yang paling jago main gitar; lalu ada Adi yang dipasang jadi vokalis utama karena memang tidak bisa memainkan memainkan instrumen musik apapun; belum lagi Yoga yang badannya paling kurus tapi pemain dram. Format dan konsepnya disiapkan hari itu juga. Karena kita mau ikutan “Musik Unplugged” jadi konsepnya semua main akustik. Pemain gitar akustik ada tiga orang, Anton, Yonas dan saya. Adi dan Yoga pada posisinya yang sudah disebutkan tadi. Lalu supaya musiknya penuh, kamu juga ‘memainkan’ harmonisasi vokal. Waktu itu yang punya alat musik paling bagus cuma Anton. Dia punya gitar semi akustik ber-snar nylon merk Ovation lengkap dengan amplifier dan efek suara gitar tersendiri. Permainannya juga hebat. Yang namanya Adi itu temannya Anton sejak esempe dan juga sudah lama bermusik bersama. Karena Anton paling jago, kami semua mempercayakan konsep dan format musik padanya. Akhirnya dirumuskan bahwa konsep Acoustic Flow itu musik akustik ditambah harmonisasi vokal dengan ‘komandan’nya Anton. Pada saat itu tidak ada yang memainkan bas. Saat itu belum jadi keperluan mendesak.
Dari saat itu kami latihan hampir setiap hari minggu mengejar waktu penyelenggaraan acara “Musik Unplugged” tersebut. Dan setiap kali latihan hampir selalu di rumah Anton, karena alat-alat miliknya yang cukup merepotkan bila dibawa-bawa. Dankami juga cuma satu kali latihan di studio karena format musik akustik ini tidak terlalu membutuhkan sound system yang rumit. Cukup di ruangan biasa saja. Adapun satu kali latihan di studio hanya untuk mencoba bagaimana jadinya apabila musik Acoustic Flow dibantu dengan sound system panggung. Untuk persiapan mentas, Yonas meminjam gitar semi akustik. Sedangkan saya cuma memakai gitar akustik milik Yonas. Gitar akustik milik saya sudah terlalu jelek kondisi fisiknya untuk ditampilkan.
Nama Acoustic Flow pertama kali saya dengar dari Adi dan waktu itu nama itu sudah didaftarkan pada panitia “Musik Unplugged”. Entah siapa yang memiliki usul pemberian nama seperti itu. Karena seluruh personil Acoustic Flow studi dalam ilmu-ilmu ekonomi, maka nama tersebut seperti menggugah kami. Arti harafiah Acoustic Flow memang asyik, kira-kira “aliran akustik” atau akustik yang mengalir”. Tapi juga mirip istilah dari akuntansi seperti ‘cash flow’. Jadilah nama Acoustic Flow jadi bahan lelucon kami berlima. Muncul dari kami sendiri nama-nama baru yang menggunakan istilah-istilah akuntasi dan ekonomi, seperti salah satu contohnya muncul nama baru ‘Acoustic Reconciliation’ (plesetan dari ‘Bank Reconciliation’).
Pada saat mentas, kami sudah siap sekali denghan 3 lagu, karena kami memang sudah dijatah hanya boleh main sebanyak itu. Yang pertama kami mainkan versi akustik dari Hotel California-nya Eagles, lalu disambung dengan lagu Have You Ever Really Love A Woman milik Bryan Adams dan How Deep Is Your Love versi dari Portrait. Kami mendapat sambutan yang meriah dari penonton. Mungkin juga karena kamimain di hadapan publik Fakultas Ekonomi Atma Jaya yang nota bene menjadi almamater dari tiga orang personil kami. Karena sambutan yang bagus itu, kami menambah satu lagu lagi dari William Brothers dengan judul Can’t Cry Hard Enough. Lalu ada lagi hal yang menyenangkan. Vandel sebagai tanda ucapan terima kasih atas partisipasi di acara itu, khusus diserahkan oleh Bapak DEkan FE Atma Jaya secara langsung kepada kami.
Sekian bulan kemudian, kami kembali mendapat kesempatan mentas. Malah mendapat dua kesempatan dengan selisih waktu 1 minggu. Kali ini kami harus lolos seleksi untuk bias tampil. Lebih kurang satu bulan sebelum hari H, kami baru mulai sibuk berlatih. Karena begitu perlunya berlatih secara intensif, pernah kami berlatih mulai pukul 9 malam sampai dengan pukul 1 pagi. Kali ini kami mulai mengenal studio latihan yang bernama BDL dengan tarif terjangkau. Jadi kami bisa berlatih sesering kami mau tanpa takut kehabisan uang. Dan juga kali ini kami mendapat personil baru sebagai pemain bas. Personil ini rekannya Anton dari grup band terdahulu. Permainan basnya hebat. Tapi saya lupa dengan namanya.
Dari dua kali kesempatan mentas itu, setelah akhirnya lolos seleksi, kesempatan pertama kami mentas dalam acara “Gelegar Seni” yang digelar FE Atma Jaya dengan 4 buah lagu. Sebagai lagu pembukaan, kami suguhkan I’ll Be There For You dari The Rembrandts yang ngetop jadi lagu tema film seri Friends. Lalu disusul Love Will Keep Us Alive-nya Eagles yang disambung dengan lagu Yogyakarta milik Kla Project. Dan penampilan kami siang itu ditutup dengan lagu Hotel California. Sambutan penonton cukup bagus, walaupun pada lagu pertama sempat terkesan kebut-kebutan dan terjadi anti klimaks pada lagu penutup. Lagu Yogyakarta mendapat sambutan paling meriah. Sepertinya pada lagu itu semua personil bermain dengan mantap dan rapi.
Dan kesempatan mentas selanjutnya yang cuma selisih 1 minggu itu pada acara “Malam Keakraban FE Atma Jaya Angkatan 95”. Kali itu kami hanya diberi jatah memainkan 2 lagu saja. Dan sayangnya kali itu sepertinya salah strategi dalam memasalng lagu. Lagu pertama Hotel California dan lagu kedua Yogyakarta. Sepertinya penonton, yang ternyata penontonnya hampir sama dengan penonton acara “Musik Unplugged” dan “Gelegar Seni”, mulai bosan dengan Hotel California. Dua acara tersebut kira-kira digelar pada bulan Oktober – Nopember 1995. Saya kurang ingat pastinya. Setelah mentas tersebut, masing-masing personil kembali sibuk pada aktivitas semulia di luar Acoustic Flow.
Dalam masa semi vakum itu, ada beberapa kesempatan mentas. Tapi menurut salah satu personil, “sang komandan” tidak mau mentas di acara sembarangan. Personil lainnya saat itu cuma menurut.
Pada awal tahun 1996, kembali adai 2 kesempatan yang selisihnya cuma satu malam saja. Untuk salah satu acara tersebut, kami tidak diwajibkan lagi mengikuti seleksi, karena acara itu digelar oleh FE Atma Jaya. Acara yang satunya digelar oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Atma Jaya. Kesempatan yang menarik karena kami bisa mentas di luar FE Atma Jaya walaupun wajib mengikuti seleksi dulu.
Karena kami jarang berkumpul, jangka waktu 2 bulan sebelum hari H terasa begitu singkat. Belum lagi kesibukan masing-masing personil yang cukup menyita waktu. Dan minimnya persediaan lagu baru juga menjadi masalah. Kadang kami hanya bertiga atau berempat saja, baik untuk berlatih atau untuk berdiskusi dan memilih-milih lagu. Tapi kali ini “sang komandan” selalu absen. Dan akhirnya Anton memang tidak ikut lagi yang juga berarti kami kehilangan pemain bas. Acoustic Flow cukup goyah. Komandannya hilang. Semua harus bertindak bila tidak mau Acoustic Flow bubar atau mungkin membentuk yang baru.
Ternyata Acoustic Flow jalan terus. Adi tetap memilih bergabung. Tanpa “sang komandan”, kami meramu kembali format dan konsep musik kami. Yonas maju main gitar karena dia baru beli gitar semi akustik. Dan saya beralih main bas. Kami juga mencoba memasukkan unsur piano/keyboard dengan merekrut personil baru yang juga tetangganya Yonas yang bernama Christi. Wanita satu-satunya saat itu menambah nuansa baru Acoustic Flow. Unsur gitar akustik dan piano mempertahankan ciri akustiknya.
Kami terus mencari lagu-lagu yang cocok dengan karakter kami. Sesuai dengan konsep harmonisasi vokal, kami selalu mencari lagu yang dapat dibentuk harmoni vokalnya dengan Adi sebagai vokal utama dengan saya dan Yonas sebagai vokal latar. Ciri ini selalu kami bawa dan berusaha kami kembangkan. Walaupun dengan alat musik yang minimal, harmoni vokal selalu kami tonjolkan.
Untuk acara “English Night” yang digelar FKIP Atma Jaya, setelah lolos seleksi kami menyiapkan tiga buah lagu. Dengan lagu pertama Uptown Girl dari Billy Joel yang disambung Yogyakarta dalam Bahasa Inggris dan ditutup dengan lagu melankolis mendayu-dayu, I’ll Never Break Your Heart-nya Backstreet Boyz. Untuk lagu Yogyakarta, liriknya khusus kami buat dalam Bahasa Inggris karena dalam acara tersebut tidak boleh berbahasa Indonesia. Dari pada kami mengajukanlagu lain, kami siapkan lirik berbahasa Inggris itu dalam waktu lebih kurang 3 jam saja pada malam sebelum mentas. Sambutan cukup baik, terutama untuk lagu penutup yang boleh dikategorikan nekad.
Sayangnya kami tidak sanggup mentas di acara “Musik Santai” yang digelar FE Atma Jaya keesokan sorenya. Kami tidak mampu mentas dengan lagu yang terbatas. Kami tidak mau lagi penonton menjadi bosan, seperti bosan dengan Hotel California. Lagi pula sebenarnya kami baru saja bebas dari tekanan karena ditinggal “sang komandan”. Pada “English Night” terasa sekali tekanan berat itu. Untuk pertama kalinya kami, tanpa komando dari satu orang, maju berpadu bersama.
Setelah acara tersebut, kami vakum sebentar. Disela-sela itu, kami sedikit menyumbang hiburan dalam acara ulang tahun perkawinan tetangganya Yonas, yang ada hanya Yonas, Christi, Adi dan saya. Dan setelah itu, Christi tidak mau ikut lagi. Sepertinya diatidak terlalu suka main band.
Muncul tawaran dari FE Atma Jaya untuk menjadi wakil dalam acara musik di STIE Gunung Sewu. Suatu kesempatan yang bagus untuk mentas di luar Atma Jaya. Hanya ada kesempatan main 2 lagu. Lalu formasi Acoustic Flow berubah lagi. Yonas beralih main piano/keyboard. Untuk posisi gitar masuk Adhit yang semasa esema juga teman saya dan Yonas main band. Akhirnya kita menyuguhkan Obladi Oblada dari The Beatles dan Yogyakarta. Lagu yang disebut terakhir kami bawakan lagi karena kali ini kami mentas di luar Atma Jaya yang belum pernah melihat kami membawakannya. Tapi ternyata acara musik itu adalah semacam ‘pesta musik alternatif’ dengan musik-musik alternatif dan penonton yang ‘menari’ gaya moshed. Jadinya musik Acoustic Flow adalah “alternatif” dari musik alternatif yang ada hari itu. Sambutannya adem. Dan untuk tidak mendapt sambitan.
Sejak saat itu kami jadi pantang menyerah. Kami sepakat untuk bertemu lebih sering dan berlatih lebih rutin. Agar kami menjadi profesional dan menjadi profitsional (= dapat untung). Untuk itu selain bermusik, kami juga sedang menggodok strategi promosi. Kami punya cita-cita punya lagu sendiri dan bisa rekaman. Semuanya dapat terjadi bila keterpaduan dan keharmonisan tetap menjadi dasar konsep kami. Dan arti Acoustic Flow sekarang tidak terlalu identik dengan unplugged, tetapi lebih dekat dengan kondisi akustik (untuk ruangan, panggung dan sebagainya) yang erat dengan terdengarnya musik kami.
Baru-baru ini Acoustic Flow merekrut 2 wanita, Cica dan Marcel, untuk posisi vokal. Hal ini untuk lebih mengembangkan porsi vokal yang sudah ada. Dari sini, lagu-lagu yang akan dimainkan menjadi semakin luas. Ada lagu dengan format duet pria-wanita atau lagu dengan vokal utama wanita. Tinggal kita tunggu kemampuan mereka langsung di atas panggung dengan personil lainnya dalam Acoustic Flow.
*) Tulisan ini disiapkan sebagai narasi untuk bahan masukan dalam proses desain logo dan stylograph Acoustic Flow oleh Bayu Aji. Logo dan stylograph sudah selesai dan pernah dipresentasikan di hadapan personil band, namun setelah itu prototype desain menghilang sebelum resmi digunakan.
Selanjutnya …? *)
(ditulis tanggal 10 April 1997)
Acoustic Flow sekarang sedang vakum, setelah terakhir manggung di Atma Jaya tanggal 22 Maret 1997 yang lalu. Acara terakhir itu pun digelar setelah kami beberapa lama tidak manggung sejak bulan Desember 1996 lalu, walaupun kami melakukan latihan beberapa kali. Kali ini betul-betul vakum tanpa latihan.
Sebetulnya direncanakan latihan 2 hari setelah manggung yang terakhir itu. Tetapi latihan itu dibatalkan dengan alas an tidak mood akibat penampilan kami yang ‘agak lain’, kalaui tidak mau dibilang buruk, pada tanggal 22 Maret 1997 itu. Dirasakan ada sedikit perselisihan, tau lebih tepat disebut salah paham, di antara personil kami.
Saat itu kami tidak mampu memainkan lagu-lagu tambahan di luar yang sudah kami persiapkan. Ada yang menyalahkan pada gitaris kami, walau tidak secara langsung di depan sang gitaris, karena kekurangsiapannya dan caranya yang ‘membela’ rekannya yang ada di grup lain dengan alas an bahwa lagu tambahan itu akan dibawakan oleh rekannya tersebut. Padahal kalau dikaji lebih jauh akan kekurangsiapan salah satu personil adalah bukan mutlak kesalahan personilyang bersangkutan saja, tetapi menjadi tanggung jawab seluruh personil. Kalau diingat kembali bagaimana dengan sistem latihan kami, memang benar dan jelas sekali bahwa seluruh personil bertanggung jawab. Tiap kali kami latihan, yang diutamakan sekali adalah lagu-lagu ‘baru’ dan belum tentu melatih kembali atau me-review lagu-lagu ‘lama’ yang pernah kami bawakan sebelumnya. Apabila lagu ‘baru’ tersebut sudah ‘jadi’, belum tentu akan di-review pada latihan selanjutnya. Masalah yang sudah lama ada ialah tidak semua personil memiliki alat musik yang memadai. Contoh yang jelas adalah sang gitaris itu. Walaupun dia seoarng gitaris dan satu-satunya yang masih dipercayakan sebagai gitaris di Acoustic Flow, tetapi dia tidak memiliki gitar elektrik sampai saat ini. Hal ini menyangkut keterbatasan dana, sehingga sampai saat ini ia belum mampu membelinya. Ia hanya memiliki gitar akustik jenis folk. Padahal untuk memainkan sebuah lagu, perannya tidaklah kecil. Apalagi setelah Acoustic Flow mulai merambah keluar dari apa yang sering disebut Unplugged dan mulai mengurangi penggunaan gitar akustik. Tentunya untuk latihan mandiri di rumah akan cukup sulit untuk lagu-lagu yang mementingkan warna suara dari gitar elektrik. Untuk selanjutnya hal ini perlu dipikirkan.
Penjatuhan kesalah seperti ini tentunya tidak baik bagi atmosfir bermusik dari Acoustic Flow. Situasi seperti ini dapat membuat kondisi bermusik di Acoustic Flow tidak sehat lagi. Apalagi dengan cara pengungkapan kesalahan yang ‘main belakang’ seperti ini. Dan kalau mau mengkaji lebih lanjut alasan penolakan sang gitaris untuk memainkan lagu-lagu tambahan, tidaklah lepas dari penyelamatan muka Acoustic Flow apabila memaksakan memainkan lagu tambahan dengan tidak mantap dan tidak lengkap karena kurang hafal. Apakah hal tersebut terpikirkan saat menjatuhkan kesalahan padanya? Apakah harus selalu mencari-cari kesalahan?
Sebetulnya beberapa minggu sebelum tanggal 22 Maret 1997 tersebut, sudah ada beberapa ‘keguncangan’. Di mulai dari saat kami ditawarkan untuk main di sebuah kafe di Denpasar Bali pada musim libur Natal – Tahun Baru yang baru lalu. Kami tidak jadi berangkat karena ada salah satu personil yang betul-betul tidak dapat berangkat karena mendapat tentangan dari orang tuanya. Memang persis setelah ‘Proyek Denpasar’ itu selesai, sebagian besar dari personil kami harus menghadapi ujian semester ganjil. Alasan ujianitulah yang mengganjal orang tua salah satu personil kami. Mungkin ada sedikit sakit hati dari salah satu personil kami akibat batalnya ‘Proyek Denpasar’ tersebut.
Padahal batalnya keberangkatan kami itu ada hikmahnya. Kami harus semakin mengkoreksi diri, apakah kami sudah mampu menjadi profesional? Apakah kami sudah mampu berlaku sebagai profesional? Sebab menjadi profesional itu banyak sekali konsekuensinya, banyak sekali resikonya. Bisa jadi salah satu resikonya adalah meninggalkan kuliah dan meninggalkan kesibukan rutin masing-masing personil. Apakah kami sudah mampu berbuat seperti itu demi apa yang disebut dengan profesionalitas? Apakah dengan dikontrak main di café kami sudah menjadi profesional? Apakah semudah itu? Kalau disebut menjadi pemain bayaran memang benar. Tapi apakah dengan dibayar kami otomatis menjadi profesional? Belum tentu! Memjadi profesional itu ada prosesnya. Apakah kami mampu melalui proses menjadi profesional? Itu yang seharusnya kami pikirkan lebih lanjut.
‘Keguncangan’ kedua yang terjadi di dalam tubuh Acoustic Flow adalah saat personil ketujuh mengundurkan diri. Alasan yang diberikan jelas sekali, dia tidak bisa dengan penuh mengikuti kegiatan kami karena kesibukankuliahnya. Memang sejak pertama kali direkrut, lebih kurang mulai bulan Agustus 1996, dia hanya bisa ikutkami latihan beberapa kali saja dan belum pernah ikut kami manggung sampai saat ini. Tapi sebelum pernyataan pengunduran dirinya keluar, ada salah satu personil kami lainnya memintanya untuk mempertimbangkan kembali kesibukannya dan keanggotaannya di Acoustic Flow. Hal ini disampaikan pada satu waktu saat kami hendak ‘berdiskusi’ seusai latihan pada awal Januari 1997. Apakah memang pantas hal itu disampaikan kepadanya, mengingat orang yang menyampaikan hal itu tidak pernah menghubunginya secara langsung dan menanyakan masalah yang dia hadapi? Apalagi membahas jalan keluar dari masalah dan kesibukannya. Alasan penyampaian hal itu adalah demi masa depan Acoustic Flow sendiri. Apakah memang begitu? Apakah harus dengan memperbaiki orang lain dan bukan dengan memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu? Apakah memang dia sendiri sudah siap dengan segala keadaan untuk masa depan Acoustic Flow? Dan yang menjadi pertanyaan berikutnya, masa depan Acoustic Flow yang bagaimana yang hendak kami capai? Menjadi profesionalkah?
Sudah sejak awal, aliran musik yang dianut Acoustic Flow tidak begitu jelas. Yang pasti sebagain besar dari lagu-lagu yang pernah kami bawakan adalah dari jenis pop. Ada juga yang mengatakan bahwa kami ‘beraliran’ Kla Project. Pernyataan itu sah-sah saja mengingat setiap kali kami manggung tidak pernah ketinggalan satu atau dua lagu dari Kla Project. Tapi itu bukan berarti kami menjadi pengekor atau menjadi plagiat atau menjadi tiruan dari Kla Project, menginggat tidak pernah kami membawakan lagu-lagu itu secara persis dengan versi lagu aslinya. Kami selalu memberikan sentuhan Acoustic Flow dalam setiap lagu-lagu yang kami bawakan, baik dalam bentuk harmoni vokal atau penambahan/pengurangan permainan instrumen di sana-sini. Jadi sebetulnya tidak ada itu aliran Kla Project dalam acoutic Flow, juga tidak ada aliran TOP 40. Dan juga tidak benar itu kami pernah ganti aliran.
Yang ada dan betul-betul kami lakukan adalah kami memainkan musik yang kami sukai yang kebetulan kami saat ini masih suka dengan Kla Project sehingga dinyatakan sebagai aliran Kla Project atau kebetulan kami memainkan lagu-lagu dari TOP 40 sehingga dinyatakan aliran TOP 40.
Sekali lagi, kami memainkan dan membawakan lagu-lagu yang kami sukai. Tidak peduli apakah kami mau manggung di tempat terbuka atau tertutup, di hadapan komunitas kampaus atau SMU, di hadapan penikmat musik cafe atau musik alternatif. Untuk menghadapi penonton dan pendengar di panggung, kami hanya melakukan pemilihan terhadap lagu-lagu yang bisa dan mau kami bawakan dengan harapan lagu-lagu tersebut nantinya dapat diterima dan dinikmati saat kami bawakan di atas panggung.
Belum pernah Acoustic Flow berganti aliran, kalau memang mau disebut sebagai aliran. Yang pernah kami lakukan adalah melebarkan warna musik kami keluar dari batas-batas musik Unplugged yang tetap tidak kami tinggalkan.
Tapi sampai saat ini rasanya masih belum semua kesukaan kami terwakili dalam pemilihan lagu-lagu yang akan kami bawakan itu. Mungkin karena kami masih belum terbuka satu sama lain dan mungkin juga kami masih belum mau mendengarkan kesukaan masing-masing personil.
Masih banyak yang perlu kami lakukan dan kami perbaiki jika kami masih mau melanjutkan membesarkan Acoustic Flow. Yang pertama kali kami harus lakukan adalah introspeksi diri masing-masing personil, berlaku sabar dalam situasi apapun sehubungan dengan Acoustic Flow dan diri kami sendiri, menyadari keadaan yang ada dan berlaku jujur serta terbuka yang dapat dilakukan selama proses berlatih dan berkumpul bersama. Barulah setelah itu kami dapat menyatukan visi kami sebagai Acoutic Flow yang utuh, “semua untuk untuk satu, satu untuk semua”. Sehingga semakin menyadari untuk apa Acoustic Flow ini lahir dan ke mana Acoustic Flow akan terus bergerak serta tetap hadir berkesenian dalam musik. Apakah kami mau? Itu pertanyaannya.
*) Tulisan ini dibuat sebagai surat terbuka untuk personil Acoustic Flow waktu itu
Catatan berikut ditulis pada tanggal 17 September 1998 *)
Setelah sekian bulan ini kita vakum terus-terusan. Semuanya terbukti tanpa harus gue buktiin sendiri. Dari hasil analisa gue selam aini, inilah akhir yang menyedihkan. Bubar sih nggak, tapi nggak ada kegiatan. Memang sih juga nggak ada order, tapi ya latihan aja nggak. Ngga usah latihan deh, ngumpul aja udah nggak pernah lagi. Paling waktu itu ngumpul dadakan buat main di resepsi perkawinan kakaknya Ronald. Itu juga minus Yoga en Adi. Cuma sekedar bantuin temen doang. Nggak terlalu serius. Serius sih, serius tapi santai.
Udah ada beberapa perkembangan menarik. Adhit udah bikin grup lagi. Udah ngga betah dia nunggu terlalu lama. Gue sendiri juga ngga betah. Tapi buat gue masalah band ini bukan masalah yang kecil, yang bisa begitu aja vakum trus tau-tau kumpul en main lagi. Apalagi katanya dulu mau profesional. Maunya gue sih statusnya jelas gitu. Mau bubar ya bilang bubar. Jangan digantung begitu. Dan selama vakum ini, kalo salah satu dari kita bikin grup lagi tanpa bilang-bilang bisa aja disebut pengkhianatan. Kan katanya mau profesional. Gue nggak mau ngebesar-besarin masalah. Tapi yang gue au itu konsekuen sama apa yang udah pernah disepakati. Paling ngga konsekuenlah sama apa yang pernah diucapin sendiri.
Gue mau aja ngegabung sama grup baru. Ya anggap aja Acoustic Flow had gone with the wind. Tapi gue ngga enak sama yang lain terutama sama Yoga. Terakhir setelah kita lepas dari Boim Kafe, Yoga udah sempet les dram walaupun cuma untuk empat kali pertemuan aja. Itu hasil bujukan kita semua supaya Yoga bisa meningkatkan kemampuan ngedramnya. Karena Yoga nggak punya dram, karena les jadinya paling nggak seminggu sekali ketemu sama dram. Daripada nungguin kita latihan, belum tentu seminggu sekali. Paling nggak sebelum kita kumpul latihan, Yoga udah ada persiapan. Tapi ternyata ada nggak menghargai usaha yang dilakukan Yoga yang sebetulnya juga usaha kita bersama. Setelah Yoga les, malah kita vakum beneran. Sampai-sampai pernah satu kali gue ketemu Chica yang meragukan kita mau mulai lagi. Berarti udah berbahaya banget waktu itu.
Memang sebelumnya udah pernah ada gosip keyboardis mau keluar dengan alasan kesibukan kantor. Sombong banget, yang udah duluan ngantor siapa sih? Bener juga, firasat gue terbukti. Ternyata da alasan lain di balik alasankesibukan tadi. Dia menyatakan bahwa kemampuan Yoga nggak berkembang, jadi dia nggak bisa kerjasama dengan Yoga. Gila! Alasan yang betul-betul gila. Kita kenal untuk bikin band bareng udah berapa lama sih? Bukannya kita jadi semakin akrab sedekat keluarga, malah menyebar api pengkhianatan. Yap betul, pengkhianatan. Pengkhianatan adalah kata yang tepat. Gimana bukan pengkhianatan kalo alasan yang paling terakhir itu diucapkan di depan setengah anggota Acoustic Flow yang minus gue, Adhit Gerry dan Yoga tentunya. Betul-betul jahat dan pengkhianatan. Mau mundur aja malah bikin alasan yang ngejelekin orang lain. Merasa dibutuhin kali ya? Mentang-mentang keyboardis harus jadi pemain kunci (key) begitu? Maaf aja deh.
Waktu itu baru gue doang yang super gondok. Tapi gue ngga mau ngajak temen-temen yang lain ikutan memusuhi dia. Biar aja, nanti juga pada saatnya akan ketahuan juga. Memang akhirnya sih alasan jahat itu nggak diketahui sama yang lain. Guetahu juga dari Dessy yang baik sekali, yang concern banget sama Acoustic Flow. Tapi biar nggak ketahuan juga, tapi niat jelek keyboardis akhirnya kebaca juga sama temen-temen. Kita pernah bikin pertemuan santai, yag sekedar kumpul-kumpul aja. Keyboardis nggak dateng. Padahal udah dicariin waktu yang betul-betul luang buat semuanya. Udah gitu emang nggak mau dihubungi. Punya pager malah ditaro di rumah. Ada ponsel bilang punya nyokap. Biarin aja. Pas pertemuan kali itu kita sepakat mau terus tapi nyari keyboardis baru. Yang lama nggak kita pecat, tapi statusnya kita bikin ngegantung. Kita balik deh. Mau ikut latihan boleh, nggak ikut juga nggak apa-apa. Tapi ya mungkin sudah nasib, kita nggak bisa berbuat banyak. Nyari personil baru memang rada susah. Mungkin juga karena kita pernah terbentur di Boim Kafe soal honor. Semangat ngumpul bareng lagi malah makin lama makin pudar. Akhirnya hilang.
Sedih deh. Gue sayang banget dengan band ini. Segala upaya udah dicoba untuk semakin maju. Pernah juga masuk masa kritis yang akhirnya kita bisa bangkitlagi. Itu pernah jadi kemenangan besar kita. Sayangnya, deraan selanjutnya bukan bikin kita tambah kuat. Malah semakin rapuh. Ego masing-masing bukan semakin diredam, malah semakin diumbar. Semua pamer ego, termasuk gue. Semua ego meluap. Padahal ngetop aja belom. Trus juga sering nggak konsekuen dengan pilihannya sendiri. Semua aja, termasuk gue. Sedih gue, kenapa musti akhirnya begini. Nggak jelas. Kalo jelas bubar, gue masih bisa terima dengan tenang.kalo bubar, ikatan kita sebagai pemain band dalam satu grup jelas putus. Kita mau gonta ganti personil, bikin grup baru nggak ada masalah. Nggak ada beban moral. Tapi sekarang begini, waktunya gue lagi terus menyamakan visi. Mengumpulkan kekuatan bersama lagi. Malah jadinya nggak jelas.
Mungkin sekarang udah waktunya gue mutusin apa yang musti gue lauik sebagai yang masih semangat main musik. Mungkin gue udah musti ninggalin Acoustic Flow sebagaimana adanya sekarang. Yah tinggalin begitu aja. Ada sih tawaran jadi vokalis tapi nggak langsung. Gue denger dari Adhit kalo Demus nawarin guejadi vokalis tapi Demus ngga hubungin gue. Nanti gue coba hubungin Demus. Yang masih ngeganjel tinggal Yoga. Dia itu temen gue yang visinya boleh dibilang udah sama. Memang kemampuannya baru level lumayan aja. Tapi kemauannya bagus, asal nggak dimatiin gitu aja. Musti ngobrol sama Yoga dulu nih. Salah satu kendala lagi adalah tempat tinggal Yoga yang paling jauh sendiri. Ya memang paling jauh karena rata-rata personil lainnya tinggal di daerah Jakarta Barat. Tapi itu nggak terlalu serius selama masih ada kemauan. Ya kemauan dan semangat.
*) Tulisan ini belum pernah dipublikasikan lewat media apa pun dan kepada siapa pun. Tulisan ini awalnya hanya sebatas curhat.
Catatan Akhir
Kenangan akan masa-masa indah bersama Acoustic Flow selalu ada di hati. Sebagian terekam dalam tulisan-tulisan tadi. Sebagian lagi terekam dalam beberapa lagu yang iseng-iseng kami rekam saat latihan dalam masa-masa aktif di panggung kafe.
Namun akhirnya Acoustic Flow harus usai dengan akhir kisah yang menggantung. Menggantung sebagaimana rindu dan dendam yang pernah ada untuk Acoustic Flow. Sekalipun demikian aku ngga akan membiarkan kenangan ini musnah, supaya nantinya aku mudah-mudahan dapat belajar sesuatu dari bagian hidupku bersama Acoustic Flow.
Lagu-lagu yang pernah dibawakan Acoustic Flow
sampai dengan 30 Nopember 1997
No. | Judul Lagu | Dipopulerkan oleh | Dibawakan dalam Acara |
01. | Hotel California | Eagles | - Musik Unplugged – FE Atma Jaya (1995) - Gelegar Seni – FE Atma Jaya (1995) - Malam Keakraban Angkatan ’95 – FE Atma Jaya (1995) - Jimbani Cafe – 26 September 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
02. | Have You Ever Really Loved A Woman | Bryan Adams | - Musik Unplugged – FE Atma Jaya (1995) |
03. | How Deep Is Your Love | Portrait | - Musik Unplugged – FE Atma Jaya (1995) - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
04. | Can’t Cry Hard Enough | Williams Brothers | - Musik Unplugged – FE Atma Jaya (1995) |
05. | I’ll Be There For You | The Rembrandts | - Gelegar Seni – FE Atma Jaya (1995) - PSKPP ’96 – Fak. Psikologi Atma Jaya 21 Desember 1996 |
06. | Love Will Keep Us Alive | Eagles | - Gelegar Seni – FE Atma Jaya (1995) |
07. | Yogyakarta | Kla Project | - Malam Keakraban Angkatan ’95 – FE Atma Jaya (1995) - English Night – FKIP Atma Jaya (1996) - Acara Musik di STIE Gunung Sewu (1996) - Gema Musik ’96 di Country Kitchen Restaurant 2 Nopember 1996 - Jimbani Cafe – 26 September 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
08. | Uptown Girl | Billy Joel | - English Night – FKIP Atma Jaya (1996) - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
09. | I’ll Never Break Your Heart | Backstreet Boys | - English Night – FKIP Atma Jaya (1996) - Gelar Akbar 10 Tahun SMUK Sang Timur 10 Nopember 1996 - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 |
10. | Obladi Oblada | The Beatles | - Acara Musik di STIE Gunung Sewu (1996) |
11. | Dengan Logika | Katon Bagaskara | - Audisi Band – Gema Musik ’96 di Capricorn Music Studio 27 Oktober 1996 - Gema Musik ’96 di Country Kitchen Restaurant 2 Nopember 1996 - Gelar Akbar 10 Tahun SMUK Sang Timur 10 Nopember 1996 |
12. | Tentang Kita | Kla Project | - Audisi Band – Gema Musik ’96 di Capricorn Music Studio 27 Oktober 1996 - Gema Musik ’96 di Country Kitchen Restaurant 2 Nopember 1996 - Gelar Akbar 10 Tahun SMUK Sang Timur 10 Nopember 1996 - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 - Double C Night – FE Atma Jaya di Poster Cafe 10 Desember 1996 - PSKPP ’96 – Fak. Psikologi Atma Jaya 21 Desember 1996 - Malam Graduasi SMUK Sang Timur 2 Juni 1997 - Jimbani Cafe – 26 September 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
13. | I’m Missing You | Meja | - Gema Musik ’96 di Country Kitchen Restaurant 2 Nopember 1996 - Gelar Akbar 10 Tahun SMUK Sang Timur 10 Nopember 1996 - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 |
14. | Naked and Sacred | Chynna Phillips | - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 |
15. | Fall From Grace | Amanda Marshall | - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 - Double C Night – FE Atma Jaya di Poster Cafe 10 Desember 1996 |
16. | Gerimis | Kla Project | - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 - Double C Night – FE Atma Jaya di Poster Cafe 10 Desember 1996 - PSKPP ’96 – Fak. Psikologi Atma Jaya 21 Desember 1996 |
17. | Lemon Tree | Fool’s Garden | - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 |
18. | All I Need Is You | Chris Lloyds | - Asian View – FKIP Atma Jaya 7 Desember 1996 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
19. | Everywhere I Go | Lina Santiago | - Double C Night – FE Atma Jaya di Poster Cafe 10 Desember 1996 |
20. | Shower Me With Your Love | Surface | - Double C Night – FE Atma Jaya di Poster Cafe 10 Desember 1996 |
21. | Waterfalls | TLC | - PSKPP ’96 – Fak. Psikologi Atma Jaya 21 Desember 1996 |
22. | Me And You v.s The World | Space | - K.A.F.E – FE Atma Jaya 22 Maret 1997 |
23. | All My Only Dreams | The Wonders | - K.A.F.E – FE Atma Jaya 22 Maret 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
24. | Little Wild One | The Wonders | - K.A.F.E – FE Atma Jaya 22 Maret 1997 |
25. | That Thing You Do | The Wonders | - K.A.F.E – FE Atma Jaya 22 Maret 1997 - Malam Graduasi SMUK Sang Timur 2 Juni 1997 - Jimbani Cafe – 26 September 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
26. | Semoga | Kla Project | - K.A.F.E – FE Atma Jaya 22 Maret 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
27. | Katakan Saja | Harvey Malaiholo | - Malam Graduasi SMUK Sang Timur 2 Juni 1997 |
28. | Unbreak My Heart | Toni Braxton | - Malam Graduasi SMUK Sang Timur 2 Juni 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
29. | Fallin’ To My Love | Black Box | - Malam Graduasi SMUK Sang Timur 2 Juni 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
30. | Tak Bisa Ke Lain Hati | Kla Project | - Malam Graduasi SMUK Sang Timur 2 Juni 1997 - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
31. | Astaga | Ruth Sahanaya | - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
32. | Killing Me Softly | Roberta Flack | - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
33. | My Girl | The Temptations | - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
34. | Look Away | Chicago | - Bo’im Cafe – 10 Oktober 1997 |
35. | Picture Of You | Boyzone | - Bo’im Cafe |
36. | Words | Bee Gees | - Bo’im Cafe |
37. | Wonderful Tonight | Eric Clapton | - Bo’im Cafe |
38. | When The Children Cry | White Lion | - Bo’im Cafe |
39. | If | Bread | - Bo’im Cafe |
40. | Every Breath You Take | The Police | - Bo’im Cafe |
41. | You To Me Are Everything | The Real Thing | - Bo’im Cafe |
42. | Still Got The Blues | Gary Moore | - Bo’im Cafe |
43. | Kamulah Satu-Satunya | Dewa 19 | - Bo’im Cafe |
44. | Bento | Swami | - Bo’im Cafe |
45. | I Will Survive | Diana Ross | - Bo’im Cafe |
46. | If You Don’t Know Me By Now | Simply Red | - Bo’im Cafe |
47. | Don’t Wanna Lose You | Gloria Estefan | - Bo’im Cafe |
48. | Celebration | Fun Factory | - Bo’im Cafe |
49. | MMMBOP | Hanson | - Bo’im Cafe |